Minggu, 14 Januari 2018

Eksploitasi Hukum dan Anomi

Eksploitasi Hukum dan Anomi
Tb Ronny Rachman Nitibaskara  ;  Kriminolog/Antropolog UI
                                                      KOMPAS, 13 Januari 2018



                                                           
Dunia hukum selalu dikelilingi oleh permasalahan dan penyimpangan yang ada. Hampir dapat dipastikan setiap negara mengalami hal tersebut. Entah itu akibat perilaku yang berasal dari para oknum profesi hukum maupun masyarakatnya sendiri.

Kasus yang pernah mencuat seperti penyuapan yang melibatkan hakim, tertangkap tangannya jaksa ketika menerima uang suap, korupsi yang pernah melibatkan oknum petinggi Polri, pengacara yang menyuap hakim demi kepentingan kliennya, ataupun seseorang yang melakukan pendekatan kepada penegak hukum agar kasus yang menimpanya dilancarkan, adalah peristiwa yang selalu terjadi dari masa ke masa.

Sebagai ilustrasi, banyak warga dan media masih mengawal kasus korupsi KTP elektronik yang melibatkan beberapa anggota Dewan. Pada tempo yang tidak terlalu jauh dimunculkan wacana hak angket, yang diduga untuk mengurangi kewenangan KPK. Dalam waktu dan tempat berbeda timbul gagasan membentuk Densus Tipikor yang didukung oleh anggota Dewan yang kebetulan nama-namanya ada dalam incaran KPK. Kenyataan yang seakan disengaja dan berdekatan itu mau tidak mau menimbulkan anggapan banyak pihak bahwa memang ada sesuatu yang terjadi dalam ranah penegakan hukum kita.

Perbedaan paradigma

Fenomena ini kembali dikuatkan dengan alasan mundurnya dua pengacara terkenal salah satu tersangka kasus KTP-el. Pengacara pertama beralasan karena tidak ada kesepakatan dengan tersangka mengenai cara penanganan perkara serta dalam menangani perkara ia berpendapat harus menegakkan hukum dengan hukum yang baik. Pengacara lainnya mundur dengan argumen memiliki cara kerja berbeda dengan salah satu advokat tersangka yang lebih mengutamakan kompromi.

Sikap pengunduran diri itu menunjukkan banyak cara yang dapat dilakukan ketika bersentuhan dengan hukum dewasa ini.

Dalam kemuliaannya, hukum merupakan senjata ampuh menciptakan ketertiban dan kepastian, untuk mengubah masyarakat menuju yang dicita-citakan dan mencapai keadilan yang diinginkan bersama. Tak dapat disangkal, untuk mewujudkan keadilan memang diperlukan kepastian hukum.

Ketentuan hukum positif yang acap kali berubah-ubah pasti membuat keadilan semakin jauh dari jangkauan. Bahkan bisa menimbulkan perlakuan bahwa manusia untuk hukum, bukan hukum untuk manusia. Hal ini dapat membuat kepastian hukum hanya sebagai dalih meraih keuntungan sepihak.

Di samping itu, banyak peranti hukum memiliki kelemahan karena terlalu monodisipliner dan kurang menggunakan bantuan ilmu lain. Tak sedikit produk hukum tercipta tanpa memanfaatkan pendekatan sosiologis, psikologis, ataupun kriminologis. Kendati demikian, setiap pihak wajib memperlakukan hukum dengan semestinya sesuai aturan dan koridor yang ada. Apabila aturan hukum sudah mengatur sedemikian rupa tentang sesuatu, tidak ada pilihan lain kecuali harus tunduk walaupun rakyat dan negara harus dirugikan.

Melalui buku Tegakkan Hukum Gunakan Hukum (2006), pernah saya kemukakan bahwa dalam penegakan hukum terdapat kehendak agar hukum tegak sehingga nilai-nilai yang diperjuangkan melalui instrumen hukum yang bersangkutan dapat diwujudkan. Namun, dalam menggunakan hukum belum tentu ada upaya serius untuk meraih cita-cita yang terkandung dalam aturan hukum karena sebagian dari hukum itu digunakan untuk membenarkan tindakan yang dilakukan.

Menegakkan hukum tanpa menggunakan hukum dapat melahirkan tindakan sewenang-wenang. Sebaliknya, menggunakan hukum tanpa berniat menegakkan hukum dapat menimbulkan ketidakadilan kepastian hukum dan dengan cepat membawa keadaan seperti tanpa hukum. Pemahaman penuh terhadap tegakkan hukum dan gunakan hukum tersebut mutlak dimiliki setiap abdi hukum.

Umumnya, penegak hukum berpandangan terlalu sempit dan yuridis dogmatis semata. Sangat berlainan dengan kriminolog yang menganut pandangan multidisipliner.

Tiap profesi hukum memiliki sikap dan paradigma berbeda dalam memandang hukum. Pertama, ada yang berpegang pada aturan dan tata cara penanganan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua, ada yang memilih meninggalkan cara di atas—sebagian ataupun seluruhnya—dengan melakukan kompromi dan langkah-langkah lain. Mereka yang konsisten pada pilihan pertama tentu wajib diacungi jempol dan didukung sepenuhnya. Permasalahan justru berada pada insan yang tetap teguh dengan sikap kedua.

Ketika memilih untuk tidak terlalu berpegang pada ketentuan yang ada, kesempatan melakukan penyimpangan akan muncul seketika. Aturan dan pasal hanya dianggap sebagai sarana atau alat untuk dieksploitasi demi kepentingan pribadi.

Rekayasa dan eksploitasi

Sifat teknikalitas yang tinggi dalam hukum modern mengakibatkan proses hukum di dalam maupun di luar pengadilan menjadi teramat eksklusif milik mereka yang berkecimpung dalam profesi hukum. Proses hukum akhirnya menjadi ajang beradu teknik dan keterampilan. Siapa yang lebih pintar menggunakan dan memanfaatkan hukum, besar kemungkinan ia akan muncul sebagai pemenang perkara. Bahkan, konsultan hukum yang memiliki jam terbang teramat tinggi dapat menciptakan suatu konstruksi hukum yang dituangkan dalam kontrak sedemikian canggihnya sehingga kliennya dapat dipastikan telah meraih kemenangan tanpa melalui pengadilan. Karakter teknikalitas tersebut lantas menggiring hukum pada posisi yang siap direkayasa dan dieksploitasi. Peluang melakukan hal itu dapat beragam sesuai tingkatan oknum penegak hukum itu sendiri.

Ketika perkara baru sampai di tingkat kepolisian, celah tersebut terletak dalam kewenangan diskresi yang dimiliki polisi. Saat naik ke kejaksaan, hal tersebut bisa terdapat dalam kekuasaan jaksa, misalnya melakukan deponir. Pada tingkat puncak, yakni di tangan hakim yang memiliki kewenangan diskresi terbesar, yang bersangkutan dapat menilai bersalah-tidaknya seseorang dengan mudah, ibaratnya dapat seketika menghitam-putihkan segala persoalan hukum.

Tidak boleh dilupakan juga profesi advokat atau pengacara. Sebagai salah satu penegak hukum, seorang pengacara memiliki keterampilan mumpuni dalam melakukan pembelaan terhadap kliennya dengan menyusun bahkan mungkin menciptakan berbagai alibi yang ada.

Lebih parah lagi, meskipun keseluruhan aparat hukum di atas merupakan individu yang amanah, tak jarang masyarakat yang justru mendekati mereka, menciptakan terjadinya peluang melakukan penyimpangan, agar kasus yang menimpanya dipermudah dan diperlancar. Sudah rahasia umum, siapa pun tak ingin berlama-lama berurusan dengan hukum. Maka, penyimpangan dari prosedur hukum merupakan pilihan utama supaya persoalan dapat diselesaikan di luar
hukum.

Eksploitasi hukum itu ujung-ujungnya akan menggunakan hukum sebagai alat kejahatan. Dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya, oknum tersebut akan menegakkan hukum dengan cara yang tidak sesuai peraturan, dan menggunakan hukum untuk tujuan tidak semestinya. Akhirnya, keadilan, kepastian, dan manfaat hukum semakin jauh dari yang dicita-citakan. Kondisi demikian makin marak terjadi di saat dunia peradilan dan penegakan hukum berada dalam situasi anomi, suatu keadaan tanpa peraturan dan norma, sebagai salah satu bentuk pengabaian norma yang terjadi akibat adanya kesenjangan antara cita-cita atau tujuan dengan sarana yang ada.

Kenyataan ini dapat menjadikan seseorang diberi tiga pilihan ketika bersentuhan dengan hukum. Pertama, menegakkan dan menggunakan hukum mengikuti cara yang termaktub dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Kedua, melakukannya, tetapi dengan jalan menyimpang di luar undang-undang. Ketiga, tidak melakukan keduanya, dalam arti cuma memanfaatkan celah hukum semata dengan segala upaya untuk kepentingan pribadi. Pilihan kedua dan ketiga ini ditengarai akan menjamur dalam situasi anomi.

Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oknum-oknum tersebut lambat laun dapat menjelma menjadi kejahatan yang teramat sempurna tanpa celah serta terlindung oleh hukum yang mereka ciptakan. Jika semua ini didiamkan dan anomi dibiarkan terjadi, penyimpangan dalam dunia peradilan akan menjadi budaya yang tidak akan dipermasalahkan lagi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar