Minggu, 14 Januari 2018

Politik Omong Kosong

Politik Omong Kosong
M Subhan SD  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                      KOMPAS, 13 Januari 2018



                                                           
Politik uang—maaf—mirip kentut. Sulit membuktikan wujudnya, tetapi baunya menyebar ke mana-mana. Hebohnya luar biasa. Orang bisa saling tuding, saling melotot, saling tunjuk, tetapi tiada yang mau mengaku. Bahkan, mereka yang mempraktikkan politik uang pun akan tutup mulut. Jangankan minta kuitansi tanda terima, pengakuan saja ditolak ramai-ramai. Pengakuan adalah tindakan bunuh diri. Dan pembantahan sebetulnya adalah sikap tak tahu diri. Politik tanpa uang ibarat sayur tanpa garam. Hambar, tidak punya rasa.

”Uang adalah ASI (air susu ibu) dari politik,” kata? ?Jesse Unruh, Ketua Majelis Negara Bagian California era 1960-an. ”Ada dua hal penting dalam dunia politik. Pertama adalah uang, dan kedua saya tidak ingat,” kata Mark Hanna, penanggung jawab dana kampanye presiden ke-25 Amerika Serikat William McKinley (1897-1901). Hanna berhasil mengumpulkan dana besar sekitar 3 miliar dollar AS, yang belum pernah terjadi dalam sejarah politik di AS.

Di negeri ini, berdasarkan data Litbang Kementerian Dalam Negeri pada pilkada serentak tahun 2015, untuk menjadi bupati atau wali kota, pasangan calon merogoh kocek hingga Rp 30 miliar, sedangkan pasangan calon untuk menjadi gubernur berkisar Rp 20 miliar-Rp 200 miliar (Kompas, 27/9/2016). Biaya politik itulah yang menjadi biang kerok mahalnya politik. Ada yang namanya mahar politik. Istilah mahar mengalami peyorasi. Istilah mahar awalnya sakral nan suci dalam ikatan perkawinan, tetapi menjadi profan, bahkan maknanya rendah, ketika diadopsi di politik. Mahar adalah modal untuk mendapatkan kendaraan partai politik.

Kasak-kusuk politik yang beredar, visi-misi dan program kerja pasangan calon rupanya hanya untuk konsumsi publik. Di depan partai politik, soal visi-misi dan program kerja mungkin dinomorduakan. Ada calon yang bilang begini, ”Omong kosong ditanya visi-misi, yang ditanya ’Anda punya uang berapa?’.” Maka, ketika La Nyalla Mattalitti mengungkap soal permintaan mahar dari Partai Gerindra, gosip politik makin gaduh. La Nyalla Mattalitti yang gagal maju pada Pilgub Jawa Timur mengaku dimintai setoran uang Rp 40 miliar oleh Prabowo Subianto sebelum 20 Desember 2017. Gerindra pun mencak-mencak. Keterangan bertubi-tubi dilayangkan untuk membantah La Nyalla. Namun, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono menilai, kalaupun benar permintaan uang Rp 40 miliar, itu bisa dianggap wajar karena untuk membayar saksi di tempat pemungutan suara.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi juga pernah mengungkap soal mahar dari partainya sendiri sebagai syarat bisa maju di Pilgub Jawa Barat 2018. Pada Desember 2017, Dedi pernah mengungkap dimintai mahar Rp 10 miliar saat DPP Partai Golkar dipimpin Setya Novanto. Dedi baru mendapat rekomendasi (menjadi calon wakil gubernur mendampingi Deddy Mizwar) setelah Setya Novanto tergusur.

Mahar, biaya politik, politik uang, atau gizi politik adalah istilah yang terlalu sering terdengar di panggung politik. Tanpa uang, mereka yang hebat dan genius sekalipun belum tentu mendapatkan peluang untuk menjadi pemimpin di negeri ini. Kalaupun ada, barangkali modusnya yang beda. Bukan mahar di awal, tetapi sistem ijon. Setelah menang, modusnya adalah para pemodal atau donatur itu akan menagih pasangan calon. Bisa lewat proyek atau jabatan. Politik balas jasa atau balas budi.

Hal itulah yang mengakibatkan negeri ini terus dilanda bencana korupsi. Korupsi menjadi ladang subur untuk mengembalikan modal yang telah digelontorkan demi sebuah kursi jabatan untuk lima tahun. Laporan The National Democratic Institute (Reflect, Reform, Reengage: A Blueprint for 21st Century Parties, 2017) memperlihatkan bahwa pada abad ke-21, biaya politik meningkat untuk membayar demokrasi sehingga terbangun kepercayaan publik bahwa partai politik itu korup, dibuktikan dengan skandal tanpa akhir yang melibatkan uang dan politik.

Korupsilah yang merusak demokrasi yang diperjuangkan mahasiswa, rakyat, masyarakat si- pil, saat reformasi 1998. Demokrasi benar-benar cacat oleh praktik korup yang dilakukan politi- kus, pejabat, atau partai politik. Ketahanan demokrasi Indonesia sangat rapuh. Berdasarkan la- poran Institute for Democracy and Electoral Assistance selama 40 tahun (1975-2015), tampak korupsi paling merusak ketahanan demokrasi di Indonesia (The Global State of Democracy: Exploring Democracy’s Resilience, 2017).

Tahun 2015, subdimensi paling rendah adalah ketiadaan korupsi (absence of corruption) dengan skala 0,38 (skala indeksnya 0-1, dari buruk menuju baik). Kira-kira seposisi dengan Republik Kongo yang berskala 0,36. Kasus-kasus korupsi besar yang membuat gaduh semuanya melibatkan aktor-aktor politik, semisal wisma atlet Palembang, proyek Hambalang, proyek infrastruktur daerah, kuota impor daging sapi, hingga KTP elektronik. Jadi, benarkah para aktor politik berkomitmen membangun demokrasi yang baik, bersih, dan kuat? Sepanjang korupsi terus beranak pinak, politik itu cuma omong kosong. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar