Kamis, 11 Januari 2018

Dialektika Hegel dan Nasionalisme

Dialektika Hegel dan Nasionalisme
Amsar A Dulmanan ;  Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta
                                                 KORAN SINDO, 04 Januari 2018



                                                           
GWF Hegel (1770-1831) sang pemikir abad ke-19 merupakan “idealis” Jerman masa pencerahan. Bersama Fichte dan Schelling, Hegel menekuni dan mengembangkan konsepsi Immanuel Kant perihal transcendental, yang menempatkan akal atau rasio sebagai titik kajian dalam mengatasi pengalaman, yakni suatu konsepsi dasar atau identifikasi antara subjekdan objekdi dalam ide.

Berpijak dalam Kant tentang benda dalam dirinya (ding an sich) juga soal identitas yang hanya mungkin terwujud karena adanya perbedaan, Hegel mencoba mengerti bahwa sintesa mutlak subjek dan objek bukanlah hal terbatas menjadi tidak terbatas di luar kedirian. Di sini “diri” merupakan keberadaan di-ketiada-an dan selanjutnya “menjadi“ di dalam yang mutlak.

Sementara refleksi “akali” atau “pemikiran” menggunakan akal adalah meng-ia-kan keterbatasan, sekaligus membangkitkan perlawanan dan mengarahkannya menuju yang mutlak juga. Sementara yang mutlak adalah “totalitas”, di mana asasnya telah mencakup dan mewujudkan keseluruhan.

Jika meminjam pemikiran Fichte, Kantian generasi pertama, bahwa seluruh isi dunia sebagai totalitas adalah sama seperti kesadaran, sehingga ke tika ego mengiakan dirinya (tesa) mengakibatkan hadir dan adanya bukanego (antitesa), sedangkan sintesa dari kedua nya—terletak—tidak lagi saling mengucilkan.

Artinya, suatu kebenaran dari keduanya tidak berposisi mutlak menegasikan, tetapi dibatasi bahkan berlaku nya pun tidak absolut. Pada posisi ini ego menempatkan suatu bukan ego yang keduanya dapat dibagi-bagi dan saling berhadapan. Bagi Hegel, proses dialektika tersebut dipahami sebagai pengertian polaritas, yaitu sebagai hal penting dalam kesadaran manusia di diri maupun di da lam alam—di luar kesadar an nya, tentu saja yang berdinamisasi.

Hegel terkonsentrasi pada pengertian sintesa, di mana tesa maupun antitesabukan dibatasi seperti dalam pengertian Fichte, melainkan sebagai aufgehoben dengan tiga pengertian; mengesampingkan, merawat atau menyimpan—tidak saling meniadakan kecuali dirawat dalam suatu kesatuan.

Lalu terakhir tesis dan antitesis di tempatkan pada dataran yang lebih tinggi sehingga keduanya tidak lagi berfungsi sebagai lawan yang saling mengucil kan, bukan menegasikan satu dengan lain, tapi menstrukturasi kemungkinan kesepahaman sintesa.

Dalam konsepsi tersebut, Hegel mengedepankan bahwa suatu pandangan yang ekstrem ke kanan menimbulkan suatu reaksi yang ekstrem ke kiri, yang kemudian melakukan suatu kompromi yang menyelaraskan keduanya.

Dengan metode dialektika ini, Hegel melakukan sintesis antara idealisme subjektif dengan idealisme objektif menjadi idealisme mutlak. Terkait tentang nasionalisme sebagai sintesa adalah menuntut penguatan dalam tata kehidupan bernegara akibat mobilitas politik rasial—dalam pilkada DKI lalu—di ruang kesadaran massa.

Karena itu, menjadi wajar jika Megawati Soekarnoputri mengingatkan perlu upaya rasional bahwa proses pemilihan umum merupakan mekanisme memilih pemimpin negara (pemerintahan), bukan untuk pemimpin agama atau kepemimpinan bersifat primordial. Seperti juga Gus Dur yang kerap menegaskan perlunya integrasi paham keagamaan dan paham kenegaraan untuk menjadi Indonesia.

Pada dialektika Hegel, kita di ingatkan bahwa satu golongan berkehendak supaya agama menguasai negara—sebagai tesa akan memunculkan reaksi negara menguasai agama—sebagai antitesa.

Pada pengertian pertama kebebasan beragama bisa jadi terjamin bahkan dapat mengatur diri sesuai hakikat serta sifatnya, untuk kedua ada kesatuan di antara kekuatan dan kekuasaan politik sehingga memungkinkan tata tertib nasional terjamin.

Negatifnya adalah ada kemungkinan kebebasan agama itu hanya berlaku bagi satu agama dominan serta menegasikan keberadaan agama lain, sedangkan di sisi lain bahwa kekuasaan di negara tidak sama se perti kekuatan yang riil sehingga tata tertib nasional akan goyah. Negara diatur bukan berdasar konstitusi rasional, melainkan dengan pendekatan “nilai subjektif” dengan berbagai perspektif atas kepentingan rejim berkuasa.

Dari kedua hal itu, maka sintesanya adalah lahir pandangan menghendaki pemisah an antara agama dan negara. Agama maupun negara diberi tugasnya sendiri-sendiri dalam bidangnya sendiri. Sisi lain dari sintesa ini yakni tertib nasional terlaksana sebagai kesepakatan mengatur kehidupan bersama, sedangkan kebebasan agama terjamin bagi semua agama.

Hak agama dihormati, sedang kan kepentingan agama tidak dicampur dengan kepentingan politik, walaupun kekuatan atau kekuasaan politik berada di tangan yang sama. Hal terburuk adalah agama hanya dijadikan “perkara pribadi” dan mudah kehilangan rasa tanggung jawab sosialnya atau kurang ikut menjaga nilai moral politiknya.

Di sinilah kegelisahan Hegel tentang struktur yang mampu menimbulkan suatu hubungan “dialogis” antara agama dan negara yang tidak sebatas pemisahan saja, melainkan menuntut praktik “iman” agama berbanding lurus dengan moralitas etik perilaku pemeluknya.

Dengan hakikat roh benar merupakan ide dan pikiran sebagai proses-proses kesejarahan manusia, sebagai warga bangsa dari suatu negara. Bagi Hegel, sejarah manusia adalah usaha-usaha untuk memperbaiki keadaan atau diri, bahkan merupakan suatu lambang untuk “kerja” merevolusi ruang kesadaran tentang diri yang berdialektika menjadi bagian yang kolektif, yaitu sEbagai subjek “independen” yang sadar.

Dalam arti yang spesifik, dialektika meng isyarat kan bahwa tindakan individu warga bukan kepentingan perorangan—yang egois dan individualistis—melainkan kekuatan yang menetapkan nasib masyarakat yang hidup sebagai suatu bangsa. Bahkan hal esensial, Hegel memberi derajat tinggi ter hadap negara nasional mengingat nation itulah yang merupakan satuan penting dari individu atau tiap kumpulan lain dari individu.

Dengan begitu, semangat atau jiwa suatu bangsa (volksgeist) yang bekerja meliputi individu-individu, bukan ditentukan atas kemauan atau maksud—secara sadar—dari individu, melainkan sebagai kepentingan untuk bersama. Jiwa bangsa oleh Hegel m rupakan “pencipta” perubahan-perubahan untuk menjadi lebih baik, seperti kesenian, hukum, moral, dan agama.

Sejarah peradaban adalah penghadiran dari kebudayaan-kebudayaan nasional yang setiap bangsa memberi keistimewaan dan kepastian yang tepat. Pada pengertian ini Hegel meletakkan ciri yang tepat mengenai nasionalisme sebagai antitesa konservatisme yang menghalangi terciptanya persatuan nasional, tapi pada sisi tertentu keberadaan nasionalisme sebagai tesa—kesadaran—yang berimplikasi hadirnya liberalisme sebagai antitesa baru.

Dua hal penting dalam dialektika Hegel, pertama merupakan metode pada upaya mencari serta menentukan kesimpulan baru, kedua sebagai suatu teori negara bangsa yang mengandung kekuasaan politik nasional. Diposisi inilah nasionalisme menjadi suatu kebutuhan mutlak untuk menjadi Indonesia, subjek dari peradaban warga bangsa yang dinamis. Semoga! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar