Dialektika
Hegel dan Nasionalisme
Amsar A Dulmanan ; Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia
(UNUSIA) Jakarta
|
KORAN
SINDO, 04 Januari 2018
GWF Hegel (1770-1831) sang
pemikir abad ke-19 merupakan “idealis” Jerman masa pencerahan. Bersama Fichte
dan Schelling, Hegel menekuni dan mengembangkan konsepsi Immanuel Kant
perihal transcendental, yang menempatkan akal atau rasio sebagai titik kajian
dalam mengatasi pengalaman, yakni suatu konsepsi dasar atau identifikasi
antara subjekdan objekdi dalam ide.
Berpijak dalam Kant
tentang benda dalam dirinya (ding an sich) juga soal identitas yang hanya
mungkin terwujud karena adanya perbedaan, Hegel mencoba mengerti bahwa
sintesa mutlak subjek dan objek bukanlah hal terbatas menjadi tidak terbatas
di luar kedirian. Di sini “diri” merupakan keberadaan di-ketiada-an dan
selanjutnya “menjadi“ di dalam yang mutlak.
Sementara refleksi “akali”
atau “pemikiran” menggunakan akal adalah meng-ia-kan keterbatasan, sekaligus
membangkitkan perlawanan dan mengarahkannya menuju yang mutlak juga.
Sementara yang mutlak adalah “totalitas”, di mana asasnya telah mencakup dan
mewujudkan keseluruhan.
Jika meminjam pemikiran
Fichte, Kantian generasi pertama, bahwa seluruh isi dunia sebagai totalitas
adalah sama seperti kesadaran, sehingga ke tika ego mengiakan dirinya (tesa)
mengakibatkan hadir dan adanya bukanego (antitesa), sedangkan sintesa dari
kedua nya—terletak—tidak lagi saling mengucilkan.
Artinya, suatu kebenaran
dari keduanya tidak berposisi mutlak menegasikan, tetapi dibatasi bahkan
berlaku nya pun tidak absolut. Pada posisi ini ego menempatkan suatu bukan
ego yang keduanya dapat dibagi-bagi dan saling berhadapan. Bagi Hegel, proses
dialektika tersebut dipahami sebagai pengertian polaritas, yaitu sebagai hal
penting dalam kesadaran manusia di diri maupun di da lam alam—di luar kesadar
an nya, tentu saja yang berdinamisasi.
Hegel terkonsentrasi pada
pengertian sintesa, di mana tesa maupun antitesabukan dibatasi seperti dalam
pengertian Fichte, melainkan sebagai aufgehoben dengan tiga pengertian;
mengesampingkan, merawat atau menyimpan—tidak saling meniadakan kecuali
dirawat dalam suatu kesatuan.
Lalu terakhir tesis dan
antitesis di tempatkan pada dataran yang lebih tinggi sehingga keduanya tidak
lagi berfungsi sebagai lawan yang saling mengucil kan, bukan menegasikan satu
dengan lain, tapi menstrukturasi kemungkinan kesepahaman sintesa.
Dalam konsepsi tersebut, Hegel
mengedepankan bahwa suatu pandangan yang ekstrem ke kanan menimbulkan suatu
reaksi yang ekstrem ke kiri, yang kemudian melakukan suatu kompromi yang
menyelaraskan keduanya.
Dengan metode dialektika
ini, Hegel melakukan sintesis antara idealisme subjektif dengan idealisme
objektif menjadi idealisme mutlak. Terkait tentang nasionalisme sebagai
sintesa adalah menuntut penguatan dalam tata kehidupan bernegara akibat
mobilitas politik rasial—dalam pilkada DKI lalu—di ruang kesadaran massa.
Karena itu, menjadi wajar
jika Megawati Soekarnoputri mengingatkan perlu upaya rasional bahwa proses
pemilihan umum merupakan mekanisme memilih pemimpin negara (pemerintahan),
bukan untuk pemimpin agama atau kepemimpinan bersifat primordial. Seperti
juga Gus Dur yang kerap menegaskan perlunya integrasi paham keagamaan dan
paham kenegaraan untuk menjadi Indonesia.
Pada dialektika Hegel,
kita di ingatkan bahwa satu golongan berkehendak supaya agama menguasai
negara—sebagai tesa akan memunculkan reaksi negara menguasai agama—sebagai
antitesa.
Pada pengertian pertama
kebebasan beragama bisa jadi terjamin bahkan dapat mengatur diri sesuai
hakikat serta sifatnya, untuk kedua ada kesatuan di antara kekuatan dan
kekuasaan politik sehingga memungkinkan tata tertib nasional terjamin.
Negatifnya adalah ada
kemungkinan kebebasan agama itu hanya berlaku bagi satu agama dominan serta
menegasikan keberadaan agama lain, sedangkan di sisi lain bahwa kekuasaan di
negara tidak sama se perti kekuatan yang riil sehingga tata tertib nasional
akan goyah. Negara diatur bukan berdasar konstitusi rasional, melainkan
dengan pendekatan “nilai subjektif” dengan berbagai perspektif atas
kepentingan rejim berkuasa.
Dari kedua hal itu, maka
sintesanya adalah lahir pandangan menghendaki pemisah an antara agama dan
negara. Agama maupun negara diberi tugasnya sendiri-sendiri dalam bidangnya
sendiri. Sisi lain dari sintesa ini yakni tertib nasional terlaksana sebagai
kesepakatan mengatur kehidupan bersama, sedangkan kebebasan agama terjamin
bagi semua agama.
Hak agama dihormati,
sedang kan kepentingan agama tidak dicampur dengan kepentingan politik,
walaupun kekuatan atau kekuasaan politik berada di tangan yang sama. Hal terburuk
adalah agama hanya dijadikan “perkara pribadi” dan mudah kehilangan rasa
tanggung jawab sosialnya atau kurang ikut menjaga nilai moral politiknya.
Di sinilah kegelisahan
Hegel tentang struktur yang mampu menimbulkan suatu hubungan “dialogis”
antara agama dan negara yang tidak sebatas pemisahan saja, melainkan menuntut
praktik “iman” agama berbanding lurus dengan moralitas etik perilaku
pemeluknya.
Dengan hakikat roh benar
merupakan ide dan pikiran sebagai proses-proses kesejarahan manusia, sebagai
warga bangsa dari suatu negara. Bagi Hegel, sejarah manusia adalah
usaha-usaha untuk memperbaiki keadaan atau diri, bahkan merupakan suatu
lambang untuk “kerja” merevolusi ruang kesadaran tentang diri yang
berdialektika menjadi bagian yang kolektif, yaitu sEbagai subjek “independen”
yang sadar.
Dalam arti yang spesifik,
dialektika meng isyarat kan bahwa tindakan individu warga bukan kepentingan
perorangan—yang egois dan individualistis—melainkan kekuatan yang menetapkan
nasib masyarakat yang hidup sebagai suatu bangsa. Bahkan hal esensial, Hegel
memberi derajat tinggi ter hadap negara nasional mengingat nation itulah yang
merupakan satuan penting dari individu atau tiap kumpulan lain dari individu.
Dengan begitu, semangat
atau jiwa suatu bangsa (volksgeist) yang bekerja meliputi individu-individu,
bukan ditentukan atas kemauan atau maksud—secara sadar—dari individu,
melainkan sebagai kepentingan untuk bersama. Jiwa bangsa oleh Hegel m rupakan
“pencipta” perubahan-perubahan untuk menjadi lebih baik, seperti kesenian,
hukum, moral, dan agama.
Sejarah peradaban adalah
penghadiran dari kebudayaan-kebudayaan nasional yang setiap bangsa memberi
keistimewaan dan kepastian yang tepat. Pada pengertian ini Hegel meletakkan
ciri yang tepat mengenai nasionalisme sebagai antitesa konservatisme yang
menghalangi terciptanya persatuan nasional, tapi pada sisi tertentu
keberadaan nasionalisme sebagai tesa—kesadaran—yang berimplikasi hadirnya
liberalisme sebagai antitesa baru.
Dua hal penting dalam
dialektika Hegel, pertama merupakan metode pada upaya mencari serta
menentukan kesimpulan baru, kedua sebagai suatu teori negara bangsa yang
mengandung kekuasaan politik nasional. Diposisi inilah nasionalisme menjadi
suatu kebutuhan mutlak untuk menjadi Indonesia, subjek dari peradaban warga
bangsa yang dinamis. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar