Puasa
Ramadan di Era Digital
Choirul Mahfud ; Dosen Studi Islam Institut Teknologi Sepuluh
Nopember
(ITS) Surabaya
|
JAWA
POS, 02
Juni 2017
Selama satu bulan penuh, umat Islam di seluruh dunia
menjalani ibadah puasa Ramadan. Di Indonesia, rasanya ada yang lain dari
biasanya dalam menyambut sekaligus mengisi aktivitas ibadah pada bulan suci
ini.
Bila kita mau memperhatikan lebih saksama, umat Islam di
Indonesia kini sungguh mulai akrab dengan teknologi informasi (TI). Melalui
berbagai perangkat TI dan media sosial (medsos), sejumlah ulama, kiai, ustad,
hingga santri melakukan inisiatif yang kreatif dan inovatif dalam menyuguhkan
kajian dan tausiahnya.
Beberapa di antaranya adalah KH A. Mustofa Bisri, Din
Syamsuddin, Haedar Nashir, Ulil Abshar Abdalla, Kuswaidi Syafi’ie, Muhammad
Al-Fayyadl, Habib Luthfi, Gus Yusuf Chudori Ghofar, dan masih banyak lagi
lainnya. Para tokoh, ulama, kiai, ustad, dan santri di negeri ini banyak yang
apresiatif dan respektif. Misalnya saja, banyak sekali yang menyimak kajian
tausiah Ihya Ulumuddin yang disampaikan Ulil Abshar Abdalla, didukung
istrinya dengan fasilitas live streaming di Facebook-nya.
Begitu juga yang dilakukan Gus Mus (sapaan akrab KH A.
Mustofa Bisri) melalui YouTube. Lalu komunitas Facebook Nutizen. Juga
komunitas Sahabat Pena Nusantara (SPN) yang dipimpin M. Husnaini, juga
produktif menelaah kajian puasa setiap hari. Bahkan, tidak ketinggalan
tausiah dari tokoh Muhammadiyah seperti Pak Haedar Nashir dan Pak Din
Syamsuddin melalui media TVMU.
Fenomena tersebut tampaknya menarik perhatian publik.
Rasanya, era digital betul-betul membawa perubahan yang luar biasa
signifikan. Ada nuansa yang berbeda dibanding tahun sebelumnya. Puasa tahun
ini benar-benar disambut meriah di dunia digital.
Menariknya lagi, bila diperhatikan, sambutan dan ucapan
selamat menunaikan ibadah puasa Ramadan melalui medsos juga dilakukan umat
nonmuslim. Hal itu bisa dilihat, misalnya, dari status Facebook tokoh
perempuan Tionghoa Anita Lie dan Esther Kuntjara (UK Petra Surabaya).
Bukan hanya itu, fitur-fitur e-mail, website, dan Facebook
hingga Google juga memberikan tawaran template atau aplikasi otomatis
bertulisan ”Selamat Berpuasa Ramadan Kareem” dan semacamnya. Inilah sisi lain
puasa Ramadan di era digital.
Mari kembali ke bahasan mengapa para ulama, kiai, ustad,
dan umat Islam di negeri ini mulai banyak menggunakan media dakwah dan
tausiah melalui internet. Tentu saja banyak alasan yang sekurang-kurangnya
bisa dipahami dari analisis berikut.
Pertama, sebagai media alternatif melawan paham terorisme.
Belakangan ini banyak sekali isu dan masalah fundamental serta radikal
terkait terorisme, bahkan bom bunuh diri.
Berbagai masalah tersebut diduga awalnya berasal dari
pesan salah (hoax) soal dakwah melalui internet. Isi-isi pesan dakwah seolah
didominasi konten yang cenderung menebar paham kebencian satu dengan lainnya.
Bulan Ramadan inilah dianggap kesempatan yang baik untuk memberikan solusi
tausiah Islam ramah yang penuh rahmat. Hal itu setidaknya bisa dipahami dari
ulasan dan alasan Ulil di Facebook-nya.
Kedua, alasan audiens di medsos internet yang memerlukan
siraman rohani. Rasanya tidak semua umat Islam sebagai audiens selalu
berkesempatan mendengar ceramah di masjid atau musala. Melalui perangkat
internet, pilihan penggunaan medsos tentu saja menjawab sekaligus memenuhi
harapan audiens tanpa batas. Audiens bisa menjangkau batas-batas jarak
geografis. Bukan hanya warga Indonesia yang tinggal di dalam negeri, tetapi
juga di luar negeri.
Artinya, berdakwah melalui internet menemukan momentumnya
dan sesuai dengan harapan generasi masa kini. Disampaikannya materi tausiah
pada akhirnya bisa dijangkau siapa saja di seluruh dunia sehingga yang rindu
nuansa kajian pesantren bisa terjawab. Termasuk bagi yang penasaran nuansa Ramadan
di negeri ini.
Ketiga, sebagai upaya meraih berkah. Sebagaimana
dimafhumi, bulan Ramadan merupakan bulan yang penuh berkah, rahmah, dan
magfirah-Nya. Seluruh aktivitas mulia melalui semua media dakwah virtual di
era digital ini bisa dipahami sebagai bagian untuk meraih berkah.
Praktisnya, para mubalig, ulama, kiai, dan ustad
berinisiatif dengan sukarela penuh dedikasi berbagi ilmu pengetahuan agama
melalui media virtual. Ibarat dua sisi mata uang, aktivitas dakwah dan
tausiah berbasis TI saling terkait satu dengan lainnya. Bila kita bisa
memanfaatkan dengan baik, tentu saja menjadi teladan yang baik dan ada banyak
peluang yang dapat digunakan semua pihak untuk menebar kebaikan serta
keberkahan demi kemajuan umat dan bangsa. Semoga.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar