Orkestrasi
Presiden Kendalikan Korupsi di TNI
Dedi Haryadi ; Deputi Sekjen Transparansi Internasional Indonesia
|
KOMPAS, 07 Juni 2017
Pengungkapan kasus korupsi pengadaan helikopter AW 101 yang sudah mulai memperlihatkan
titik terang, menunjukkan kontrol politik Presiden Joko Widodo terhadap
institusi militer makin kuat dan efektif. Ini patut diapresiasi.
Para politisi sipil, bahkan politisi dari kalangan militer
sendiri, umumnya lembek dan inferior
menghadapi tentara/institusi tentara.
Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, tidak
memerintahkan penyelidikan menyeluruh atas dugaan korupsi pengadaan pesawat
tempur Sukhoi yang muncul pada periode kepemimpinannya.
Kemauan dan ketegasan
Jokowi memerintahkan pengusutan kasus pengadaan helikopter AW 101 bisa
jadi referensi bagi presiden lain di masa mendatang. Capaian ini merupakan momentum politik
yang baik dan tepat bagi Presiden untuk makin mendayagunakan pengaruh
politiknya secara optimal. Kontrol
politik Presiden yang makin kuat dan efektif itu sebaiknya juga didayagunakan
untuk mengorkestrasi gerakan antikorupsi di tubuh militer (Kemenhan/TNI)
secara menyeluruh.
Tindakan sabotase
Dugaan korupsi pengadaan helikopter AW 101 menunjukkan
kasus ini lebih dari sekadar korupsi.
Pertama, kasus ini mencerminkan buruknya tata kelola pengadaan alat
utama sistem persenjataan (alutsista) kita yang ditandai absennya koordinasi
antara Menteri Pertahanan, Panglima TNI, dan
Kepala Staf Angkatan Udara. Dalam dengar pendapat dengan DPR beberapa
bulan lalu, Menteri Pertahanan dan Panglima TNI mengaku tak tahu-menahu soal
pengadaan helikopter AW 101 ini.
Dalam penetapan tersangka korupsi AW 101, sebaiknya polisi
militer membuka kemungkinan untuk
melihat tersangka lain yang lebih tinggi pangkatnya dari Marsekal
Pertama/Brigadir Jenderal.
Kedua, keukeuh
dilaksanakannya pengadaan ini jelas menujukkan adanya pembangkangan terhadap
perintah Panglima Tertinggi TNI. Pembangkangan ini jelas preseden buruk. Ini
merupakan penyimpangan dalam struktur
dan kultur TNI yang hierarkis dan
patuh pada komando (perintah atasan).
Dalam rapat terbatas akhir 2015, Presiden Jokowi menolak
usulan pengadaan helikopter AW 101 ini. Alasannya, harga helikopter AW 101 terlalu mahal dan
kondisi ekonomi saat itu belum mendukung. Alasan lain yang lebih substansial,
Presiden sebagai Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP)
diperintahkan oleh UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan untuk
memperkuat industri pertahanan dalam negeri. Membeli alutsista impor, padahal
kita mampu memproduksinya di dalam negeri jelas pilihan keliru dan berbau
pengkhianatan.
Ketiga, tindakan koruptif para tersangka bisa
dikategorikan sebagai kegiatan sabotase
terhadap agenda dan kepentingan nasional untuk memperkuat industri
pertahanan. Upaya memperkuat industri pertahanan merupakan amanat UU No
16/2012. Para tersangka lebih
mengutamakan meraih rente untuk kepentingan diri sendiri dan berjangka pendek
ketimbang kepentingan nasional berjangka panjang untuk mencapai swasembada alutsista. Nasionalisme para tersangka patut
diragukan. Nanti oditur militer bisa menuduh para tersangka secara berlapis,.
Selain mendakwa para tersangka dengan perbuatan koruptif, barangkali mereka
juga dapat dituduh dengan perbuatan
pembangkangan dan sabotase swasembada alutsista.
Keempat, last but not least, kejadian ini menohok rasa
keadilan dalam tubuh keluarga besar TNI. Korupsi ini terjadi pada saat
sekitar 52 persen atau lebih dari 200.000 prajurit TNI belum punya rumah
sendiri. Ratusan ribu prajurit masih mengontrak rumah, menebeng pada
orangtua, mertua atau kerabat. Dana yang dikorupsi dari pengadaan helikopter
ini sekitar Rp 220 miliar, sebenarnya
bisa dialokasikan dan digunakan untuk membangun barak/hunian yang
layak bagi ribuan prajurit dan keluarganya.
Ada kontradiksi serius di sini. Dalam beberapa kesempatan
Panglima TNI dan Menhan mengeluhkan ihwal
anggaran Kemenhan/TNI yang kecil dan terbatas, tetapi pada saat yang
sama kita dapati ada ratusan miliar rupiah yang bisa dikorup hanya dari satu
kasus pengadaan satu pesawat saja.
Komponen gerakan
Apa saja yang harus diorkestrasikan oleh Presiden dalam
mengendalikan risiko korupsi di tubuh militer? Setidaknya ada enam komponen
gerakan antikorupsi yang harus diorkestrasikan oleh Presiden Jokowi.
Pertama, meningkatkan fungsi kontrol politik parlemen,
khususnya Komisi I DPR, terhadap kebijakan dan perilaku institusi militer
dalam mengelola sumberdaya dan tata kelolanya.
Kedua, mendorong dan memperdalam keterlibatan dan kontrol
publik-termasuk di dalamnya warga, organisasi masyarakat sipil, dan media
massa-dalam proses legislasi, kebijakan, dan penganggaran sektor pertahanan
dan keamanan.
Ketiga, meningkatkan efektivitas kontrol internal
Kemenhan/TNI dalam pengelolaan keuangan, sumber daya manusia dan asetnya,
Keempat, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan anggaran (belanja) dan aset-aset Kemenhan/TNI.
Kelima, memperbaiki tata kelola pengadaan barang dan jasa Kemenhan/TNI.
Keenam, mengakhiri dualisme sistem peradilan dengan
merevisi UU No 31/1997 tentang
Peradilan Militer, yaitu memisahkan
pemidanaan prajurit TNI. Mereka yang
melakukan kejahatan militer/perang diadili di pengadilan militer, sementara
kejahatan korupsi, misalnya, diadili
di pengadilan sipil/umum.
Mungkinkah
Presiden Jokowi
mengorkestrasi semua komponen
gerakan itu dalam sisa masa
jabatannya? Supaya mungkin, ia harus mulai memikirkan bagaimana bisa dipilih
lagi jadi presiden. Nyali, kesungguhan, dan keterampilannya mengendalikan
risiko korupsi di tubuh militer akan jadi modal penting untuk memenangi
pemilihan presiden berikutnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar