Mendialogkan
Dialog Agama
Mun’im Sirry ; Profesor Teologi di Universitas Notre Dame,
Indiana, AS
|
KOMPAS, 05 Juni 2017
Tak diragukan, arus radikalisasi dan intoleransi agama
belakangan kian menguat. Dalam beberapa survei disebutkan, fenomena itu
ditopang semakin meluasnya pandangan keagamaan eksklusif, termasuk di
kalangan generasi muda dan guru sekolah. Salah satu cara membendungnya ialah
dengan menggalakkan diskursus dan aktivitas yang menjadi lawannya. Dan,
dialog agama merupakan ”ancaman” bagi mereka yang mengadvokasi pandangan
eksklusif tentang kebenaran agama.
Itulah mengapa semangat dan api dialog agama tidak boleh
meredup. Dialog agama di sini dimaksudkan mencakup interaksi antar dan
intra-agama. Tentu saja ada banyak alasan lain mengapa diskursus dan
aktivitas tersebut perlu terus dikembangkan. Dalam masyarakat yang plural dan
terpolarisasi seperti Indonesia, dialog agama dapat dijadikan alat untuk
mengurangi ketegangan dan intoleransi yang melibatkan pemeluk agama-agama
berbeda.
Belajar dari pengalaman, sebenarnya banyak kalangan ingin
terlibat dalam dialog agama. Akan tetapi, sebagian orang khawatir bahwa
dialog dengan mereka yang berbeda keyakinan dapat mengikis komitmen terhadap
agamanya atau melunturkan identitas keagamaannya.
Untuk meyakinkan bahwa hal itu tidak akan terjadi, saya
kerap menganalogikan dengan orang yang belajar bahasa asing. Jika Anda
belajar bahasa Inggris, semakin Anda lancar berbahasa Inggris dan mengetahui
budaya mereka yang menggunakannya, yang terjadi bukanlah bahasa Indonesia
Anda akan hilang. Sebaliknya, belajar bahasa lain justru akan memperkaya
penguasaan ”bahasa ibu” Anda.
Meski demikian, kekhawatiran sebagian kalangan perlu
dibicarakan. Itulah yang menjadi tujuan tulisan ini: mendialogkan apa yang
kita maksud dengan ”dialog agama”.
Apa yang didialogkan?
Dialog mengasumsikan tingkat keterlibatan berbagai pihak
dalam berbagi pandangan dan pengalaman. Dialog bisa mengambil banyak bentuk,
misalnya tukar pikiran, khususnya dalam urusan teologi; berbagi pengalaman
keagamaan, kerja sama dan kolaborasi, atau dialog dalam relasi kehidupan
bersama. Dan, masing-masing bentuk dialog tersebut memiliki tujuan yang
spesifik.
Di samping berbagai tujuan yang spesifik, dialog agama
diharapkan mendorong dan menumbuhkan kesadaran, pengetahuan, dan apresiasi
terhadap keragaman agama dan pemahaman keagamaan secara lebih signifikan.
Dialog yang produktif akan sulit berkembang jika para partisipan tidak cukup
terbuka untuk berbagi pengalaman keagamaannya dan mengeksplorasi realitas
keragaman pandangan. Karena itu, diperlukan penerimaan bahwa keragaman
pandangan keagamaan bukan hanya mungkin, melainkan juga fakta otentik.
Berbeda pandangan keyakinan bukan kesalahan teologis.
Ada dua kesalahan umum tentang tujuan dialog agama. Pertama,
tujuan utama dialog ialah mengubah pandangan partisipan lain. Sebagian orang
terlibat dalam dialog dengan ”ambisi” untuk mengubah pandangan pihak lain.
Jika ini yang menjadi tujuan, besar kemungkinan dialog menjadi ajang
perdebatan. Memang, keterlibatan dalam dialog diharapkan menumbuhkan sikap
yang lebih apresiatif terhadap keyakinan pihak lain. Artinya, apabila
seseorang memang tidak akan pernah mengubah sikap dan pendiriannya karena
sudah memiliki pandangan yang fixed,
tidak ada manfaatnya ia ikut serta dalam forum dialog.
Akan tetapi, apakah orang lain berubah atau tidak,
seharusnya bukan concern peserta
dialog. Tujuan pertukaran pikiran adalah agar kita menjadi lebih informed
sebagai ”bekal” untuk menyikapi keyakinan orang lain. Dengan kata lain,
dengan terlibat dalam dialog, seseorang dapat melihat agamanya sendiri dari
berbagai sudut pandang. Banyak peserta pemula dialog agama yang
mengekspresikan pengalaman menarik yang tidak pernah terjadi sebelum punya
kesempatan berinteraksi dengan orang-orang dari agama berbeda.
Kedua, dialog adalah aktivitas dakwah atau misionari untuk
mengonversi orang lain kepada agama kita atau memindahkan orang lain kepada
golongan kita. Persepsi ini salah karena aktivitas tersebut lebih terkait
soal ”menang-kalah” yang menjadi tujuan debat, bukan dialog. Dalam
perdebatan, seseorang yang cakap berargumen akan memenangi perdebatan, tetapi
tidak dapat membuktikan kebenaran keyakinan. Sementara itu, agenda dialog
ialah untuk memahami ”yang lain”, bukan memenangi argumentasi.
Perlu juga dicatat bahwa dialog bukan arena untuk
mencari-cari kesamaan antara satu agama dan agama lain. Misalnya, melalui
upaya penelusuran aspek-aspek esoteris untuk menyingkap bahwa semua agama
pada intinya adalah satu dan sama. Itu bukan tujuan dialog agama. Persamaan
tidak perlu dipaksakan. Yang diperlukan adalah menghargai perbedaan.
Dua kesalahan umum di atas perlu ditegaskan. Sebab, jika
seseorang terlibat dalam kegiatan dialog atau interaksi lintas agama dan
golongan dengan motivasi yang salah, pertemuan tersebut justru akan menjadi
kontraproduktif, bahkan destruktif.
Beberapa pedoman
Supaya tidak kontraproduktif, partisipan dialog agama
perlu punya kerendahhatian untuk mendengar pandangan yang lain. Biarkan orang
bicara sampai selesai, jangan terus diinterupsi. Kita boleh tidak setuju
dengan pandangan pihak lain, tetapi wajib memperhatikan dengan saksama. Untuk
terlibat dalam dialog, seseorang perlu tahu cara bicara yang sopan, bukan
menyerang, apalagi menistakan keyakinan orang lain. Untuk menunjukkan kita
hebat dan superior, tidak perlu dilakukan dengan merendahkan pandangan orang
lain.
Sekilas, masalah ini tampak urusan remeh-temeh. Akan
tetapi, dalam dialog yang melibatkan orang-orang yang cukup berpendidikan,
dan sebagian juga suka ngomong, panduan di atas tidak mudah diterapkan. Tak
jarang, fasilitator atau moderator dialog kesulitan mengatur alur
perbincangan karena masing-masing partisipan mau memonopoli pembicaraan.
Catherine Cornille, dalam The Im-Possibility of Interreligious Dialogue (2008), menyebut
beberapa persyaratan demi kesuksesan dialog agama. Pertama, humility (kerendahhatian). Peserta
dialog perlu memiliki sifat terpuji ini, baik dalam pengalaman spiritual
maupun doktrinal. Juga dalam cara menyampaikan pendapat atau pandangan supaya
tidak terkesan arogan dan sikap mau menang sendiri. Kita harus menyadari,
seberapa luas dan dalam pengetahuan kita tentang agama, tetap saja sangat
terbatas.
Kedua, commitment to
truth atau komitmen terhadap agama kita sendiri. Komitmen di sini perlu
dimaknai sebagai pengetahuan yang cukup tentang agama. Sulit dibayangkan
seorang terlibat dalam dialog, tetapi tidak tahu apa-apa tentang agamanya
sendiri. Dalam dialog, dia sebenarnya mewakili komunitas agamanya.
Ketiga, interconnection,
yakni perlunya keterlibatan para partisipan dialog untuk saling memahami dan
bekerja sama secara lintas golongan dan agama (religious boundaries). Kesadaran interkoneksi ini memungkinkan
seorang untuk mengembangkan rasa solidaritas antarsesama umat manusia walaupun
berbeda secara keyakinan. Di sini, interkoneksi merupakan persyaratan penting
agar dialog agama menjadi bermakna.
Keempat, empathy.
Cornille memaknai empati sebagai ”proses mentransformasi diri ke dalam
perasaan, pikiran, dan pengalaman orang lain”. Dia menyadari bahwa empati itu
bersifat subyektif—karena pengalaman hidup bersifat sangat personal—tetapi
tetap diperlukan dalam dialog agama. Terakhir, hospitality atau
keramahtamahan, yakni sikap terbuka menyambut (seperti keramahan dalam
menyambut tamu) dan reseptif terhadap mereka yang punya pandangan keagamaan
berbeda. Dengan kata lain, peserta dialog mau mendengar dan belajar dari
peserta lain.
Semua itu berarti—supaya efektif dan sukses—dialog agama
perlu persiapan, baik pada level individu maupun institusi. Kesediaan belajar
pandangan keagamaan yang berbeda, bahkan mungkin terasa asing, bukan perkara
mudah, terutama bagi mereka yang terbiasa diajarkan ”paling benar sendiri”.
Akan tetapi, itu diperlukan jika kita mau hidup bersama secara bertanggung jawab
di dunia yang kian beragam dan interkoneksi.
Ada tantangan lain bagi pemrakarsa dialog agama. Di
kalangan akademisi, dialog agama tidak dianggap bidang kesarjanaan yang
serius. Dalam konteks itu, dialog agama perlu berkontribusi bagi teologi
agama-agama yang lebih viable.
Juga, problem intoleransi dan radikalisme agama cukup kompleks sehingga tak
mungkin hanya bisa diatasi dengan dialog agama. Oleh karena itu, diperlukan
kolaborasi dengan inisiatif-inisiatif lain untuk membendung militansi agama
itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar