Mendadak
Pancasila(is)
Dian Widiyanarko ; Penulis;
Mantan Wartawan yang
kini menekuni dunia digital dan media sosial
|
DETIKNEWS, 02 Juni 2017
Seperti tahun-tahun sebelumnya, 1 Juni diperingati sebagai
hari Lahirnya Pancasila. Tahun ini lebih semarak peringatannya. Banyak yang
memasang avatar dan hashtag: Saya Indonesia, Saya Pancasila, dan Pekan
Pancasila di akun sosmednya. Juga hal lain untuk menunjukkan bahwa dirinya
Pancasilais.
Belakangan memang banyak orang yang merasa perlu dan
penting memamerkan bahwa dirinya sangat Pancasilais. Termasuk mereka yang
dulu di awal Reformasi rada alergi sama Pancasila yang dinilai "orba
banget". Ada yang waktu masih aktivis mahasiswa teriak-teriak mengkritik
Pancasila, kini teriak-teriak seolah paling Pancasilais.
Ada organisasi dan politisi yang anti dengan azas tunggal
Pancasila kini meminta semua harus berazas Pancasila. Bahkan lagu seorang
musisi nasional yang memplesetkan Pancasila jadi populer dan dinyanyikan di
mana-mana kala itu. Termasuk oleh mereka-mereka yang hari ini "mendadak
Pancasilais".
Bahkan pusat Studi Pancasila di kampus saya dulu juga
sering diolok-olok. Penelitian dan tulisan soal Pancasila pun sering dinilai
tidak keren. Saya masih ingat betul soal ini.
Tapi sudahlah, kita memang suka pelupa. Kembali ke Hari
Lahir Pancasila, peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni ini diperingati pasca
runtuhnya rezim Orde Baru. Dahulu saat Orde Baru masih berkuasa, peringatan 1
Juni dilarang. Tepatnya sejak 1 Juni 1970, Kopkamtib melarang peringatan
lahirnya Pancasila.
Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam mencatat rekayasa sejarah
lahirnya Pancasila berlangsung sejak awal Orde Baru dengan terbitnya buku
Nugroho Notosusanto berjudul Naskah Proklamasi jang otentik dan Rumusan Pancasila
jang otentik (Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan-Keamanan, 1971).
Nugroho di sana mengatakan bahwa ada empat rumusan
Pancasila. Yaitu, yang disampaikan Muh. Yamin (29 Mei 1945), Soekarno (1 Juni
1945), berdasar hasil kerja Tim Sembilan yang dikenal sebagai Piagam Jakarta
(22 Juni 1945), dan sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 (18 Agustus 1945).
Menurut Nugroho, rumusan Pancasila yang otentik adalah
rumusan 18 Agustus 1945 karena Pancasila yang termasuk dalam pembukaan UUD
1945 itu dilahirkan secara sah (yakni berlandaskan proklamasi) pada 18
Agustus 1945.
Tujuan rekayasa Orde Baru adalah untuk mengecilkan jasa
Soekarno dan melebih-lebihkan peran Soeharto. Selain memberi legitimasi
historis kepada Jenderal Soeharto, itu dilakukan untuk menghilangkan peluang
bagi pendukung (ajaran) Soekarno tampil di kancah politik nasional.
Nah, sekarang Pancasila sudah kembali diperingati 1 Juni.
Lalu selesaikah sampai di sini? Tentu saja belum. Bahkan saya setuju dengan
pernyataan "Pancasila belum lahir". Lho, apa maksudnya?
Jadi begini, pernyataan "Pancasila belum lahir"
itu dikatakan oleh guru saya di Filsafat UGM Almarhum Prof Damardjati
Supadjar. Dalam setiap kuliah Pancasila, Pak Damar yang dulu peneliti Pusat
Studi Pancasila UGM ini selalu mengatakan Pancasila belum lahir karena
Pancasila masih "batin".
Bagi yang pertama mendengarnya pasti akan mengaku puyeng
dan mengatakan, tesis gila filsafat macam apa ini? Hal itu yang biasanya
dikatakan mahasiswa yang saat baru ikut kuliah beliau.
Tapi, sebenarnya itu tidaklah terlalu abstrak dan melangit
seperti pemikiran filsafat kebanyakan. Simpel saja penjelasannya. Pancasila
belum "lahir" itu artinya dia belum aktual di kehidupan. Pancasila
baru sebatas konsep di dalam pemikiran atau "batin". Lahir kan
lawannya batin.
Ini tentu bukan argumen mengada-ada, Pak Damardjati yakin
Pancasila belum teraktualisasi. Salah satu buktinya adalah belum
dilaksanakannya sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.
Silakan Anda pikirkan, sudah adakah keadilan sosial di
negeri ini? Sudah berjalan baikkah hukum sebagai instrumen keadilan di sini?
Jawabannya, nyata terlihat di sekitar kita. Kesewenangan dan diskriminasi
juga masih dan makin merajalela.
Apanya yang keadilan sosial kalau separuh lebih kekayaan
di negara ini dikuasai satu persen orang kaya? Empat orang terkaya,
kekayaannya jika digabung setara dengan gabungan harta 100 juta rakyat
miskin. Jurang antara kaya dan miskin masih lebar. Kesenjangan mencolok di
sana sini.
Lalu, keadilan sosial itu
bagaimana?
KH Hasyim Muzadi (alm.) pernah mengatakan, keadilan sosial
itu bukan sama rasa sama rata, tapi sama-sama merasakan. Tukang tambal ban,
bagiannya jelas akan berbeda dengan pabrik ban. Tapi, mereka harus sama-sama
merasakan. Jangan hanya pabrik ban saja yang sejahtera, sementara tambal
bannya makin menderita. Negara memang harus hadir untuk mewujudkan keadilan
sosial ini.
Saya masih hafal betul, Pak Damardjati mengatakan
Pancasila diawali dengan Sila Pertama: Ketuhanan yang Maha Esa, yang
merupakan entitas "batin" dan diakhiri dengan Sila ke Lima:
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang merupakan entitas
"lahir". Ideal sekali memang ideologi Pancasila ini, seperti Al
Quran yang diawali dengan Surat Al Fatihah yang mencerminkan entitas batin,
dan diakhiri dengan Surat An Nas (Manusia), yang mencerminkan entitas lahir.
Keadilan juga merupakan suatu prasyarat kokohnya negara.
Di sini Pancasila kembali cocok dengan Islam yang juga menegaskan pentingnya
keadilan. Misalnya ukuran pemimpin dalam Islam adalah adil atau tidaknya.
Jadi kalau ada yang mengatakan Pancasila bertentangan dengan Islam,
sebagaimana sering diembuskan kelompok tertentu, saya kira mereka perlu
belajar lebih dalam lagi.
Lalu jika Pancasila belum lahir, yang diperingati pada 1
Juni ini apa?
Itu hanyalah peringatan lahirnya Pancasila secara konsep
saja alias "Pancasila Batin". Selama keadilan sosial, yang menjadi
cita-cita Pancasila, masih belum tegak, maka Pancasila belum lahir. Selama
Pancasila belum lahir, dia hanya akan menjadi sebuah konsep yang menjadi
bahan hafalan anak-anak sekolah, jargon, atau bahan posting kekinian seperti
yang marak belakangan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar