Kursi
DPR dan Kompromi Kebablasan
Sidik Pramono ; Pengajar di FISIP Universitas Budi Luhur;
Aktif di Election and
Governance Project
|
KOMPAS, 06 Juni 2017
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan
Pemilihan Umum memasuki tahap akhir. Salah satu isu yang cukup pelik dan
menyita perhatian adalah jumlah kursi DPR (assembly size).
Dalam perkembangan pembahasan RUU antara Dewan Perwakilan
Rakyat bersama pemerintah, disiarkan bahwa telah ada kesepakatan menambah
jumlah kursi DPR menjadi 575, bertambah 15 kursi dari jumlah kursi DPR pada
Pemilu 2014.
Kompromi
Penambahan itu merupakan titik kompromi di mana sebelumnya
pemerintah mengusulkan penambahan hanya lima kursi, sementara Pansus DPR
menginginkan penambahan 19. Pemerintah menyatakan penambahan lima kursi akan
dialokasikan untuk Kalimantan Utara sebanyak tiga kursi dan masing-masing
satu kursi untuk Kepulauan Riau dan Riau, dan 10 kursi selebihnya diserahkan
pengalokasiannya kepada DPR.
Pihak DPR beralasan bahwa penambahan 15 kursi dimaksudkan
untuk menutup kekurangan representasi pada sejumlah provinsi dan faktor
kehadiran Provinsi Kalimantan Utara sebagai daerah otonom baru. Salah satu
alternatif yang mengemuka, sebaran 15 kursi penambahan adalah Kalimantan Utara
(3 kursi), Riau (2), Lampung (2), Kalimantan Barat (2), Papua (2), Sumatera
Utara (1), Kepulauan Riau, Sulawesi Tenggara (1), dan Sulawesi Barat (1).
Terhadap daerah yang dinilai berlebih(over-represented),
DPR dan pemerintah sepakat tak mengurangi alokasi kursi DPR hasil pemilu
sebelumnya dengan alasan demi menjaga stabilitas politik. Sekalipun mendapat
tentangan dari sejumlah kelompok masyarakat sipil, terutama terkait evaluasi
kinerja dan tambahan beban anggaran, tersirat bahwa DPR maupun pemerintah bersikukuh
bahwa konsekuensi dari penambahan masih bisa dalam batas toleransi dan
manageable.
Selayaknya negara demokratis yang menganut sistem parlemen
bikameral, DPR merupakan representasi penduduk yang jamaknya menganut prinsip
one person one vote one value (OPOVOV). Dispensasi mungkin saja diberlakukan,
misalnya demi alasan untuk mengakselerasi kemajuan dan menipiskan
ketertinggalan, wilayah "pinggiran" bisa diberikan wakil lebih
banyak.
Sementara perwakilan wilayah tecermin dengan kehadiran
Senat, dalam konteks Indonesia adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di mana
setiap provinsi seberapa pun luas wilayah atau berapa pun jumlah penduduknya,
mengirimkan wakil masing-masing empat orang.
Dari sisi jumlah kursi, merujuk pada dalil matematika
(cube law) sebagaimana dipaparkan Rein Taagepera (2002) ataupun formulasi
modifikasi dengan memperhatikan jumlah penduduk aktif, penambahan kursi DPR
memang masih memungkinkan. Akan tetapi, pertanyaan berulang yang harus
dijawab adalah apakah pengalokasian kursi DPR tersebut telah mengikuti
prinsip utama, seperti proporsionalitas, kesetaraan, dan derajat keterwakilan
yang tinggi?
Tantangan
Tantangan pertama yang harus diperjelas oleh DPR dan
pemerintah adalah transparansi mengenai data jumlah penduduk yang digunakan
sebagai acuan dalam alokasi kursi DPR. Sejauh ini, data resmi termutakhir
yang bisa diakses adalah rekapitulasi data agregat kependudukan semester
II-2016 yang telah dilansir oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan
Sipil Kementerian Dalam Negeri.
Jumlah penduduk Indonesia di 34 provinsi mencapai
259.993.081 jiwa. Sementara institusi lain, semisal Badan Pusat Statistik
hanya memiliki data periodik terbaru hasil Sensus Penduduk 2010 dan data
tahun-tahun berikutnya merupakan hasil proyeksi di mana proyeksi penduduk
tahun 2015 sejumlah 255.461.700 jiwa.
Tantangan kedua adalah soal metode hitung untuk
pengalokasian kursi tersebut, variabel apa saja yang diperhitungkan, dan
ujungnya tentunya harus bisa diuji proporsional tidaknya. Pada Pemilu 2004,
misalnya materi UU Pemilu juga menyertakan soal kepadatan penduduk di sebuah
wilayah sebagai faktor yang diperhitungkan dalam alokasi kursi DPR.
Sementara itu, disproporsionalitas dalam alokasi kursi
dikenal sebagai malapportionment, di mana ukuran yang lazim digunakan adalah
MAL-Index atau Loosemore Handby Index (LHI). LHI bernilai 0 (nol)
mencerminkan representasi ideal. Semakin tinggi nilai LHI, semakin
under-represented pengalokasian yang dilakukan, sebaliknya LHI minus
mencerminkan terjadi representasi yang berlebih.
Simulasi terhadap alternatif pembagian kursi DPR
sebagaimana dikemukakan Ketua Pansus DPR Lukman Edy menghasilkan LHI 3,11
persen. Dalam simulasi penambahan 15 kursi tersebut, Nusa Tenggara Barat akan
menjadi provinsi dengan harga kursi termahal, yakni satu kursi DPR setara
519.881 penduduk-kuota yang bahkan jauh lebih mahal ketimbang enam provinsi
di Jawa yang tak sampai 500.000 jiwa per kursi DPR. Kursi di Sulawesi Selatan
masih terhitung "murah", bahkan dibandingkan Maluku dan Maluku Utara.
Karena itu, harus disimulasikan alternatif lain yang bisa jadi akan lebih
mencerminkan prinsip proporsionalitas.
Sebagai penutup, sekali lagi, penambahan dan pembagian
kursi DPR seyogianya tak mengulang kembali gugatan lama soal representasi dan
proporsionalitas. Mencoba akomodatif boleh saja, tetapi sebagaimana
argumentasi yang kerap disodorkan pihak DPR untuk menyokong ide penambahan
kursi, idealnya tak ada lagi provinsi yang tak memperoleh kursi perwakilan
kurang dari semestinya (under-represented) ataupun berlebih.
Respons dan pengujian publik atas argumentasi mengenai
dasar penambahan dan sekaligus konsekuensinya tentu tidak bisa diabaikan.
Karena kita semua tentu berharap agar besaran dan alokasi kursi DPR ini tidak
berulang membawa beban persoalan dari pemilu ke pemilu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar