Demokrasi
Bisa Jadi Janda Sekaligus Duda
Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA
POS, 29
Mei 2017
BANYAK pertanyaan yang diajukan ke saya. Khususnya dari
golongan Tionghoa. Tetap amankah kami di Indonesia? Apakah benar Indonesia
akan jadi Syria? Dan seterusnya.
Kalau kita ikuti media sosial, memang gawat. Seolah-olah.
Serba-serem. Seolah-olah. Misalnya, sampai soal kuburan ayahanda Ahok di
Belitung. Kuburan itu dirusak warga. Seolah-olah. Seperti pasti dan nyata.
Disertai foto kaca pecah di bingkai foto ayah Ahok di batu nisannya. Lalu,
saudara kandung Ahok digambarkan merasa terkucil. Pindah ke NTT. Yang
mayoritas Kristen.
"Sudah Anda cek kebenarannya?" tanya saya.
"Tolong jangan percaya dulu. Mungkin memang betul. Tapi mungkin saja
tidak betul," jawab saya.
"Saya akan kirim wartawan ke kuburan tersebut segera.
Sabar ya," pinta saya.
Golongan Tionghoa dan saya memang seperti sudah tidak
berjarak. Apa saja biasa dicurhatkan kepada saya. Termasuk soal-soal yang
sensitif seperti itu. Yang ngeri-ngeri. Kuburan orang tua termasuk bagian
yang bisa membakar emosi.
Celoteh kebencian di media sosial (medsos) pun juga
di-forward ke saya. Misalnya, soal kafir itu harus dibunuh. Soal meme gambar
monyet. Dan banyak lagi.
Mereka tahu saya pribumi. Jawa. Islam. Dari pesantren.
Bahkan pimpinan Pesantren Sabilil Muttaqin. Yang mengelola 120 madrasah. Yang
pada tahun 1948 sangat menderita. Seluruh kiai pesantren kami dibunuh PKI.
Korban PKI itu adalah pakde-pakde saya. Dimasukkan sumur. Hidup-hidup. Mereka
juga tahu istri saya pribumi. Suku Banjar. Dari Kalimantan. Berjilbab.
Tapi, mereka juga tahu bahwa saya adalah ketua umum
Barongsai Indonesia. Sudah aktif di barongsai sejak Orde Baru. Sejak
barongsai masih dilarang. Saat itu saya juga belum tahu politik. Salah satu
doa saya masih angudzubillahiminapolitikkotor.
Saya juga ikut di Yayasan Chengho. Istri saya anggota
paduan suaranya. Saya sering tersenyum melihat istri manggung bersama para
wanita Tionghoa. Kadang istri saya berbaju cheongsam. Menyanyikan lagu wo ai
ni. Kadang yang Tionghoa berkerudung. Melantunkan salawat badar.
Diketahui juga bahwa saya sering ikut misa saat perayaan
Natal. Ikut Imlek-nya Matakin. Ikut Waisak-nya Buddha. Buddha aliran apa
saja. Termasuk ikut Buddha Tzu Chi.
Suatu saat saya diminta memberi sambutan atas nama umat
Buddha. Di depan Presiden SBY. Yang belum jadi atasan saya. "Sampeyan
ini memang Buddh-Is," celetuk menteri agama saat itu, Maftuh Basyuni.
"Singkatan Buddha Islam," tambahnya, lantas tersenyum.
Merasa tidak ada jarak, curhat personal seperti berikut
ini pun bisa terjadi. Yang awalnya membuat perasaan saya risi. Lalu saya
sadari. Oh... iya. Agama kami tidak sama. Kultur kami berbeda. Ya sudah. Saya
dengarkan saja. Dengan perasaan biasa. Inilah kisahnya:
"Untung lho Pak, ibu saya itu suka judi,"
katanya penuh semangat. Wajahnya penuh rasa bahagia. Aneh, pikir saya. Ibunya
suka judi kok untung. Ibunya itu sudah tua. Sudah 76 tahun. Janda. Sendirian.
"Kenapa beruntung?" tanya saya.
"Saya tidak perlu menemani ibu terus. Saya bisa
kerja. Tiap hari saya tinggal memberi uang sekian juta. Ibu saya bisa sibuk
sehari penuh. Bersenang-senang. Berjudi dengan teman-teman seusianya,"
katanya. Dia gembira. Sudah merasa bisa berbakti kepada ibunya.
Membahagiakannya.
Lain lagi dengan isi curhat di saat politik panas seperti
belakangan ini. Semua berkaitan dengan politik. Termasuk kuburan tadi. Dan
hubungan antar-ras. Mereka memang mengidolakan Ahok. Ada yang sampai
nangis-nangis saat Ahok kalah. Hanya Ahok-lah orang hebat itu. Seolah-olah.
Saya juga suka Ahok. Mata Najwa pernah menggelari kami
bertiga sebagai cowboy-nya Indonesia: Ahok, Bu Susi, dan saya.
Media sosial memang luar biasa membakar emosi. Sampai
tidak lagi peduli mana info yang benar. Atau yang ngawur. Atau yang sengaja
dingawur-ngawurkan. Mereka cenderung percaya begitu saja. Kebetulan lagi
cocok dengan emosinya. Tidak perlu pikir panjang.
Dikira gampang untuk tiba-tiba menjadi Syria. Atau
membunuh orang kafir. Ini sangat menakutkan. Mengerikan. Saya sangat
memahami. Saya bisa merasakan ketakutan mereka itu. Apalagi memang
benar-benar terjadi sampai ada iringan anak-anak yang nyanyiannya,
"Bunuh, bunuh, bunuh si Ahok... Bunuh si Ahok sekarang juga" (lihat
tulisan di JP edisi Minggu kemarin).
Padahal, menjadi Syria itu tidak gampang. Banyak sekali
syaratnya. Dan untuk membunuh kafir, lebih banyak lagi rambunya. Syarat dan
rambu itu sulit sekali dipenuhi di Indonesia. Tapi, medsos menggambarkannya
berbeda. Seolah Indonesia akan jadi Syria besok pagi. Dan orang kafir
dihabisi nanti malam.
Wartawan kami di Bangka Belitung bisa melihat
kebalikannya. Kuburan itu baik-baik saja. Tidak ada gangguan sedikit pun.
Sorenya saya suruh balik lagi ke kuburan itu. Lihat yang benar mengapa kaca
itu retak.
Retakan itu ternyata sudah sangat lama. Menurut penjaga
makam karena terik matahari. Kaca foto di makam lain juga ada yang seperti
itu.
Adik Ahok sendiri, Basuri, akhirnya menjelaskan kepada
wartawan kami. "Saya ini ke NTT urusan pekerjaan," katanya kemarin
sore. "Dan berita kuburan itu hoax," tambahnya.
Pilkada Jakarta memang meninggalkan luka yang dalam. Yang
minoritas merasa terluka. Tapi, yang mayoritas juga merasa terluka. Pemilu di
AS juga meninggalkan luka yang dalam. Untuk kalangan minoritasnya.
Hanya, di AS, hukum bisa tegak. Minoritas bisa berlindung
di balik hukum. Itulah yang masih sulit di Indonesia. Yang mayoritas pun
tidak bisa mengandalkan hukum. Minoritas di AS masih lebih beruntung. Punya
backing hukum yang kuat.
Di sini demokrasi masih pincang. Hukum belum bisa
diandalkan. Dalam kepincangan seperti ini, alangkah indahnya yang mayoritas
menjadi lebih pemaaf. Yang minoritas juga menjadi lebih mampu membaca
situasi.
Kalah-menang sebenarnya biasa dalam demokrasi. Sepanjang
hukum bisa tegak. Sayang, hukum masih jadi alat politik. Padahal, demokrasi
tanpa tegaknya hukum ibarat suami istri tanpa rumah tangga bahagia.
Demokrasi bisa menjadi duda. Atau janda. Kalau penegakan
hukum berselingkuh setiap harinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar