Bung
Jokowi, Jangan Terlambat!
M Amien Rais ; Mantan
Ketua MPR
|
REPUBLIKA, 08 November
2016
Demo
umat Islam yang dipimpin para ulama, zuama, dan habib Jakarta plus
tokoh-tokoh berbagai kalangan 4 November lalu berlangsung damai. Memang ada
kericuhan sekitar pukul 20.00 WIB, tetapi secara keseluruhan aksi itu
berakhir damai. Alhamdulillah.
Saya
berada di tengah massa pengunjuk rasa yang jumlahnya mungkin tiga kali lebih
besar dari demo politik 20 Mei 1998 di halaman gedung DPR/MPR yang dijuluki
sebagai people power Indonesia.
Saya terharu melihat kehati-hatian para pemuda yang berdemo itu. Terlalu
sering saya mendengar seruan para satgas, "Awas, jangan menginjak-injak
rumput", "Hei, hei, jangan menginjak tanaman", juga seruan
"Hati-hati, hati-hati, provokasi."
Karena
itu, di pengujung demo ketika terjadi pembakaran tiga mobil polisi, saya
yakin, kejadian itu mustahil dilakukan demonstran. Mereka tulus dan tampak
gembira sambil saling mengingatkan bahaya provokasi dari luar. Di samping
pekikan takbir, lagu-lagu perjuangan juga terus diperdengarkan.
Soal
cinta mereka pada sang Saka Merah Putih juga sangat mengesankan. Seorang
satgas bercerita, dia dan teman-temannya kecewa ketika pada 3 November sore
mencari bendera merah putih ke Pasar Senen ternyata sudah ludes. Bendera
merah putih berbagai ukuran sudah diborong habis peserta demo.
Kita
juga melihat bendera merah putih ukuran raksasa dibentangkan di atas kepala
ribuan pendemo yang berkerumun di Bundaran BI. Allahu Akbar. Kesetiaan pada
agama dan cinta Tanah Air dari lautan manusia itu membuat banyak mata
berkaca-kaca. Bahkan, banyak ibu-ibu yang mengusap air mata yang mengalir di
pipi mereka.
Bung
Jokowi, rasanya demo 4 November lalu adalah terbesar yang pernah terjadi di
persada Indonesia. Sekali-kali jangan Anda remehkan. Dari Maluku sampai Aceh,
dari Medan sampai Malang, dari Solo sampai Makassar, dari semua kota besar
dan mungkin semua kabupaten, masyarakat bergerak ikhlas dan spontan menuntut
hal yang sama: adili Ahok, penista Alquran dan penghina ulama, secepat
mungkin.
Tidak
mungkin ada seorang tokoh dengan karisma sehebat apa pun, tidak ada korlap
dengan biaya sebanyak apa pun, dan tidak ada kekuasaan yang berasal dari
manapun dapat menggerakkan jutaan anak bangsa dengan tuntutan yang sama.
Bung
Jokowi, saya yakin aksi damai 4 November itu digerakkan para malaikat.
Ramalan cuaca Badan Meteorologi mengatakan, 4 November akan ada hujan lebat.
Ternyata? Mendung merata melingkupi Jakarta sehingga demonstran ikut sejuk
hatinya, di samping memang sudah diniatkan sejak awal harus menjadi demo
sejuk dan damai.
Bung
Jokowi, saya dapat sepenuhnya memahami, bila ratusan ribu (ada yang
memperkirakan sekitar satu juta) peserta aksi damai 4 November itu sangat
kecewa dengan Anda. Bukankah Anda presiden mereka juga?
Mengapa
Anda memilih menghindar dan pergi ke bandara melihat-lihat hal sepele yang
bisa Anda tunda kapan saja? Mengapa Anda menggunakan teknik prokrastinasi
(mengulur-ulur waktu), mengabaikan hal mendesak yang harus segera diatasi,
dan mengalihkan perhatian ke sasaran lain yang jelas dapat ditunda?
Ketika
kita kaget demo 14 Oktober di depan Balai Kota dan kantor Bareskrim
menghadirkan puluhan ribu orang, dengan tuntutan yang Anda tentu sudah
mahfum, tiba-tiba Anda menggebu bicara pungli. Pungli! Teknik prokrastinasi
itu ternyata kandas.
Mestinya
Bung Jokowi tidak mengulangi teknik yang sama menghadapi demo 4 November,
yang menurut saya, sudah sampai ke tahapan unstoppable. Tidak mungkin lagi dapat dihentikan. Dengan memakai
teknik apa pun, apakah dengan ancaman, hardikan, dengan iming-iming berbagai
janji yang membius, yakinlah, semuanya akan kandas.
Namun,
Bung Jokowi, kita mengucap alhamdulillah, setelah kita mendengar garansi Anda
tentang kasus skandal Ahok yang Anda sampaikan di Istana pada dini hari 5
November. Sikap Anda yang tegas memang sudah ditunggu dalam sebulan terakhir
ini.
Setelah
Anda kabur menghindar, akhirnya Anda berjanji, "...bahwa proses hukum
terhadap Saudara Basuki Tjahaja Purnama akan dilakukan secara tegas, cepat,
dan transparan." Kemudian, Anda mengatakan sesuatu yang melegakan,
"Biarkan aparat keamanan menyelesaikan proses penegakan hukum
seadil-adilnya." Dus, penegakan hukum atas skandal Ahok yang tegas,
cepat, transparan, dan adil.
Bung
Jokowi, satu hal penting harus saya ingatkan. Dalam kehidupan orang Jawa,
harga diri keluarga dan harga diri menyangkut hak milik kita wajib kita
dilindungi. Guru bahasa Jawa saya di SMP Muhammadiyah Solo menyuruh
murid-muridnya menghafal di luar kepala selusinan petatah-petitih Jawa.
Antara lain "sadumuk bathuk sanyari bumi, pecahing dada, wutahing
ludira, ditohi pati."
Karena
Anda juga lahir dan besar di Solo, guru bahasa Jawa Anda tentu juga
mengajarkan hal ini. Bila satu atau dua jari lelaki lain berani sembarangan
memegang dahi istri, orang Jawa akan mengambil risiko dadanya terbelah dan
darahnya tumpah, bahkan nyawa pun dipertaruhkan untuk melindungi kehormatan
keluarga. Demikian juga bila sejengkal tanah miliknya diserobot orang lain.
Bung
Jokowi, orang beriman menempatkan Allah, Rasul, dan Kitab Suci-Nya jauh di
atas sadumuk bathuk, sanyari bumi tersebut. QS at-Taubah 24 dengan jelas
menerangkan, bila kaum beriman mencintai bapak-bapak, anak-anak,
saudara-saudara, istri-istri, keluarga dekat, harta kekayaan mereka,
perniagaan yang ditakuti ruginya, sampai rumah yang disenanginya ternyata
lebih besar dari cinta pada Allah, Rasul-Nya, dan jihad di jalan-Nya, maka
mereka dipersilakan menunggu keputusan (palu godam) dari Allah.
Bung
Jokowi, lautan manusia yang berdemo di depan Istana 4 November lalu sedang
mengekspresikan kecintaan puncak pada agama mereka. Kami bukannya tidak tahu
kesulitan Anda menghadapi skandal Ahok itu. Ibarat menghadapi buah
simalakama, mungkin tepat sebagai analogi posisi Anda. Memang sangat
dilematis.
Bila
Anda dorong proses hukum yang tegas, cepat, transparan dan adil, dan hasil
logisnya Ahok terkena hukuman badan, sejumlah pemodal yang cukup digdaya yang
mungkin telah banyak membiayai kampanye Anda sewaktu maju di Pilkada Jakarta
dan kemudian pilpres akan marah besar.
Karena
itu, Anda jadi gamang. Ahok adalah kunci awal untuk melicinkan rencana besar
mereka buat negara kita. Ini hipotesis saya.
Sebaliknya,
bila Ahok lolos dari jeratan hukum karena praktik hukum Indonesia sering bisa
dibengkak-bengkokkan, sebagian rakyat (sebagian besar rakyat, saya yakin),
akan membuat perhitungan dengan Anda. Dengan kata lain, people power yang dikhawatirkan banyak kalangan bisa menjadi
kenyataan.
Akhirnya,
Bung Jokowi, saya harap dalam situasi pelik ini sisa-sisa jiwa petarung Anda
dapat muncul lagi. Dulu, sebagai wali kota Solo, Anda berani menentang
keinginan pemodal besar yang ingin membangun mal di atas lahan bangunan kuno
bekas pabrik es Saripetojo.
Alasan
Anda tegas: keberadaan mal bisa menggerus rezeki rakyat kecil yang sudah
puluhan tahun berdagang di sekitar lokasi. Malah bangunan pabrik es itu
(didirikan pada 1888) layak dijadikan cagar budaya.
Jiwa
petarung Anda muncul lagi setelah jadi presiden. Anda tetap melaksanakan
hukum mati 10 orang bandar narkotika, semuanya asing, kecuali satu. Tjahjo
Kumolo mengatakan, Anda berprinsip sekalipun ada 1.000 negara lain dan 1.000
sekjen PBB mengancam, hukum mati tetap dilaksanakan. We were proud of you.
Ayo,
Bung Jokowi, kali ini tunjukkan jiwa petarung Anda. Jangan sampai muncul people power di Indonesia gara-gara
seorang Ahok. Anda tahu, di Amerika Latin, di Timur Tengah, dan di Asia tidak
ada kepala negara dapat mengalahkan people
power rakyatnya. Kita sudah dua kali menyaksikan itu di Indonesia. Pada
1966 dan 1998.
Saya
yakin Anda bisa. Dengarkan baik-baik masukan dari berbagai kalangan, jangan
hanya mendengarkan orang sekeliling yang pasti bermental ABS. Seorang
pemimpin runtuh biasanya karena masukan picik orang-orang sekeliling sang
pemimpin. Orang-orang yang berpikir jangka pendek dan kehilangan wawasan
jangka panjang dan buta, tuli, serta pekok terhadap kepentingan nasional
bangsanya.
Bung Jokowi, hari sudah menjelang pagi.
Bangun, bangun, bangun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar