Bom
Kampung Melayu dan Jangan Takut
Putu Sastra Wingarta ; Tenaga Profesional Bidang Kewaspadaan Nasional
Lemhannas RI
|
MEDIA
INDONESIA, 08 Juni 2017
BERBAGAI gangguan bom terorisme di berbagai belahan dunia
terus mewarnai fenomena dunia. Di Indonesia rasanya baru saja kita menghela
napas lega setelah beberapa lama, sejak bom Thamrin Jakarta, tidak di ganggu
aksi terorisme yang sering menyita energi negara dalam menyejahterakan
rakyatnya. Praktis satu tahun empat bulan, sejak teror bom Thamrin, Jakarta,
14 Januari 2016 lalu, Jakarta 24 Mei 2017, kembali di pertontonkan ideologi
kekerasan bom bunuh diri Kampung Melayu, yang mengakibatkan korban meninggal
dunia dan luka-luka di kalangan aparat kepolisian dan masyarakat umum.
Peristiwa ini kembali membangkitkan rasa empati mendalam
kita terhadap korban yang tidak berdosa, sekaligus antipati yang tak
terhingga kepada pelaku bom bunuh diri, yang telah dibutakan hati ketuhanan
dan kemanusiaannya menurut ukuran ketuhanan dan kemanusiaaan yang universal.
Pelaku yang mengalami ketersesatan rohani. Tidak cukup teriak jangan takut
Sesaat setelah terjadi bom bunuh diri itu, lagi-lagi kita berteriak lantang
'jangan takut'. Penekanan ini pernah disampaikan Presiden Joko Widodo ketika
bom Thamrin tahun 2016 lalu. Kita mencoba berpikir kembali tentang target
'pengantin' dalam bom bunuh diri ini.
Bila korban yang diakibatkan bom bunuh diri Kampung Melayu
ini lebih banyak dialami aparat kepolisian, seperti halnya pada saat bom
Thamrin dan bom di kantor serta pos polisi, dapat dipastikan bahwa target bom
bunuh diri Kampung Melayu ini ialah negara dengan simbol-simbolnya, termasuk
kepolisian negara. Target besarnya negara Indonesia yang berdasarkan
nilai-nilai yang terkandung dalam 4 konsensus dasarnya Pancasila, UUD NRI
Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Pergeseran target besar ini
semakin jelas, ketika bom-bom teroris itu yang awalnya diarahkan terhadap
simbol-simbol nilai-nilai Barat yang sekuler, seperti target terhadap Hotel
JW Marriott dan Ritz-Carlton di kawasan Mega Kuningan, bom di Kedubes
Australia, bom di BEJ dan bom Bali 2002 dan 2005, bergeser ke target negara
yang berdasarkan nilai-nilai 4 konsensus dasar.
Dalam kondisi demikian, apakah cukup efektif bila hanya
disikapi dengan slogan 'jangan takut' yang sebenarnya sudah sempat
dikumandangkan saat kita mengalami bom Thamrin tahun lalu, yang menghasilkan
sikap mental bangsa dan sebuah tekad yang tidak akan pernah menyerah melawan
radikalisme. Di sebuah koran nasional, penulis pernah mengkritisi slogan itu
agar tidak sekadar slogan yang utopis tanpa makna sama sekali. Itu cenderung
menjadi sikap keputusasaan yang seakan buntu jalan dalam menghadapi aksi
terorisme yang semakin menunjukkan eksistensi filosofis 'esa hilang dua
terbilang'-nya.
Pihak intelijen dan kepolisian cukup banyak menunjukkan
keberhasilannya dalam deteksi dini yang mampu menggagalkan beberapa bom bunuh
diri. Sebut saja keberhasilan ketika menangkap kelompok yang berencana
meledakkan bom panci berdaya ledak tinggi di Bekasi, yang disiapkan untuk
Istana Negara Desember 2016 lalu. Namun, seperti yang dikatakan Sidney Jones,
Indonesianis yang pengamat radikalisme di Indonesia di Metro TV, sesaat
setelah bom Kampung Melayu meledak, bahwa satu atau dua kali akan ada saja
tindakan terorisme atau bom bunuh diri yang lolos dari pantauan aparat, dari
demikian maraknya perkembangan radikalisme di Indonesia.
Artinya, bom bunuh diri ini tidak habis-habisnya apabila
para calon 'pengantin'-nya bisa hidup bagaikan ikan yang nyaman di dalam air
yang menghidupinya. Berdasarkan itu, menggunakan teori lawan insurjensi, para
calon 'pengantin' yang memerankan diri sebagai insurjen seharusnya dipisahkan
dari sumber air yang menghidupinya. Lingkungan yang anti 4 konsensus dasar.
Artinya, jangan biarkan masyarakat terus terkontaminasi nilai-nilai yang
bertentangan dengan 4 konsensus dasar bangsa yang justru menjadi asupan
bergizi bagi calon-calon 'pengantin' baru. Pekerjaan seperti ini menjadi
tidak mudah apabila tidak dilakukan secara masif dan sungguh-sungguh, yang
tidak akan cukup dengan teriakan 'jangan takut', tetapi lebih dari itu.
Lakukan sebelum terlambat
Sekali lagi dalam tulisan ini penulis ingin kembali
menekankan pentingnya konsep kewaspadaan nasional dilaksanakan. Kewaspadaan
nasional ialah suatu sikap dalam hubungannya dengan nasionalisme yang
dibangun dari rasa peduli dan rasa tanggung jawab setiap warga negara
terhadap kelangsungan kehidupan nasional dari suatu ancaman. Seberapa hebat
pun ancaman yang dihadapi, termasuk aksi terorisme, akan mampu dipatahkan
apabila sikap nasionalisme setiap anak bangsa cukup kuat. Nasionalisme yang
menurut Ernest Renan ialah nasionalisme yang Le Desir D'Etre Ensemble,
nasionalisme yang kuat kehendaknya untuk bersatu.
Nasionalisme yang memiliki solidaritas kuat untuk
berbangsa, bernegara, dan bertanah air satu dari Sabang sampai Merauke
berdasarkan 4 konsensus dasarnya. Teroris, dengan cara-cara kekerasan, akan
mudah dipatahkan bila setiap anak bangsa memiliki solidaritas mempertahankan
dan menjaga 4 konsensus dasar. Untuk itulah sejatinya teriakan jangan takut
dikumandangkan, seraya segera merampungkan revisi UU Terorisme untuk
meningkatkan kualitas kesiagaan yang harus dimiliki setiap anak bangsa. Tidak
hanya kesiagaan yang dimiliki aparat keamanannya semata. Kewaspadaan nasional
menuntut kesiagaan setiap anak bangsa berkaitan dengan kemampuan melakukan
deteksi dini, peringatan dini, cegah dini, tangkal dini, serta tanggap dini
terhadap berbagai bentuk ancaman, termasuk ancaman teroris.
Tanpa kualitas kesiagaan yang memadai, teriakan 'jangan
takut', justru berpotensi menjadi bumerang. Penanaman nasionalisme berdasar
nilai-nilai 4 konsensus dasar harus segera dioptimalkan dengan program yang
inovatif, sebelum terlambat dan terlampaui oleh nilai-nilai yang bertentangan
dengan 4 konsensus dasar itu, seraya mengoptimalkan program deteksi dini,
peringatan dini, cegah dini, tangkal dini, serta tanggap dini bagi seluruh
komponen bangsa. Bom bunuh diri Kampung Melayu tetap disikapi sebagai musibah
yang juga mengandung hikmah.
Teriakan jangan takut yang sudah pernah dikumandangkan
tahun lalu ketika bom Thamrin, tidak seharusnya diulangi lagi tanpa tindakan
nyata yang memadai, yang mampu memberi dampak langsung terhadap niat untuk
menjadi calon 'pengantin'. Inilah yang seharusnya dijadikan hikmah agar
teriakan jangan takut kali ini tidak saja ditujukan kepada masyarakat
kebanyakan. Namun, juga berlaku bagi penyelenggara negara yang memiliki
kewenangan untuk mengurus komponen bangsa yang terang-terangan tidak bersedia
menggunakan 4 konsensus dasar kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
menjalankan kehidupan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar