Meredam
Konflik Pasca Pilkada
Agus Muhammad ; Direktur Moderate Muslim Society, Jakarta
|
KOMPAS, 07 Maret 2017
Hiruk
pikuk pilkada putaran pertama yang lalu, DKI betul-betul mengkhawatirkan.
Persaingan yang begitu panas tidak hanya di tingkat elite. Di tingkat akar
rumput pun terjadi radikalisasi pendukung yang satu sama lain saling
menafikan. Tatanan sosial tidak hanya retak, masyarakat pun terbelah.
Ini
terutama karena sentimen agama menjadi bagian dari persaingan politik.
Akibatnya, logika agama lebih dominan daripada logika politik. Begitu
seseorang teridentifikasi memiliki pilihan politik yang berbeda, dia akan
dianggap berbeda tidak hanya secara politis, tetapi juga secara teologis
meski berada dalam satu agama. Inilah yang membuat masyarakat terbelah.
Situasi
ini tentu berbahaya karena keterbelahan tersebut biasanya diikuti oleh
stereotip yang makin mempertegas segregasi sosial. Stereotip ini terasa
sangat menyesakkan di media sosial. Di dunia nyata pun stereotip ini
bertebaran di mana-mana, mulai dari warung kopi hingga ruang-ruang seminar;
mulai dari tukang ojek sampai profesor.
Stigma
ganda
Ketika
hubungan-hubungan sosial didasarkan pada stereotip, persentuhan yang terjadi
di antara mereka akan mudah melahirkan ketegangan yang—jika tidak dihadapi
secara dewasa—dapatberujung pada konflik terbuka. Pemerintah Indonesia sejak
awal kemerdekaan memang sangat sensitif terhadap konflik bernuansa agama.
Ketakutan pemerintah terhadap konflik yang berbau agama didasarkan pada
realitas ketegangan yang selalu muncul sejak Sidang Konstituante.
Ketakutan
inilah yang membuat rezim Orde Baru ekstra hati-hati terhadap potensi konflik
berbau agama. Pemerintah pada waktu itu sadar betul betapa sensitifnya
masalah yang menyangkut perbedaan keyakinan ini di tingkat publik. Itulah
sebabnya potensi dan sumber-sumber konflik dijaga sedemikian rupa melalui apa
yang dikenal dengan konsep SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).
Masyarakat
tidak boleh membicarakan secara terbuka mengenai asumsi-asumsi etnik ataupun
stereotip-stereotip mengenai kelompok lain. Semuanya ditutup dan diselubungi
dengan konsep SARA sehingga masyarakat hidup dalam ketidaktahuan satu sama
lain.
Melalui
segregasi sosial yang diterapkan secara rapi sehingga tampak alamiah, umat
yang berbeda agama dipisahkan satu sama lain sehingga komunitas yang berbeda
agama tidak saling bersentuhan dan, dengan demikian, ketegangan serta konflik
bisa dihindari.
Sampai
tingkat tertentu, pemerintah waktu itu berhasil menciptakan ”kerukunan antarumat
beragama”. Mereka hidup berdampingan secara damai, tetapi tidak mengerti satu
sama lain. Ini tentu kerukunan semu. Mereka rukun bukan karena saling
mengerti dan saling memahami, melainkan karena dipaksa untuk hidup rukun.
Ketegangan dan konflik antaragama tidak terjadi bukan karena mereka telah
hidup dalam saling pengertian, melainkan karena ditekan sedemikian rupa oleh
penguasa agar potensi konflik tidak muncul ke permukaan.
Akibatnya,
cara pandang masyarakat dipenuhi oleh stigma ganda. Setiap kelompok agama
terstigma oleh kelompok agama lain. Latar belakang etnis membuat seseorang
yang beragama tertentu mendapat stigma ganda: stigma agama sekaligus stigma
etnis. Agama A berkarakter X; etnis B berkarakter Y. Begitu seterusnya.
Padahal, stigma lebih sering mencerminkan prasangka ketimbang realitas yang
sebenarnya.
Stigma
ganda inilah yang melahirkan kecurigaan, kebencian, dan rasa permusuhan. Jika
stigma ganda ini terbawa dalam arus persaingan politik—entah sengaja atau
tidak—maka kita bisa menduga apa yang akan terjadi. Hanya butuh pemicu kecil
untuk menyulut emosi publik.
Regulasi
Emosi
publik yang penuh stigma terhadap kelompok yang berbeda pilihan politik tentu
harus diantisipasi sebelum berubah menjadi konflik terbuka. Berbagai elemen
bangsa harus duduk bersama untuk memastikan bahwa kemungkinan buruk ini tidak
terjadi, setidaknya ditekan sekecil mungkin.
Untuk
jangka pendek, tiga pihak perlu melakukan berbagai inisiasi, sinergi, dan
kerja sama sebagai langkah antisipatif: pemerintah, partai politik, dan
ormas. Tugas pemerintah terutama adalah memanfaatkan instrumen pemerintahan
hingga tingkat RT/RW untuk membangun sistem deteksi dini yang dapat memantau
sekaligus merespons berbagai potensi konflik yang mungkin terjadi di
wilayahnya masing-masing.
Tugas
partai politik adalah meredam kader, pendukung, dan simpatisan agar mereka
lebih dewasa dalam menghadapi perbedaan pilihan politik. Sudah saatnya partai
politik melakukan edukasi secara terstruktur kepada kader, pendukung, dan
simpatisan sebagai bagian dari implementasi politik kebangsaan.
Tugas
ormas dan berbagai institusi sosial lain adalah membangun kohesi sosial yang
terancam ambruk oleh hiruk pikuk persaingan politik. Kerja sama pemerintah,
partai politik, dan masyarakat ini diharapkan mampu meredam potensi konflik
akibat suhu persaingan politik yang terlalu panas.
Untuk
kepentingan jangka panjang, sudah saatnya dipertimbangkan agar persaingan
politik tidak menggunakan sentimen agama. Ini tidak berarti bahwa agama tidak
boleh terlibat dalam proses-proses politik. Kehadiran agama dalam
proses-proses politik harus lebih diarahkan untuk memperkuat etika
sosial-politik; bukan hanya menjadi alat mobilisasi suara.
Pemerintah
dan DPR harus bekerja sama untuk merumuskan regulasi yang menjamin bahwa
perebutan kekuasaan tidak bisa lagi mengeksploitasi simbol-simbol agama yang
berpotensi membuat masyarakat menjadi terbelah.
Tanpa
ada regulasi yang tegas, mengikat, dan hitam putih, kecenderungan hiruk pikuk
Pilkada DKI Jakarta yang begitu gaduh akan terus terulang di masa-masa
mendatang dan di tempat-tempat yang lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar