Menjerat
Politisi Korup
Umbu TW Pariangu ; Dosen
FISIP Universitas Nusa Cendana
|
KORAN
JAKARTA, 13 Maret 2017
Global Corruption Barometer (GCB) menempatkan Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai lembaga terkorup. Survei GCB di 16 negara Asia Pasifik
pada Juli 2015–Januari 2017 melibatkan 22.000 responden, termasuk di
Indonesia. Ini kado buruk tahun 2017 bagi DPR. Sejatinya sudah lama predikat
kroupsi tersebut membayangi wakil rakyat sehingga tidak terlalu mengejutkan.
Wajah baru di DPR hasil pemilu 2014, belum bisa mengubah perilaku politisi
Senayan. Apalagi oligarki korupsi terlihat semakin kuat mencengkeram DPR.
Ini bisa dibuktikan dari terkuaknya nama-nama besar, di
antaranya anggota DPR, dalam sidang kasus pengadaan KTP elektronik (e-KTP) di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Kamis (9/3). Kasus tersebut merugikan
negara 2,3 triliun rupiah. Seperti biasa, mereka yang disebut-sebut langsung
mengeluarkan jurus berkelit. Ada yang mengaku tidak ingat atau tidak pernah
menerima uang. Ada yang langsung bersumpah “demi Allah” tidak pernah menerima
uang sepeser pun dari proyek e-KTP. Bahkan, ada juga yang bersikeras bahwa
namanya dicatut oleh pihak-pihak tertentu.
Mungkin dalam konteks asas praduga tak bersalah, sah-sah
saja apologi tersebut. Namun, sebagaimana kasus-kasus megakorupsi selama ini,
upaya bersilat lidah untuk menghindari jerat hukum adalah biasa. Itu
merupakan kebiasaan epilog para penjahat yang sedang dan akan berhadapan
dengan kursi pesakitan.
Dugaan akan ada guncangan salah besar. Cara berpikir
tersebut sama saja dengan mempermisifkan koruptor untuk bebas mengendalikan
negara. Tidak akan terjadi guncangan apa pun.
Kalau melihat daftar nama pelaku suap e-KTP, mereka
politisi yang sudah malang-melintang sebagai wakil rakyat. Sayangnya,
predikat wakil rakyat hanya sebagai topeng merampok uang rakyat secara
bergerombol dan masif. Mereka leluasa menjalankan mesin pencitraan politik
sebagai orang baik dan bersih dengan menggunakan uang rakyat.
Sejatinya, politik adalah suatu usaha secara bersama oleh
rakyat demi terciptanya kebaikan bersama. Pada sisi lain, politik sebagai
jalan mencari dan mempertahankan kekuasaan di dalam masyarakat. “Kita harus
memikirkan bukan saja bentuk pemerintahan terbaik, namun juga yang paling
mungkin dan mudah dicapai semua,” (Aristoteles, Politics IV, 1).
Aristoteles menilai politik sebagai sebuah asosiasi warga
negara yang berfungsi membicarakan hal ihwal menyangkut kebaikan bersama
dalam masyarakat. Ia berusaha membedakan antara kebaikan bersama, kepentingan
individu, atau kelompok. Perbedaan tersebut terletak pada nilai yang
terkandung di dalamnya, sebab kepentingan bersama cenderung memiliki nilai
moral lebih tinggi dari kepentingan kelompok.
Menurutnya, manusia makhluk untuk hidup dalam kebersamaan
dan secara naluri memiliki sense of politic. Pandangan kebaikan bersama
secara tersirat mengindikasikan keterkaitan politik sebagai proses demokrasi.
Politik bisa saja digunakan sebagai instrumen penting yang sangat beragam
untuk pencapaian kebaikan bersama. Selain memaknai kebaikan bersama sebagai
replika demokrasi, kebaikan bersama bisa bermakna sebagai kepentingan
minoritas. Menurut Samuel P Huntington, kebaikan bersama dimaksudkan sebagai
kebijakan pemerintah atau negara karena masyarakat sepenuhnya menjadi tanggung
jawab negara.
Secara fungsi, politik dipandang sebagai kegiatan
merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum. Easton merumuskan politik sebagai
alokasi nilai-nilai secara otoritatif, berdasarkan kewenangan sehingga
mengikat masyarakat. Asumsi Easton berangkat dari makna perilaku politik
sebagai bentuk dukungan, termasuk mengubah, mengikuti, bahkan menentang
norma.
Pecundang
Membaca dan memahami secara garis besar konsep politik
tadi, secara perlahan-lahan mengerucutkan pada pemahaman bahwa politik adalah
profesi yang membutuhkan kerja reflektif humanis. Dia mendasarkan seluruh
cita-cita, konsep, perilaku pada panggilan kemanusiaan. Ketika seorang
memutuskan menjadi politikus, saat itu pula politik kenositasnya dimulai. Ia
sudah harus selesai dengan dirinya agar kepentingan publik terlebih kaum
minoritas tertindas mendapat prioritas dalam hati nurani.
Sayang, untuk sampai pada level sikap politik seperti ini
sangat sulit. Banyak politikus yang awalnya berapi-api ingin mengabdi pada
wong cilik, setelah berjalan, dia mudah tersungkur di sudut ruang dramaturgis
sebagai pecundang. Dia mudah termakan godaan pragmatisme, berpikir sempit dan
machiavelistis.
Mencari politisi yang satu kata dengan perbuatan saat ini
tak mudah. Di jalan berserakan para politisi tersangkut kasus amoral maupun
korupsi. Di tengah para politisi asyik-masyuk menjadikan korupsi sebagai
“agama barunya.” Ini demi sumber keselamatan kepentingan dan kesejahteraan,
sambil mengangkangi prinsip etika dan moralitas. Kehadiran politisi berhati
tulus dan memiliki pengorbanan moral untuk menyisihkan kepentingan diri demi
mengurus kepentingan orang banyak makin langka.
Sudah saatnya penegakan hukum bermetamorfosa dari kultur
kompromistik menjadi altruistik. Caranya dengan membawa nama-nama besar itu
ke meja hukum, tanpa pandang bulu. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jangan
sedikit pun tergoda untuk meredupkan nyali dalam memborgol para politisi
korup.
Presiden Joko Widodo diharapkan tetap teguh menjaga
konsistensi untuk memberantas korupsi. Salah satu cara, dengan mendorong
moril dan politik kepada KPK untuk memproses politisi bersalah itu. Presiden
harus menunjukkan sikap politik pembelaan terhadap KPK. Jika kelak KPK
mendapat serangan balik, harus didukung.
Presiden jangan sekali-kali merepetisi alasan
konvensionalnya, “Saya tidak mengintervensi hukum, biarkan proses hukum
berjalan.” Ini hanya akan membuat para seteru KPK makin “angkat ekor”
sekaligus membuka ruang bagi mereka untuk menyengat KPK dengan berbagai cara
seperti teror secara langsung maupun tak langsung. Ini termasuk upaya
merevisi UU KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar