Peran
Publik dalam Hukum
Sudjito ; Guru
Besar Ilmu Hukum UGM
|
KORAN SINDO, 04 Januari
2017
Demi
kecintaan kepada Indonesia, dalam pergantian tahun dari 2016 ke 2017 perlu
dilakukan analisis yuridis atas realitas kehidupan masa lalu agar masa depan
dapat diprediksi situasi yang mungkin terjadi dan sekaligus dipikirkan
tentang respons yang tepat.
Analisis
diawali dengan pertanyaan, ikon apa yang khas, terkait dengan ideologi hukum
pada 2017? Dalam hukum, ikon ”peran publik” diprediksi masih aktual tanpa
menggeser ikon ”peran aparatur negara”. Kasus penistaan agama oleh Ahok
diprediksi masih menyita perhatian aparatur penegak hukum maupun publik. Apa
pun vonis hakim, diprediksi akan menuai pro dan kontra. Imbasnya,
keterbelahan bangsa menjadi ancaman serius.
Ketika
realitas empiris (das sein) sulit diubah menjadi realitas ideal (das sollen)
dan kehidupan bernegara hukum tidak lebih baik daripada se-belumnya,
kepercayaan (trust) publik kepada aparatur penegak hukum menjadi lemah dan
ideologi hukum menjadi tak bertepi, jauh ”di ufuk barat”. Dalam catatan
Satjipto Rahardjo (2000) sejak 200 tahun lalu, sudah ada kecenderungan global
(termasuk Indonesia) bahwa negara ingin memonopoli kekuasaan, termasuk
membuat hukum, membuat struktur hukum, dan mengatur proses hukum.
Kekuatan
dan kekuasaan publik cenderung dipinggirkan. Publik dipahamkan seolaholah ketertiban
sudah muncul bila hukum negara dijalankan secara absolut oleh aparatur negara
saja dan sama sekali tidak perlu ada campur tangan publik. Hukum negara
dipandang sebagai satu-satunya institusi yang dapat menuntaskan segala
urusan. Inilah pola pikir dan perilaku Hobbesian, yakni paham yang diajarkan
Thomas Hobbes, dalam rangka mengatasi homo homini lupus. Dalam perspektif
sosiologi hukum, pola pikir dan perilaku Hobbesian itu tidak pernah terbukti,
”jauh panggang dari api” .
Setiap
kali pretensi itu diuji, setiap kali pula gagal. Adagium ”serahkan kepada
aparatur negara, segalanya beres”, ternyata hanya ”angan-angan” alias mitos
belaka, tidak pernah ada buktinya. Beberapa contoh kasus berikut layak disimak
baik-baik. Pertama, Undang-Undang Pembantu RumahTangga di Norwegia (1948),
meski telah memberikan perlindungan hukum kepada para pembantu, pada dua
tahun berlakunya ternyata banyak pelanggaran dilakukan oleh para majikan,
tanpa ada yang dibawa ke pengadilan.
Tanpa
peran publik, sungguh sulit polisi dan pengadilan negara memberikan
perlindungan kepada pembantu. Kedua, di Amerika pada 1960 ada kasus Kitty
Genovese. Dalam perjalanan pulang, perempuan itu dicegat, diperkosa, dan
dibunuh seorang laki-laki. Betapapun Kitty berteriakteriak, tidak seorang pun
menolongnya. Publik hanya melongok dari jendela apartemen, tanpa berbuat lain.
Sindrom
Kitty Genovese telah memberi stempel kepada publik Amerika yang mengunggulkan
aparatur negara secara absolut. Tak perlu publik bersusah- susah melibatkan
diri dalam kasus Kitty, biarkan polisi menyelesaikan semua urusan, toh publik
sudah bayar pajak kepada negara, dan polisi sudah dibayar oleh negara!
Amerika sebagai negara modern telah berusaha menjalankan rule of law secara
konsisten, tetapi nyatanya justru hukum dan publik kehilangan sifat
kemanusiaannya. Ketiga, di Indonesia pernah ada kasus arak bungil.
Publik
ramai-ramai mengarak pelaku perselingkuhan sepanjang jalan kampung sebagai
sanksi sosial agar jera. Usai arak-arakan, kepala kampung melaporkan kejadian
dan menyerahkan kasus kepada kepolisian agar diproses sesuai hukum negara.
Apakah ini tergolong ”main hakim sendiri”? Atas perilaku publik tersebut,
kepolisian menindaklanjuti dan para sosiolog hukum mengapresiasinya sebagai
bentuk self-help komunitas yang terbukti efisien dan efektif. Tak ada sanksi
hukum bagi masyarakat dan ketertiban sosial kembali terjaga.
Keempat,
kasus klithih di DIY pada akhir 2016. Pada malam hari, di tempat sepi,
melalui perencanaan matang segerombolan pelajar SMA ”dihabisi” gerombolan
lain sehingga ada yang meninggal dunia. Publik tak berani mencegahnya
sehingga kasus klithih terulang di tempat-tempat lain. Klithih kini menjadi
kejahatan sosialremaja yang mencemaskan. Haruskah klithih dibiarkan atau
diserahkan segala urusannya kepada aparatur negara saja? Kelima, pada ranah
adat di Bali ada ”polisi adat”, namanya pecalang. Di tempat lain, ada pula
serupa pecalang walau dengan nama berbeda. ”Polisi adat” amat disegani.
Tercatat,
pecalang pernah berjasa membantu suksesnya penyelenggaraan kongres salah satu
partai politik besar di negeri ini. Di tempat-tempat lain di Yogyakarta,
keamanan dan kenyamanan pariwisata diserahkan kepada ”polisi adat”. Ternyata,
segalanya beres, tertib, dan wisatawan senang. Berbagaikasusdiatassekadar contoh
bahwa aparatur negara tidak memegang monopoli dalam penyelenggaraan negara
hukum. Publik atau komunitas tertentu mampu berkontribusi kepada negara, baik
dalam bentuk membuat norma-norma sosial, norma kesusilaan, atau norma lain
untuk mengisi kekosongan hukum negara.
Beragam
bentuk dan perilaku yang sepintas terkesan ”main hakim sendiri” sering
ditemukan di masyarakat, dan hal demikian menjadi bukti bahwa masyarakat
memiliki kepedulian, potensi, dan kekuatan untuk mewujudkan ketertiban secara
otonom. Kontribusi sosial seperti itu, bukankah positif, meringankan beban
negara, dan sekaligus mengakomodasi peran publik dalam hukum?
Ideologi
hukum Indonesia ke depan mestinya terwujud melalui ”jabat tangan”, antara
aparatur negara dan publik. Keduanya berperan bersama, seiring sejalan, dalam
jalinan pansubjektivitas. Keduanya saling melengkapi atas dasar penghormatan
sebagai sesama subjek. Kapan pun, di mana pun, peran publik dalam hukum
menjadi keniscayaan. Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar