Pancasila dalam Percobaan
Yudi Latif ;
Anggota Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia
KOMPAS, 18 Oktober
2016
Hendaklah tetap
bertahan kepala dingin di tengah kobaran api permusuhan yang bisa membakar
rumah kebangsaan. Apabila mata dibayar dengan mata, dunia akan mengalami
kegelapan. Sesungguhnya kelapangan hati saling memaafkan lebih mulia di mata
Tuhan dan kemanusiaan.
Kita tak bisa bergerak
mundur. Asal fitrah kepemimpinan bangsa ini adalah titik putih
kesetaraan-persaudaraan kewargaan. Politik Indonesia tidak mewarisi dosa asal
seperti Amerika Serikat. Di sana, kanvas dasar kepemimpinannya mesti berwarna
putih-Anglo Saxon, Protestan, dan laki-laki. Diperlukan ratusan tahun bagi
negara kampiun demokrasi itu untuk bisa menghapus warisan noda historis yang
melumurinya.
Saat ini, tatkala
jantung politik Amerika Serikat tengah berdebar menanti penghapusan dosa
terakhir, bahwa pemimpin negara tidak mesti laki-laki, kepemimpinan politik
Indonesia sudah melampaui itu semua. Dalam lintasan sejarah bangsa, kepala
pemerintahan/negara pernah (bahkan sering) dipimpin minoritas non-Jawa.
Pernah pula seorang Kristen bernama Amir Sjarifoeddin Harahap menjadi perdana
menteri. Bahkan, Johannes Leimena dengan latar minoritas ganda
(Kristen-Melanesia) beberapa kali menjadi pejabat presiden. Tak ketinggalan,
pernah pula perempuan menjadi presiden di negeri ini.
Apabila kini masalah
suku dan agama kembali dipersoalkan dalam urusan pemilihan, pertanda ada
kuman degeneratif yang melunturkan semangat kebangsaan kita. Ketegangan
etno-religius ini harus dipandang sebagai gejala permukaan dari endapan
penyakit epidemik yang menyerang sistem saraf Pancasila.
Rumah Pancasila adalah
rumah keseimbangan dengan lima prinsip nilai kait-mengait, yang dapat berdiri
kokoh manakala dijalankan dengan mengusahakan koherensi antarsila,
konsistensi dengan produk-produk perundangan, dan korespondensi dengan
realitas sosial. Bibit penyakit bisa timbul karena distorsi dalam pemenuhan
nilai intrinsik setiap sila ataupun karena ketimpangan dalam pemenuhan nilai
ekstrinsik yang berkaitan dengan relasi antarsila.
Yang paling mudah
terdeteksi dari tendensi kelunturan itu terjadi pada pengamalan sila
ketuhanan. Merebaknya kekerasan bernuansa agama merupakan letupan dari
kecenderungan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan keagamaan yang tidak
lagi mencerminkan semangat "ketuhanan yang berkebudayaan" yang
lapang dan toleran, sebagaimana ditandaskan Bung Karno.
Modus beragama yang
berhenti sebagai pemujaan eksterioritas formalisme peribadatan, tanpa
kesanggupan menggali interioritas nilai spiritualitas dan moralitas, hanyalah
berselancar di permukaan gelombang bahaya. Tanpa menyelam di kedalaman
spiritual, dalam semangat ketuhanan yang welas asih, keberagamaan menjadi
mandul, kering, dan keras.
Pengikut agama
memaksakan absolutisme sebagai respons ketakutan atas kompleksitas kehidupan
dunia, yang menimbulkan penghancuran ke dalam dan ancaman keluar. Pemulihan
krisis-konflik sosial kehilangan basis kepercayaannya ketika agama yang
seharusnya membantu manusia menyuburkan rasa kesucian, kasih sayang, dan
perawatan (khalifah) justru sering kali memantulkan rasa keputusasaan dan
kekerasan zaman dalam bentuk terorisme, permusuhan, dan intoleransi.
Distorsi dalam
pengalaman sila ketuhanan diperparah oleh distorsi dalam pengamalan sila
persatuan. Dalam masyarakat plural, sikap hidup yang harus dikembangkan
adalah semangat hidup berdampingan secara damai dan produktif lewat pergaulan
lintas-kultural yang membawa proses penyerbukan silang budaya. Namun, warisan
panjang rezim represif, yang cenderung melakukan homogenisasi dan
sentralisasi budaya-politik, membuat bangsa Indonesia cenderung mengembangkan
sikap hidup monokultural; hanya membatasi pergaulan dalam kepompong ras,
etnis, dan agama masing-masing secara eksklusif.
Segregasi sosial
warisan kolonial belum banyak mengalami peleburan. Beberapa golongan masih
mempertahankan supremasi rasial dengan menolak kawin campur dengan golongan
lain yang dianggap inferior. Permukiman-permukiman elite baru muncul dengan
sekat segregatif yang memisahkan. Pembagian kerja dan kedudukan atas dasar
pembedaan golongan juga masih bertahan.
Tabir sosial ini
bahkan mulai dipahatkan pada model mental generasi penerus lewat persekolahan
eksklusif berbasis irisan kesamaan agama, ras/etnis, dan kelas sosial.
Akibatnya, masyarakat cenderung mengembangkan sikap curiga dan tidak percaya
terhadap golongan lain dan memandang kehadiran yang berbeda sebagai ancaman.
Pada akhirnya, seperti
diisyaratkan John Rawls, sumber persatuan dan komitmen kebangsaan dari negeri
multikultural adalah "konsepsi keadilan bersama (a share conception of justice). Sila keadilan sosial merupakan
perwujudan paling konkret dari prinsip-prinsip Pancasila, tetapi paling
diabaikan. Selama belasan tahun reformasi, Indonesia mengalami surplus
kebebasan, tetapi defisit keadilan, dengan kesenjangan sosial yang makin
lebar. Padahal, betapa pun kuatnya jahitan persatuan nasional jika
ketidakadilan tak lagi tertahankan, perlawanan dan kecemburuan sosial akan
meruyak.
Meluasnya rasa
ketidakadilan bukan merupakan wahana yang kondusif bagi penerimaan gagasan
persaudaraan kewargaan. Ragam ekspresi kekerasan akan diarahkan terhadap
kalangan yang dipersepsikan sebagai "biang kerok", dengan
menggunakan baju agama dan simbol primordial lain sebagai legitimasi
simbolisnya.
Dengan kepala dingin
dan keterbukaan bagi refleksi diri, marilah kita kikis kuman kelunturan dan
degenerasi semangat kebangsaan itu, dengan secara jujur dan konsisten
menjalankan integritas moral Pancasila.
●
Yudi Latif ;
Anggota Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 18 Oktober
2016
Hendaklah tetap
bertahan kepala dingin di tengah kobaran api permusuhan yang bisa membakar
rumah kebangsaan. Apabila mata dibayar dengan mata, dunia akan mengalami
kegelapan. Sesungguhnya kelapangan hati saling memaafkan lebih mulia di mata
Tuhan dan kemanusiaan.
Kita tak bisa bergerak
mundur. Asal fitrah kepemimpinan bangsa ini adalah titik putih
kesetaraan-persaudaraan kewargaan. Politik Indonesia tidak mewarisi dosa asal
seperti Amerika Serikat. Di sana, kanvas dasar kepemimpinannya mesti berwarna
putih-Anglo Saxon, Protestan, dan laki-laki. Diperlukan ratusan tahun bagi
negara kampiun demokrasi itu untuk bisa menghapus warisan noda historis yang
melumurinya.
Saat ini, tatkala
jantung politik Amerika Serikat tengah berdebar menanti penghapusan dosa
terakhir, bahwa pemimpin negara tidak mesti laki-laki, kepemimpinan politik
Indonesia sudah melampaui itu semua. Dalam lintasan sejarah bangsa, kepala
pemerintahan/negara pernah (bahkan sering) dipimpin minoritas non-Jawa.
Pernah pula seorang Kristen bernama Amir Sjarifoeddin Harahap menjadi perdana
menteri. Bahkan, Johannes Leimena dengan latar minoritas ganda
(Kristen-Melanesia) beberapa kali menjadi pejabat presiden. Tak ketinggalan,
pernah pula perempuan menjadi presiden di negeri ini.
Apabila kini masalah
suku dan agama kembali dipersoalkan dalam urusan pemilihan, pertanda ada
kuman degeneratif yang melunturkan semangat kebangsaan kita. Ketegangan
etno-religius ini harus dipandang sebagai gejala permukaan dari endapan
penyakit epidemik yang menyerang sistem saraf Pancasila.
Rumah Pancasila adalah
rumah keseimbangan dengan lima prinsip nilai kait-mengait, yang dapat berdiri
kokoh manakala dijalankan dengan mengusahakan koherensi antarsila,
konsistensi dengan produk-produk perundangan, dan korespondensi dengan
realitas sosial. Bibit penyakit bisa timbul karena distorsi dalam pemenuhan
nilai intrinsik setiap sila ataupun karena ketimpangan dalam pemenuhan nilai
ekstrinsik yang berkaitan dengan relasi antarsila.
Yang paling mudah
terdeteksi dari tendensi kelunturan itu terjadi pada pengamalan sila
ketuhanan. Merebaknya kekerasan bernuansa agama merupakan letupan dari
kecenderungan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan keagamaan yang tidak
lagi mencerminkan semangat "ketuhanan yang berkebudayaan" yang
lapang dan toleran, sebagaimana ditandaskan Bung Karno.
Modus beragama yang
berhenti sebagai pemujaan eksterioritas formalisme peribadatan, tanpa
kesanggupan menggali interioritas nilai spiritualitas dan moralitas, hanyalah
berselancar di permukaan gelombang bahaya. Tanpa menyelam di kedalaman
spiritual, dalam semangat ketuhanan yang welas asih, keberagamaan menjadi
mandul, kering, dan keras.
Pengikut agama
memaksakan absolutisme sebagai respons ketakutan atas kompleksitas kehidupan
dunia, yang menimbulkan penghancuran ke dalam dan ancaman keluar. Pemulihan
krisis-konflik sosial kehilangan basis kepercayaannya ketika agama yang
seharusnya membantu manusia menyuburkan rasa kesucian, kasih sayang, dan
perawatan (khalifah) justru sering kali memantulkan rasa keputusasaan dan
kekerasan zaman dalam bentuk terorisme, permusuhan, dan intoleransi.
Distorsi dalam
pengalaman sila ketuhanan diperparah oleh distorsi dalam pengamalan sila
persatuan. Dalam masyarakat plural, sikap hidup yang harus dikembangkan
adalah semangat hidup berdampingan secara damai dan produktif lewat pergaulan
lintas-kultural yang membawa proses penyerbukan silang budaya. Namun, warisan
panjang rezim represif, yang cenderung melakukan homogenisasi dan
sentralisasi budaya-politik, membuat bangsa Indonesia cenderung mengembangkan
sikap hidup monokultural; hanya membatasi pergaulan dalam kepompong ras,
etnis, dan agama masing-masing secara eksklusif.
Segregasi sosial
warisan kolonial belum banyak mengalami peleburan. Beberapa golongan masih
mempertahankan supremasi rasial dengan menolak kawin campur dengan golongan
lain yang dianggap inferior. Permukiman-permukiman elite baru muncul dengan
sekat segregatif yang memisahkan. Pembagian kerja dan kedudukan atas dasar
pembedaan golongan juga masih bertahan.
Tabir sosial ini
bahkan mulai dipahatkan pada model mental generasi penerus lewat persekolahan
eksklusif berbasis irisan kesamaan agama, ras/etnis, dan kelas sosial.
Akibatnya, masyarakat cenderung mengembangkan sikap curiga dan tidak percaya
terhadap golongan lain dan memandang kehadiran yang berbeda sebagai ancaman.
Pada akhirnya, seperti
diisyaratkan John Rawls, sumber persatuan dan komitmen kebangsaan dari negeri
multikultural adalah "konsepsi keadilan bersama (a share conception of justice). Sila keadilan sosial merupakan
perwujudan paling konkret dari prinsip-prinsip Pancasila, tetapi paling
diabaikan. Selama belasan tahun reformasi, Indonesia mengalami surplus
kebebasan, tetapi defisit keadilan, dengan kesenjangan sosial yang makin
lebar. Padahal, betapa pun kuatnya jahitan persatuan nasional jika
ketidakadilan tak lagi tertahankan, perlawanan dan kecemburuan sosial akan
meruyak.
Meluasnya rasa
ketidakadilan bukan merupakan wahana yang kondusif bagi penerimaan gagasan
persaudaraan kewargaan. Ragam ekspresi kekerasan akan diarahkan terhadap
kalangan yang dipersepsikan sebagai "biang kerok", dengan
menggunakan baju agama dan simbol primordial lain sebagai legitimasi
simbolisnya.
Dengan kepala dingin
dan keterbukaan bagi refleksi diri, marilah kita kikis kuman kelunturan dan
degenerasi semangat kebangsaan itu, dengan secara jujur dan konsisten
menjalankan integritas moral Pancasila.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar