Merampok
Bangsa Sendiri
Radhar Panca Dahana ;
Budayawan
|
KOMPAS, 26 Oktober
2016
Selama sekitar tiga tahun ini, ketika saya
pergi dan kembali dari mencari nafkah di Ibu Kota, saya selalu prihatin.
Bukan karena jarak yang jauh dan kemacetan luar biasa antara pusat Ibu Kota
dan Pamulang, wilayah di mana saya menetap. Tapi lebih karena pembangunan
jalan protokol/utama di Kota Tangerang Selatan itu, yang tidak selesai juga
setelah tiga tahun lebih—untuk jarak hanya sekitar 5 kilometer—dilaksanakan.
Manajemen konstruksi yang buruk menyebabkan
banyak kecelakaan. Juga kerugian hingga kebangkrutan pedagang di sekitar
jalan. Sistem buka-tutup yang dikelola para ”Pak Ogah” menciptakan macet yang
kian luar dari biasa.
Saya tak tahu apakah wali kota atau pejabat
setempat menyadari keprihatinan masyarakat tersebut, mengingat mereka sendiri
tentu ikut mengalaminya. Termasuk aparat kepolisian yang kantornya persis
bersisian dengan pusat termacet kota, seolah mengatakan: ”persoalan itu di
luar jam kerja saya”.
Tangerang Selatan (Tangsel), kota muda yang
baru berusia sekitar satu dasawarsa, sebenarnya digolongkan cukup kaya
dibanding rata-rata daerah otonom di Indonesia. Dengan anggaran belanja
mencapai Rp 3,3 triliun (2016), APBD Tangsel sudah melampaui APBD 80 persen
kabupaten/kota seluruh Indonesia, bahkan lebih tinggi daripada 10 provinsi,
seperti Bengkulu, Kalimantan Utara, Sulawesi Barat, NTT, NTB, Maluku, atau
Gorontalo.
Apabila Anda ke Purwakarta hari ini, sebagai
perbandingan misalnya, Anda dapat menikmati jalan-jalan mulus, lebar, dan
indah karena tanaman dan hiasan. Bahkan sudah dibangun jalan lingkar luar
yang senyaman jalan sejenis di Jakarta, tapi sepi karena belum cukup banyak
kendaraan dimiliki warga setempat. Semua itu dicapai dengan APBD kabupaten
berusia 50 tahunan itu, yang bernilai sekitar Rp 600 miliar. Nilai yang tak
sampai seperlima APBD Tangsel, kota di mana kebutuhan infrastrukturnya
mendapat dukungan swasta lewat pembangunan perumahan dan pertokoan
supermodern, seperti di Serpong dan Bintaro.
Dibandingkan juga banyak kota lainnya, seperti
Bogor, Yogyakarta, atau Semarang, yang menggunakan bangunan lama untuk kantor
wali kotanya, kita bisa lihat bagaimana Tangsel membangun kantor wali kotanya
semegah perkantoran nasional/internasional di jalan-jalan utama Ibu Kota.
Gedung kantor semacam itu tentu saja butuh biaya tinggi, bukan hanya untuk
mendirikannya, melainkan juga fasilitas isinya, pendingin ruangan, sofa,
teknologi alat kantornya, pemeliharaan, gaya hidup para pegawai, hingga bahan
bakar deretan mobil yang memenuhi ruang parkirnya.
Untuk apa dan bagaimana sebenarnya uang
(pajak) rakyat digunakan oleh mereka yang kita pilih dan percaya untuk
mengelolanya? Data resmi Badan Pusat Statistik, juga pernyataan beberapa
pejabat berwenang, menyatakan, belanja pegawai di semua pemerintahan daerah
berkisar 50-60 persen, dengan belanja modal hanya sekitar 15 persen. Tak
kurang dari 124 pemerintahan daerah, belanja pegawainya di atas 60 persen dan
16 di antaranya di atas 70 persen. Bahkan, Mendagri baru-baru ini menyatakan
ada kabupaten yang belanja pegawainya 82 persen. Sang menteri tak mau
menyebutkan nama, tetapi dalam data penulis, angka tersebut hampir persis
sama dengan APBD Kabupaten Lumajang yang memecahkan ”rekor” pada 2011, dengan
belanja pegawainya 83 persen dan belanja modal hanya 1 persen dari APBD
setempat.
Kriminalitas sistem
Data keras itu memberi alasan ampuh untuk saya
(kita) mengeluh. Ini refleksi yang secara imperatif sebaiknya kita endapkan,
sesali, dan perbaiki. Betapa elite politik, khususnya pejabat publik, seperti
menggunakan dana publik yang diamanahkan pada mereka dengan satu bentuk
kerakusan, merampas secara legal—untuk tidak mengatakan merampok—demi
memenuhi syahwat duniawi mereka. Bagaimana tidak, jika anggota parlemen dan
daerah saja, yang berjumlah total sekitar 15.300 orang, berbasis gaji di
wilayah masing-masing, rakyat harus mengeluarkan dana hampir Rp 4,5
triliun/tahun.
Besaran dana itu sama dengan anggaran APBN
untuk Kementerian Perindustrian, tapi lebih tinggi daripada perdagangan (Rp
3,5 triliun) dan belasan kementerian lain juga puluhan lembaga negara lain
yang diatur UU. Memang nyaman jadi pejabat dan lumrah jika banyak pihak
seperti kesetanan memperebutkannya. Tapi apakah kemudian hasil kerja mereka,
elite daerah itu, berbanding lurus dengan apa yang telah mereka nikmati?
Sebagai ilustrasi kecil, Kota Batu yang hanya
berpenduduk 200.000 orang memiliki parlemen sendiri, 25 orang, dengan gaji
rata-rata per orang Rp 15 juta/bulan, yang jika ditotal setahun sekitar Rp
4,5 miliar. Angka tersebut harus dipenuhi/dibayar oleh penduduk setempat yang
pendapatan per kapitanya hanya Rp 300.000 per bulan, dari pendapatan asli
daerah (PAD) yang hanya Rp 752 miliar (2015). Tidak sehat, tentu saja. Maksud
saya, ini sama sekali tidak masuk akal sehat juga jiwa dan batin yang sehat.
Hitungan matematis semacam ini memang tak cuma
membutuhkan akal sehat. Lantaran cukup banyak orang (tokoh) akalnya sehat
(sebagai sarjana hingga kaum profesor), tetapi ternyata mental juga hati/batinnya
sakit kronis. Maka, inilah jenis perampokan harta dan pendapatan rakyat yang
terlegalisasi secara sistemis, berbasis akal sehat bahkan kecerdasan di atas
umum. Bukan lagi white collar atau organized crime, melainkan sudah menjurus
menjadi systemic crime,
Terlebih jika kita melihat bagaimana kita
memberi gaji atau penghasilan pada para pemimpin puncak di daerah, selain
fasilitas-fasilitas yang mereka dapatkan tidak dalam bentuk uang tunai. Dari
data yang dilansir Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra),
ternyata gaji seorang gubernur di Indonesia, jika tidak bisa dibilang
incredible (Inggris) atau incroyable (Perancis), benar-benar wow alias tega
banget! Seorang gubernur Jawa Timur, misalnya, memperoleh pendapatan
(tertinggi di daerah) tidak kurang dari Rp 710 juta/bulan atau Rp 8,5
miliar/tahun, total gaji pokok plus tunjangan-tunjangan, insentif dari
pajak/regulasi, dll. Dan ternyata angka itu masih terlalu kecil dibandingkan
gubernur DKI Jakarta yang menerima 1,75 miliar/bulan atau Rp 21,1
miliar/tahun. Hampir 300 persen lebih.
Apa yang mengejutkan, jika nilai pendapatan di
atas dibandingkan dengan data resmi pemerintahan dunia, apa yang diperoleh
gubernur DKI, Jabar, Jateng, dan Jatim ternyata jauh lebih banyak ketimbang
presiden Amerika Serikat, Perancis, Jerman, dan Inggris, apalagi presiden
kita sendiri yang pendapatannya hanya sekitar Rp 0,74 miliar. Begitupun jika
dibandingkan dengan eksekutif puncak korporasi/BUMN besar Indonesia, gaji
para gubernur hebat di atas melampaui jumlah yang diterima dirut Bank
Mandiri, Telkom, BRI, bahkan gubernur Bank Indonesia yang berkisar antara Rp
2 miliar (BI) dan Rp 8,4 miliar (Mandiri).
Apa yang kemudian dapat kita bayangkan jika
kemudian ada tuntutan keras dari parlemen, dibantu ”konstituen” yang tak lain
adalah elite politik daerah, pada pemerintah untuk segera menghentikan
moratorium pemekaran dan menyetujui berdirinya 124 daerah otonom baru? Apa
yang Anda bayangkan jika presiden dirayu sedemikian rupa hingga menyetujui
menaikkan gaji semua anggota parlemen di daerah? Apa yang meninju imajinasi
dan hati Anda saat parpol merasa memiliki hak agar bantuan pemerintah
(negara) dilipatkan 5.000 persen dari semula?
Mutan kultur global
Semua fakta keras di atas, juga ribuan fakta
lain yang menyelimuti hidup kita masa (zaman) kini, menjadi bukti yang juga
keras dan absah betapa kita, elite yang juga kemudian dipanuti oleh orang
kebanyakan, telah menjadi gergasi yang bukan hanya tidak mengenali kodrat
kemanusiaannya yang ilahiah, tapi juga telah menjadi mutan kultur global
dengan kerakusan animalistik dalam laku dan perbuatan hidupnya.
Mutan kultur global, yang didiseminasi dan
diinternalisasi intensif selama setidaknya satu abad belakang ini, tak cuma
tidak menyadari, tapi juga tak peduli dengan bahasa dan kesadaran jiwa/mental
apalagi spiritualnya. Kultur global itu membuat mutan-mutan indonesianis itu
sangat percaya pada akal/intelektual, akibat pembelajaran luar biasa bahkan
sejak PAUD hingga S-3 atau profesor, tanpa memiliki kemampuan/kapabilitas menciptakan
”jembatan keledai” dengan realitas/kesadaran jiwa dan batinnya.
Kita hidup secara formal dengan topeng akal
yang cantik dan ganteng, lalu kita gunakan itu sebagai norma dan moral untuk
menyubstitusi hal sama yang ada dalam tradisi dan agama. Dengan basis adab
itu kita membiarkan nafsu, libido, syahwat, hingga angkara merajalela tanpa
penjaga moral dan etik yang telah diciptakan dan diwariskan nenek moyang
sejak ribuan tahun lalu. Tak ada warisan-warisan itu. Tak ada kemuliaan dari
warisan itu. Bahkan Pancasila sekalipun.
Pengetahuan yang kita rasa miliki melalui
sistem/proses pendidikan kontinental selama seabad terakhir, mungkin berbeda
dengan apa yang orang Jawa bilang weruh (kaweruh) bahari yang sifatnya
multidimensi. Kaweruh yang tidak hanya berisi kesadaran akal, juga kesadaran
fisikal, mental, dan spiritual. Pendidikan ala adab kontinental yang bersifat
struktural (di mana guru/dosen begitu dominan, monolitik dan diktatis) hanya
mampu mengisi chip dengan memori beberapa terabyte di 1.300 cc tempurung
pojok kiri kepala kita. Mungkin bagi mereka yang percaya ”Aku berpikir maka
jadilah Aku” (cogito ergo sum), adab itu bisa berlangsung hingga hari ini,
seperti di kebanyakan negara/bangsa kontinental. Namun, ternyata belakangan
mereka mulai menyadari bagaimana cara atau modus eksistensial semacam itu
jika tidak pincang, hasil akhirnya tidak lengkap, bahkan menyembunyikan
bahaya peradaban yang serius.
Dalam diri manusia Indonesia hal serius itu
tidak sembunyi, tapi nyata terjadi. Bahkan sudah jadi bencana ketika akal
kontinental itu bertarung secara permanen dengan dunia/kesadaran lainnya.
Akal yang megalomaniak menciptakan mutan gergasi di atas dengan tubuh dan
jiwa amoral dan biadab memperebutkan bahkan merampok kuasa (apa saja:
politik, ekonomi, ilmu, agama, seni) demi mempertahankan kedigdayaan manusia,
tepatnya dia dan golongannya sendiri. Jadi, tak peduli Anda post-doktoral
atau mungkin dua kali profesor, Anda tetap jadi budak dari asas-asas dasar
sistem-sistem di atas, macam: kompetisi, zero sum game, the winner takes all,
laissez faire, voting, dan banyak asas lainnya, asas yang kita anggap memberi
kita banyak kemudahan, sekaligus kejahatan destruktif.
Bagaimana tidak destruktif jika seorang
pemimpin hanya dipilih hanya oleh kurang dari 20 persen penduduk karena
demokrasi? Atau perjanjian damai yang didambakan dunia, juga rakyat Columbia,
batal karena referendum dimenangi dengan angka tipis oleh pemilih yang
totalnya hanya 33 persen dari jumlah penduduk? Siapakah pemenang tipis itu?
Tidak lain pemilih urban, penduduk kota-kota besar, elite negeri itu, yang
puluhan tahun ada dalam zona nyaman dan tidak menghayati penderitaan
saudaranya di desa-desa dan wilayah pinggiran.
Hingga, bilakah elite semacam ini bertahan,
merampok bangsanya sendiri, dan secara sistemik mengondisikan publik
untuk—sadar dan tak sadar—mendukung atau mempertahankan kegergasian mutanik
mereka? Pertanyaan itu tidak tepat juga tidak adil diajukan pada rakyat pada
umumnya. Mereka tidak mafhum. Sejarah selalu mengajarkan, segelintir oranglah
yang akhirnya mampu menggerakkan dan mengubah sejarah itu sendiri.
Artinya, akhir kata, elite juga pegang tali
kekang. Dengan realitas kaum elite negeri ini sekarang, masih bisakah kita
memelihara harapan perubahan? Atau mungkin rakyat yang memulai perubahan itu?
Maaf, saya belum dengar ada presedennya. Imam Mahdi, Satria Piningit, atau
semacam The Avengers? Tentu saja kita enggan jadi bagian dari masyarakat yang
ilusif, fiksional, dan virtual buatan Marvel, Hollywood, atau Bollywood itu.
Pesimistis? Kalau ya, berarti Anda gagal
menangkap optimisme luar biasa yang tersimpan di barisan huruf di atas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar