'Five In One',
Ini Yang Membuat 'Sharing Economy' Menjadi Besar
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
|
KOMPAS, 05 Mei 2016
Tulisan ini merupakan
lanjutan kolom kemarin: Semoga kita sepakat bahwa budaya sharing itu bagus.
Dan itulah yang dari dulu selalu diajarkan para orang tua kita.
Dan sharing selalu
dikontraskan dengan owning. Maka, sharing economy, dalam hal tertentu bisa
lebih memberi ruang bagi hadirnya kewirausahaan baru, ketimbang owning economy.
Keduanya bisa hidup
berdampingan, tetapi butuh regulasi yang lebih humanis dan menghormati
keberadaan keduanya.
Masalahnya juga ada:
kalau dilengkapi dengan teknologi, ia punya efek merombak persaingan. Apalagi
kalau perekonomian masih kurang efisien dan terlalu banyak pungutan yang mendistorsi.
Rakyat (khususnya kaum
muda) yang berkolaborasi, akan punya cara sendiri membangun kemandiriannya.
Baiknya kita periksa kembali ideologi kita berbangsa.
Jadi sharing adalah
kerjasama, gotong royong. Dalam perekonomian, dasar gotong royongnya tampak
dalam sharing resources. Namanya
juga perekonomian, harus ada value
creation, yaitu benefit yang bisa di-share,
yaitu kesejahteraan.
Anda boleh kasih nama
apa saja: spiritual, emotional,
material atau monetary benefit.
Benefit itu adalah
insentif yang memotivasi manusia, bukan? It's a basic fundamental of human
behavior.
Lantas mengapa
sekarang tiba-tiba banyak kaum muda yang terlibat dalam sharing economy dan berhasil mengubah dunia? Mengapa ia bisa
membuat para incumbent (pelaku bisnis konvensional) jungkir balik? Ini
jawabannya: Five in One Strategy.
Five itu mencakup:
model bisnis, struktur biaya baru, teori disrupsi, big data analytics, dan
sharing resources itu sendiri. Jadi, sharing
economy tidak berdiri sendiri. Ia dipadukan dengan teknologi, ilmu
statistik realtime dan cara berpikir kaum muda.
Kecuali incumbent
menjalankan prinsip "managing like start ups" saya kira akan banyak yang mengalami kesulitan
di sini.
Model Bisnis
Ini adalah mantra lain
dalam berkompetisi di abad 21. Singkatnya model bisnis atau business model
adalah cara manusia menemukan benefit atau rezeki yang tersembunyi. Bisa
langsung maupun tidak. Jadi, harus cerdik karena dunia sudah benar-benar
berubah. Ibarat memotong hewan kurban, mereka mencari, "dimana
dagingnya?"
Sharing economy juga merupakan business model. Tak perlu beli yang baru, sharing saja yang masih ada lifetime
value-nya, yang menganggur (idle).
Jangan dikuasai untuk didiamkan, dipagari atau digudangkan.
Regulator bisa
mendukung atau sebaliknya mendistorsi sehingga terjadi ekonomi biaya tinggi.
Apalagi, kalau mereka hanya fokus pada peraturan-peraturan yang ada
Pendapatan Negara Bukan Pajak.
Segala hak milik
pribadi kalau selalu harus diinstitusikan dulu, baru di-sharing-kan, tentu
menjadi hambatan bagi kerjasama dan biaya.
Kalau kita jeli dengan
business model, harusnya kita
bertanya mengapa banyak pelaku ekonomi baru yang tak memungut bayaran? Lihat
saja mesin pencari Google, Facebook, Twiter, Line, Path, Youtube, bahkan
kuliah gratis seperti TEDx dan IndonesiaX.
Melalui business model
itulah, para pelaku menggarap key-partners, menggarap keuntungan dari sisi
lain dan memilih waktu yang tepat.
Saya ambil saja contoh
proyek kereta api cepat yang kontroversial itu. Jepang dan China saja punya
business model yang berbeda.
Yang satu ingin
membangun lintasan pada jalur kereta
api lama sehingga butuh dana besar untuk pembebasan tanah. Income dari
bisnis transportasi itu sendiri: utamanya tiket kereta api.
Sedang yang satunya
menggunakan konsep sharing resources dari BUMN (jalan Tol milik Jasa Marga,
terminal di area perkebunan Walini,
konstruksinya oleh WIKA, dan operatornya PT Kereta Api) dan mendapatkan keuntungan
dari usaha di kawasan TOD: Rumah sakit, Kampus, perumahan, perkantoran,
sarana kerja dan sebagainya. Sumber pendapatannya lebih beragam.
Kalau anda belum puas,
baca lagi kolom saya ini: Mereka yang
Melakukan Perubahan dengan Cara Sederhana.
Di situ Anda akan
membaca, betapa cerdasnya orang kampung dari Pulau Adonara ini membangun
desanya.
Bahasa kerennya itu
kita sebut business model. Anda juga bisa mereka-reka bagaimana business
model kickstarter.com atau kitabisa.com. Silahkan dipelajari.
Predatory dan Disruption
Ekonomi selalu mencari
dua jalan: Efisiensi dan kesejahteraan. Untuk itulah Clayton Christensen
sejak 20 tahun lalu mengingatkan proses disruption,
yang bisa saja berakibat “kehancuran” atau “kemunduran” di antara para
incumbent.
Incumbent, menurut
teori disruption, akan fokus pada
kelompok segmen pasar yang memberi banyak keuntungan padanya dan loyal.
Mereka menerapkan sustaining innovation.
Anak-anak muda,
wirausaha baru, yang ingin masuk ke dalam pasar, sebaliknya menerapkan disruptive innovation melalui business
model.
Maka biasanya,
wirausaha-wirausaha baru “mencari pasar” dari bawah yang harganya murah.
Mereka melayani kelompok yang belum menjadi pasar karena soal harga dan
diabaikan incumbent.
Tetapi perlahan-lahan
terjadi dua hal: wirausaha baru memperbaiki layanan dan teknologi, sedangkan
segmen yang di atas tergoda pindah. Apalagi kalau bagus dan jauh lebih murah.
Di situlah terjadi proses disruptif. Bergejolak dan ribut.
Lantas yang
dikhawatirkan sebenarnya adalah kalau mereka menerapkan strategi temporary, predatory.
Selentingan ini juga
beredar kuat di masyarakat karena terbetik kabar, Grab, Uber dan Gojek setiap
bulan masih harus mengeluarkan jutaan dollar. Mari kita buka teori dan
praktiknya.
Menarik di simak karena
sejarah perubahan 25 tahun terakhir
ini yang berpola sama.
Mungkin kalau hidup di
sini, Google dan Facebook (keduanya juga rugi bertahun-tahun tapi kini
menjadi yang terkaya di dunia) juga dituding sebagai pelaku predatory pricing. Mereka menerapkan zero price, freemium. Tapi lihatlah,
itu bukan berlaku sementara, tetapi memang business model-nya.
Sementara Amazon yang
berbayar, juga lebih dari lima tahun rugi di tengah-tengah popularitasnya.
Juga bukan hal yang aneh, semua pendatang baru membutuhkan 2-5 tahun untuk mencapai titik impas.
Starbuck Indonesia,
Sogo, Pizza Hut, dan sebagainya juga mengalami hal serupa, sama dengan yang
membuka usaha restoran. Rugi dan harus nombok beberapa tahun di awal.
Nama ya learning curve. Semua pengusaha melewati
kurva belajar sampai profit datang.
Tetapi mengapa sebagian dari mereka menerapkan harga yang murah?
Sekali lagi pelajari business modelnya.
Big Data Analitics
Akhirnya harus saya
katakan bahwa sharing economy tidak
berdiri sendiri. Untuk menembus barikade ekonomi berbiaya tinggi itulah
publik berkolaborasi, menciptakan sistem sendiri, menemukan business model
yang pas, dan mencari teknik-teknik baru untuk mengikis inefisiensi.
Jadi bagian mana yang
tidak disukai kaum propaganda yang “tidak welcome” terhadap kehadiran sharing economy? Ekonomi Gotong
royong? Business model? Proses disruption?
Predatory pricing (atau learning
curve) atau analitics?
Ini five in one sehingga sulit dibendung.
Mekanisme teknologi
ini menjadi amat runyam, kalau incumbent dan regulator terlambat belajar ilmu
statistik baru yang didasarkan pergerakan data real time.
Ya, generasi tua
belajar teori sampling dan data time series, kaum muda tinggal dalam big data
dan real time.
Mereka bisa mendeteksi
mood public dari kata-kata yang di ucapkan dan ditulis lewat social media,
bahkan mereka bisa memetakan siapa menteri yang harus diganti.
Mereka menggunakan NLP
( Natural Language Programming), Memory Based Reasoning (Recommendation),
Sentiment Analysis, Customer Segmentation using RFM ( Recency Frequency
Monetary) dan Churn Risk analysis.
Senjata analitics itu
juga bisa mendeteksi di mana ada permintaan pada waktu tertentu. Dengan
begitu pasukan suply dapat dikerahkan untuk menjemput demand at the right
time.
Kalau sudah begitu,
"daging" ekonominya bisa lebih mudah ditangkap. Jadi usaha
mereka lebih sehat, agile dan lebih sejahtera. Bahkan para
driver dalam sistem ekonomi five in one
ini harusnya tak perlu lagi bekerja 12 jam.
Hanya dengan bekerja 8
jam saja sehari, sesuai dengan amanat UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(2009), harusnya sudah bisa sejahtera kalau sistemnya efisien. Kecuali
regulator berkata lain, maka hasilnya akan berbeda.
Jadi Sharing Economy dalam proses disruption ini tak berdiri sendiri. Saya berharap kita tak memilih untuk
sekedar menjadi penonton dalam gejolak perubahan ini.
Pelaku lama perlu
meremajakan diri, strategizing like
startups. Regulator perlu membuka wawasan berpikirnya. Dan para startups
tidak cengeng dalam berjuang.
Detail semua ini bisa
anda saksikan dalam kuliah umum saya di IndonesiaX.co.id.
Kemajuan teknologi dan
ilmu pengetahuan bisa membuat kita lebih kompetitif kalau paham dan terus
mengikutinya. Karena dunia terus berubah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar