Kamis, 11 Februari 2016

Pemilikan Lahan dan Ketimpangan

Pemilikan Lahan dan Ketimpangan

Fadli Zon  ;   Wakil Ketua DPR
                                                     KOMPAS, 10 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, 22 Desember 2015, hanya sedikit sekali mendapat tanggapan. Padahal, PP tersebut bersifat kontraproduktif terhadap agenda reforma agraria yang pernah disuarakan pemerintah.

Sebelumnya, di luar soal reforma agraria, dari sisi perundangan ada tiga persoalan terkait isi PP. Pertama, soal jangka waktu. Pemberian hak pakai untuk orang asing selama 30 tahun, dengan opsi perpanjangan hingga maksimal 80 tahun, jelas bertentangan dengan PP No 40/1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Meski tak spesifik mengatur kepemilikan properti untuk orang asing, dalam PP No 40/1996 dijelaskan bahwa jangka waktu hak pakai, baik di atas tanah negara maupun hak milik pribadi, hanya 25 tahun. Begitu juga dalam UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal, hak pakai diberikan maksimal 70 tahun.

Kedua, soal status kepemilikan. Pasal 3 PP No 103/2015 menyebut bahwa WNI yang melakukan perkawinan dengan orang asing dapat memiliki hak atas tanah yang sama dengan WNI lain. Artinya, WNI yang menikah dengan orang asing bisa membeli tanah dengan status hak milik. Masalahnya, menurut UU No 1/1974 tentang Perkawinan, jelas tertulis bahwa WNI yang menikah dengan WNA boleh menjadikan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta milik bersama. Ini berpotensi melahirkan persoalan di belakang.

Ketiga, soal kontrol. PP No 103/2015 tak membatasi bahwa hak pakai itu diberikan hanya atas tanah negara, sebagaimana yang, misalnya, diatur dalam UU No 5/1960 tentang UU Pokok-pokok Agraria (UUPA). Konsekuensinya, karena hak pakai untuk orang asing tak dibatasi hanya untuk tanah negara, melainkan juga atas tanah hak milik, pemerintah akan kesulitan melakukan kontrol. Sebagaimana yang sudah terjadi di Bali atau Lombok, PP itu bisa memicu terjadinya peralihan kepemilikan lahan ke asing lebih masif lagi.

PP tersebut juga tak dilengkapi pengaturan soal pembatasan zonasi dan harga. Padahal, di negara-negara lain batas minimal harga properti untuk orang asing diatur sedemikian rupa. Di beberapa negara tetangga, harga properti untuk orang asing, misalnya, dipatok minimal Rp 3 miliar-Rp 5 miliar. Tujuan pengaturan itu jelas, agar hak kepemilikan bagi orang asing tak bertubrukan dengan hak bagi warga negara, terutama dengan mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Ini diperparah dengan tidak adanya pengaturan zonasi, yang mengatur hak kepemilikan itu hanya berlaku untuk kawasan tertentu saja. Kontrol akan semakin sulit dilakukan.

Namun, di luar soal perundangan tadi, persoalan paling serius yang tersembunyi di balik diterbitkannya PP tersebut adalah soal ketimpangan pemilikan lahan yang terus memburuk di Indonesia, yang berimplikasi pada kian memburuknya ketimpangan ekonomi. Menurut laporan Bank Dunia (2015), faktor penyebab ketimpangan ekonomi yang makin melebar di Indonesia saat ini, selain disebabkan oleh korupsi, tidak meratanya penguasaan aset uang dan properti, serta kesenjangan upah antara sektor pertanian dan nonpertanian, juga disebabkan oleh ketimpangan kepemilikan lahan.

Indeks gini kita saat ini memang mencapai 0,41, yang merupakan indikator ketimpangan ekonomi paling buruk yang pernah terjadi di Tanah Air. Dan, ketimpangan tersebut sebanding dengan ketimpangan kepemilikan lahan, yang menurut Sensus Pertanian 2013, indeksnya mencapai 0,72. Artinya, struktur kepemilikan lahan di Indonesia sangat timpang sekali. 

Konsentrasi kepemilikan

Sensus Pertanian 2013 memang menunjukkan bahwa telah terjadi konsentrasi pemilikan lahan. Pada 2003, rata-rata penguasaan lahan per rumah tangga petani hanya 1,43 hektar. Angka ini meningkat menjadi 2,65 ha pada 2013. Hanya, di sisi lain penguasaan lahan nonpertanian oleh rumah tangga petani juga merosot drastis, dari 0,4 ha pada 2003 menjadi 0,07 ha pada 2013. Artinya, telah terjadi konsolidasi pemilikan lahan di tangan kalangan tertentu. Tak heran jika sensus yang sama juga menunjukkan jumlah rumah tangga petani terus menurun, dari 31,17 juta pada 2003, menjadi 26,13 juta pada 2013, turun rata-rata 1,75 persen per tahun.

Implikasi langsung dari terjadinya konsentrasi pemilikan lahan, selain berakibat pada turunnya jumlah rumah tangga tani, juga bisa dilihat pada tingginya laju konversi lahan pertanian. Rata-rata konversi lahan sawah di Sumatera, Kepulauan Riau, dan Bangka Belitung, misalnya, mencapai 17.550 ha per tahun, sedangkan di Jawa 7.923 ha dan Bali 1.000 ha per tahun. Angka itu tentu saja tidak menggembirakan, apalagi Jawa berkontribusi terhadap 53 persen produksi pangan nasional.

Tanah adalah alat produksi bagi petani, dan terjadinya konsentrasi pemilikan tanah telah membuat banyak petani kehilangan alat produksinya. Strategi pembangunan pemerintah yang terlalu fokus pada penarikan investasi asing kian memperburuk persoalan agraria ini. Jika dibandingkan negara lain, meski sering disebut negara agraris, sebenarnya ketersediaan lahan pangan per kapita Indonesia amat sempit, hanya 359 meter persegi untuk sawah (atau 451 meter persegi bila digabung lahan kering). Angka itu jauh di bawah Vietnam (960), Thailand (5.226), atau Tiongkok (1.120).

Tak heran, sejak 2007 Indonesia terus mengalami defisit perdagangan pangan. Impor pangan melejit lebih cepat daripada ekspor sehingga defisitnya terus melebar. Laju permintaan pangan di Indonesia kini mencapai 4,87 persen per tahun, dan tak mampu dikejar oleh kemampuan produksi nasional. Salah satu masalah penting yang memengaruhi tingkat kesejahteraan petani adalah soal kepemilikan lahan. Sekitar 56 persen penduduk pedesaan buruh tani, atau petani gurem, dengan kepemilikan tanah rata-rata di bawah 0,5 ha. Struktur agraria semacam itulah yang telah menyebabkan tingginya angka ketimpangan.

Sebelum ini, konsentrasi pemilikan lahan terutama memang dipengaruhi UU penanaman modal kita yang memberi konsesi sangat besar kepada investor, termasuk pemberian hak guna usaha yang mencapai 95 tahun. Itu sebabnya, tanah-tanah kita kini banyak terkonsentrasi sebagai lahan perkebunan besar serta konsesi pertambangan. Fungsi tanah pun semakin jauh dari amanat UUPA, yang menyebut bahwa hak atas tanah memiliki fungsi sosial. Ketimpangan agraria tadi hanya bisa diatasi dengan agenda reforma agraria. Sebab, jika dibiarkan, ketimpangan akan kian memperbesar jurang kemakmuran. Selain kontraproduktif, penerbitan PP No 103/2015 juga telah membuat agenda reforma agraria kembali mundur ke belakang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar