Pelajaran Kebiri Kimiawi dari California
Gita Putri Damayana ; Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia (PSHK) dan Studi S-2 University of Washington
|
KORAN TEMPO, 12
Februari 2016
Langkah Presiden Joko
Widodo menyiapkan draf Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
tentang pemberatan hukuman terdakwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak
dengan cara kebiri patut mendapat perhatian. Perhatian Presiden terhadap
kekerasan seksual pada anak ini harus dihargai setinggi-tingginya. Anak,
dengan segala keterbatasannya, adalah kelompok masyarakat yang paling rentan
menjadi korban kekerasan.
Di Amerika Serikat,
pengebirian secara kimiawi ini sudah dilakukan oleh beberapa negara bagian,
seperti California, Florida, Montana, dan Louisiana. California adalah negara
bagian pertama yang memberlakukan hukuman kebiri kimiawi pada 1996.
Dasar hukum kebiri
bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah Pasal 645 California
Criminal Code. Menurut hukum California, terapi kebiri kimiawi dimulai
sepekan sebelum pelaku dibebaskan dari penjara dan berlanjut terus sampai
dinilai cukup oleh pemerintah.
Hormon kimia yang
diberikan kepada terdakwa adalah medroxyprogesterone acetate atau sejenisnya,
yang berfungsi menekan berahi pelaku. Hukuman kebiri kimiawi ini dijatuhkan
oleh pengadilan bagi terdakwa yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak
di bawah usia 12 tahun dengan bukti tak terbantahkan (beyond reasonable
doubt) untuk kedua kalinya. Artinya, bila seseorang baru pertama kali melakukan
kekerasan seksual terhadap anak, pengadilan tidak serta-merta menjatuhkan
hukuman tersebut. Pengadilan juga tidak memisahkan terdakwa yang mengidap
paedofilia dengan mereka yang tidak memiliki kecenderungan paedofilia.
Setelah hampir 20
tahun berjalan, pemberlakuan kebiri kimiawi ini mendapat kritik keras dari
berbagai kalangan. Pemberian hormon itu ternyata hanya efektif untuk menekan
berahi pelaku laki-laki. Sedangkan untuk pelaku perempuan, fungsi hormonalnya
berubah menjadi alat pengendali kelahiran (KB).
Pemerintah juga tak
diwajibkan menyediakan terapi psikologis bagi pelaku. Hal ini juga mendapat
kritik keras karena pembuat undang-undang mengabaikan pentingnya perlakuan
yang berbeda bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang mengidap
paedofilia atau yang tidak.
Pertimbangan utama
pasal kebiri kimiawi di California adalah untuk mencegah pelaku mengulangi
perbuatannya di kemudian hari. Artinya, target pencegahannya bukan untuk
(calon) pelaku baru, melainkan untuk mencegah residivisme.
Pelaku kekerasan
(bukan pelanggar yang berulang) bahkan bisa mengambil langkah yang lebih
drastis, yaitu kebiri melalui operasi, sehingga tidak dihukum penjara. Kebiri
kimiawi bisa menjadi pilihan untuk pelaku kekerasan seksual yang baru pertama
kali melakukan kejahatannya sebagai alat tawar-menawar hukuman dengan pihak
penuntut umum.
Hal ini mengingat
biaya kebiri kimiawi hanya US$ 160 per bulan, sedangkan biaya hidup seorang
narapidana di penjara California adalah US$ 47 ribu. Bila pelaku memilih
dikebiri kimiawi, beban anggaran negara berkurang.
Dari sisi pencegahan,
pemerintah federal AS sejak 1996 sudah memberlakukan Megan's Law, yaitu
kewajiban negara bagian untuk menginformasikan ke publik mengenai domisili
pelaku kekerasan seksual. Megan's Law secara khusus mengatur kewajiban pelaku
kekerasan seksual terhadap anak untuk memberitahukan perpindahan tempat
tinggal atau tempat kerjanya ke aparat penegak hukum. Pemerintah federal AS
menyediakan situs National Sex Offender Public Website, yang menjadi pangkalan
data pelaku kekerasan seksual nasional.
Dalam konteks
Indonesia, pemerintah bisa memasukkan soal pemberatan kejahatan kekerasan
seksual dalam pembahasan revisi KUHP yang masih berlangsung di parlemen.
Presiden tidak perlu mengeluarkan perpu karena tidak ada alasan kegentingan
yang memaksa dan tak ada kekosongan hukum. Pasal 287 sampai 295 KUHP serta
Pasal 81, 82, dan 88 Undang-Undang Perlindungan Anak telah mengatur hukuman
untuk pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Pengalaman dari
California menunjukkan bahwa kebijakan yang disusun melalui proses politik
normal dengan mempertimbangkan aspek preventif saja masih penuh kritik dan
tantangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar