Tugas
Politik dan Hedonisme Pejabat
Laode Ida ;
Wakil
Ketua DPD; Artikel Ini Pandangan Pribadi
|
KOMPAS,
11 September 2014
PENETAPAN
Jero Wacik, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, sebagai tersangka kasus
korupsi oleh KPK (3/9/2014) menjadi noda hitam di ujung kekuasaan Presiden
SBY yang sulit diperbaiki. Tak lagi ada waktu bagi SBY memulihkan citra
akibat praktik kotor pembantunya itu.
Sebelumnya sudah terlebih dulu Andi Mallarangeng (eks Menteri Pemuda
dan Olahraga) divonis dan masuk penjara akibat terjerat kasus korupsi proyek
Hambalang dan Suryadharma Ali (eks Menteri Agama) sebagai tersangka korupsi
anggaran haji. Semua itu belum termasuk sebagian menteri yang sudah diperiksa
KPK terkait dugaan adanya praktik korupsi di dalam lembaga yang mereka
pimpin. Namun, mereka masih saja menghirup udara bebas kendati sebagian oknum
pejabat bawahan sudah berstatus tersangka atau bahkan menjadi penghuni hotel
prodeo.
Praktik
dan perilaku korup para menteri itu
sungguh sangat ironis sekaligus mengganggu akal sehat nan waras. Soalnya,
kecuali sebagai terhormat dan merupakan figur-figur pilihan di antara ratusan
juta warga bangsa ini, mereka juga sudah memperoleh fasilitas yang bersumber
dari uang negara dengan nominal jauh di atas rata-rata dibandingkan dengan
penghasilan umumnya pejabat lain bangsa ini.
Mereka
memperoleh gaji dan honor serta tunjangan tetap yang mencapai ratusan juta
rupiah, berikut perumahan yang dilengkapi dengan fasilitas dari negara yang
serba gratis. Singkatnya, para menteri itu sebenarnya sudah memiliki
fasilitas untuk hidup bersama keluarga secara lebih dari cukup.
Dengan
keadaan seperti itu, sebenarnya rakyat bangsa ini berharap agar mereka
bekerja untuk menyukseskan tugas pengabdian dalam rangka menjadikan rakyat
lebih sejahtera melalui program-program strategis di kementeriannya. Atau,
jika mereka bermitra dengan pelaku bisnis, yang mestinya dilakukan adalah
bagaimana agar pebisnis lebih berkembang sehingga bisa berkontribusi sebagai
pembayar pajak untuk pemasukan resmi negara dan/atau membantu rakyat secara
langsung, baik dengan kian banyaknya menyerap tenaga kerja maupun berupa
kewajiban sosial lainnya melalui program tanggung jawab sosial perusahaan.
Haus dan rakus harta
Namun,
kecenderungan yang terjadi tampaknya justru sebaliknya. Sebagian di antara
mereka ternyata sangat haus, bahkan rakus harta. Jika berangkat dari istilah
yang dituduhkan KPK terhadap Jero Wacik, yakni memeras, sebenarnya perilaku
para petinggi negara itu mirip dengan ”geng preman” atau ”mafioso” yang
dengan kasar merampas paksa hak orang lain untuk berpindah tangan jadi
miliknya. Ini sungguh sangat memalukan
bagi SBY yang memosisikan mereka sebagai pembantu di barisan kabinet dan terus
memercayai hingga di antaranya dua periode, termasuk menjadi petinggi pada
partai politik yang didirikan dan dipimpinnya.
Pertanyaannya kemudian, apakah perilaku korup dari
menteri seperti itu semata-mata didorong oleh motivasi internal pribadinya ataukah
secara langsung atau tak langsung merupakan produk dari sistem yang berlaku
dalam politik di negeri ini? Mendapatkan jawaban atas pertanyaan ini, tentu
saja, harus dilakukan penelitian khusus untuk mendeteksinya secara saksama
dari suatu kasus ke kasus lain. Ini suatu bagian dari pekerjaan rumah para
akademisi yang sekaligus bisa
menunjukkan kontribusinya dalam upaya perbaikan ke arah penyelenggara negara
yang baik dan bersih di masa datang. Itu pun bisa terjadi apabila ada
komitmen pemimpin negara ini untuk menerima saran-saran perbaikan dari para
akademisi yang netral dan berintegritas.
Memang
selama ini yang kerap dituduhkan agaknya juga belum terbantahkan, yakni
sebagai sistem politik berbiaya tinggi. Seorang menteri, dengan demikian,
adalah figur yang harus berani mengambil risiko untuk mencari uang tambahan
melalui cara-cara ilegal. Ya, korupsi atau memeras pihak-pihak tertentu yang
terkait itulah yang dilakukan.
Motivasinya
tentu bukan saja agar secara pribadi tetap bisa selamat dalam pertarungan
politik dalam pemilu berikutnya, melainkan juga mencari jalan agar
agenda-agenda strategis parpol asalnya bisa selalu sukses serta pemilu
berikutnya terus berjaya atau bertahan. Termasuk untuk memenuhi sebagian
kebutuhan materi oknum pejabat di dalam parpolnya. Apalagi, ada isu yang berkembang dalam
lingkungan pejabat dan politik bahwa untuk merebut posisi menteri
sungguh-sungguh tak gratis karena ada mahar yang harus dibayar melalui
jaringan mafia penjaringan kabinet.
Kecenderungan
besarnya biaya politik seperti itu tampaknya diperparah dengan terjadinya
perubahan gaya hidup setelah menjadi pejabat yang cenderung hedonis,
memanjakan keluarga untuk hidup mewah, sehingga tak bisa terpenuhi hanya
dengan pendapatan resmi bulanan dari negara, yang sebenarnya dalam kondisi
hidup normal sudah tergolong lebih dari cukup itu.
PR Jokowi-JK
Dengan
demikian, para pejabat itu, karena
merasa berkuasa dalam instansi yang dipimpinnya, melalui berbagai cara
berusaha mengumpulkan uang. Cara itu termasuk mendikte para bawahan agar
menyetor kepadanya dalam wujud kick
back fee atas berbagai proyek yang ditangani, berikut kebijakan lain
berupa good will seperti pemberian
izin bagi keperluan bisnis pihak ketiga yang harus diuangkan.
Dalam
konteks ini, sebenarnya para pejabat
struktural yang kini menjadi tersangka atau dipenjara karena korupsi itu
hanyalah bagian dari korban dalam proses melayani syahwat kepentingan materi
dari atasan, yang notabene pejabat politik itu. Mereka tak berdaya untuk
menghindar. Apalagi para bawahan juga menggunakan prinsip aji mumpung untuk
memperkaya diri.
Namun,
apakah perilaku seperti itu tak bisa dicegah untuk kemudian akan terus
berlanjut di masa datang? Tentu saja tergantung dari kepemimpinan Jokowi-JK
sebagai presiden-wapres terpilih periode 2014-2019.
Salah
satu kuncinya, sekaligus upaya pencegahannya, adalah keterbukaan melakukan
evaluasi terhadap sistem perekrutan para menteri, seraya menerapkan prinsip
profesionalisme dan rekam jejak integritas figur, dengan tak mengabaikan
unsur partai politik. Ini merupakan tantangan utama dan sekaligus pekerjaan
rumah jangka pendek yang harus dihadapi Jokowi-JK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar