Rabu, 24 September 2014

Tangguh Hadapi Bencana

Tangguh Hadapi Bencana

Sri Mulyadi ;   Wartawan Suara Merdeka,
Anggota Wartawan Peduli Bencana Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 23 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

BERDASARKAN Bab III Pasal 5 UU Nomor 24 Tahun 2007, pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab penyelenggaraan penanggulangan bencana (PB). Namun dalam implementasinya selama ini, tanpa keterlibatan dunia usaha dan masyarakat secara aktif, penanggulangan bencana (pra, tanggap darurat, dan pascabencana), sulit dilakukan dengan baik.

Khusus penanggulangan bencana oleh pemerintah daerah (provinsi, kota/kabupaten), persoalan yang muncul lebih pada masalah kapasitas, yakni aspek pendanaan, kompetensi personel, peralatan, dan kemampuan manajerial Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) provinsi dan kota/kabupaten. Jumlah personel rata-rata masih terbatas, tak sebanding dengan luas wilayah, jumlah penduduk, dan potensi ancaman bencana.

Keterbatasan itu, di satu sisi bisa dipahami mengingat BPBD merupakan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang relatif  muda. Rata-rata baru berusia 4-5 tahun, itu pun belum semua kota/kabupaten membentuk. Kalaupun sudah membentuk, baru sebagian yang berdasar hukum perda, sisanya berlandaskan surat keputusan (SK) wali kota/bupati.

Dengan kenyataan itu, di satu sisi bisa dipahami jika pemda sering keponthal-ponthal dalam penanggulangan bencana di daerahnya. Namun perlu disadari bahwa bencana bersifat pasti, selalu ada dan mengancam tiap saat, kapan pun, di mana pun, siapa pun korbannya. Bagaimanapun, tanpa terobosan atau inovasi dalam penanggulangan bencana, masyarakat tentu belum secara maksimal mendapatkan perlindungan dari ancaman bencana.

Persoalan di BPBD yang juga dilematis adalah pengangkatan dan mutasi karyawan, termasuk posisi kepala pelaksana harian. Pada era otda, BPBD merupakan SKPD pemda. Otomatis, menyangkut jumlah, promosi, dan mutasi karyawan, sepenuhnya menjadi wewenang kepala daerah. Dampaknya, hal itu kerap mengganggu kesinambungan program kerja. Sering terjadi program belum dilaksanakan, pejabatnya sudah berganti.

Demikian pula berkait kompetensi atau pembekalan keterampilan. Misalnya, beberapa kepala bidang, bahkan kepala pelaksana harian, telah diikutkan program manajemen penanggulangan bencana, penanganan tanggap darurat, pembuatan rencana kontijensi, renstra, renaksi, dan lainnya. Belum sampai diimplementasikan, dia dipindahkan ke SKPD lain. Otomatis program itu bisa jadi ëísia-siaíí, begitu seterusnya, sehingga seringkali BPBD kesulitan mendapatkan the right man on the right place atau orang yang tepat di posisi pas.

Dengan kenyataan itu, harapan Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Dr Sutopo Purwo Nugroho bahwa kapasitas BPBD senantiasa harus terus ditingkatkan seperti disampaikan dalam berbagai kesempatan, bisa jadi tetap menghadapi kendala.

Mitigasi

Apakah persoalan yang kompleks itu membuat kita menyerah? Tentu saja tidak karena intinya visi dan misi BNPB ataupun BPBD adalah melindungi dan menyelamatkan segenap warga negara dari ancaman bencana lewat filosofi penanggulangan bencana. Yakni, menjauhkan masyarakat dari bencana. Menjauhkan bencana dari masyarakat, dan hidup berdampingan secara harmonis dengan bencana, serta menjaga kearifan lokal.

Dari tiga filosofi tersebut, berdasarkan pantauan, khususnya di Jateng, masing-masing masih sering menghadapi kendala. Misalnya langkah menjauhkan warga dari bencana, baik lewat transmigrasi maupun relokasi. Meskipun mereka bermukim di kawasan rawan bencana (KRB), bahkan terkena bencana, seperti warga lereng Gunung Merapi yang tinggal dalam jarak kurang dari 5 km  dari puncak, warga yang menempati tanggul/bantaran sungai, daerah rawan longsor, bila diminta pindah ke tempat aman, tak langsung menurut.

Sebagian besar dari mereka memilih tetap tinggal di tanah kelahiran walaupun berisiko jadi korban bencana. Meskipun ada fasilitas pendanaan dari BNPB (tiap KK diberi tanah 100 m2 seharga Rp 7 juta, bangunan Rp 30 juta, fasilitas umum) atau pemda sekali pun, hanya sebagian warga memanfaatkan.

Menjauhkan ancaman bencana dari manusia, untuk lokasi tertentu bisa dilakukan dengan pengurangan kawasan hijau untuk perumahan, menghentikan alih fungsi lahan, reklamasi, pembangunan talud pantai pencegah rob dan abrasi, pengawasan serta pencegahan pembakaran hutan, pembalakan liar, normalisasi sungai, dan sebagainya. Namun itu juga belum mampu dilaksanakan secara baik. Sementara ancaman yang bersifat laten seperti di kawasan longsor atau sekitar gunung berapi, jelas tak mungkin bisa dilakukan.

Yang cocok diterapkan di banyak lokasi di Indonesia, tampaknya hidup berdampingan dengan bencana. Namun tentu bergantung kesadaran, komitmen, konsistensi, kesiapan, serta ketangguhan warga dan pemangku kepentingan.

Salah satu konsep hidup berdampingan secara serasi dengan bencana adalah dirintisnya desa bersaudara (sister village) di lereng Merapi, wilayah Kabupaten Magelang. Konsep ini kecuali sebagai bentuk mitigasi, lebih ’’memanusiakan’’ pengungsi, juga cerminan tindakan: dari, oleh, dan untuk rakyat. Pelakunya warga setempat, sementara pemda/BPBD dan pihak terkait lain bertindak sebagai pendukung atau fasilitator.

Pada prinsipnya usulan memasangkan antardesa di KRB III dengan desa penyangga adalah usulan BPBD. Selanjutnya warga dipersilakan membuat kesepakatan sendiri. Termasuk menyusun data desa. Hal ini untuk membantu perangkat desa mengetahui kapasitas masing-masing desa sehingga sewaktu terjadi bencana semua berjalan sebagaimana seharusnya, tanpa memunculkan masalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar