Pemilukada
Bermata Dua
Arief Setiawan ;
Alumnus
S2 Ilmu Politik PFUR Moskow
|
REPUBLIKA,
12 September 2014
Pemilukada
langsung dilakukan pertama kali pada 2005 pascapengesahan UU No 32/2004
tentang Pemerintahan Daerah dan sudah dilakukan ratusan kali di tengah
pemekaran daerah yang tanpa ujung. Pelaksanaan pemilukada langsung merupakan
pergeseran dari pemilihan pemimpin dari model yang sifatnya elitis ke model
yang bersifat populis. Pemilukada langsung pun menjadi rona dalam pembangunan
demokrasi di Indonesia dan rakyat diharapkan bisa berpartisipasi aktif.
Pelaksanaan
pemilukada langsung erat dengan implementasi otonomi daerah. Pemilukada
langsung diharapkan menjadi katalis menuju konsolidasi demokrasi dan
pemberdayaan politik lokal. Sayangnya, tujuan ini jauh pangggang daripada
api. Pemilukada langsung tidak lagi menjadi sarana untuk demokrasi
partisipatoris. Elite politik menggesernya menjadi patronage democracy dengan menggunakan isu agama, etnis,
keluarga, dan kelompok sebagai instrumen hegemoninya (van Klinken, 2009). Alhasil, pemilukada langsung pun bukan jadi
pesta rakyat, tapi pesta elite dan patron-patronnya.
Pemilukada
langsung juga mengandung paradoks dari tujuan awal desentralisasi. Dalam
pemilukada, partai politik mempunyai peran sangat penting dalam mengusung
calon pemimpin di daerah meski saat ini memungkinkan adanya calon independen.
Ironisnya, desentralisasi dalam pengelolaan pemerintahan daerah di bidang
politik berjalan diametral dengan peran partai politik di daerah. Partai
politik cenderung sentralistis karena besarnya kekuasaan dan intervensi elite
politik di tingkat pusat dalam rekrutmen calon pemimpin daerah (Ismanto, 2011; Faguet, 2014).
Celah
dalam pemilukada langsung ini harus segera diperbaiki guna meminimalkan
distorsi demokrasi. Jika tak diperbaiki, sistem ini akan terus dijalankan dan
tetap memberikan peluang bagi elite politik daerah untuk terus menghegemoni
politik lokal. Korupsi, dinasti politik, politik patronase, dan eksploitasi
sumber daya alam secara masif akan menjadi sulit dikendalikan karena
kompleksitas permasalahan.
Pemilukada
tidak langsung melalui DPRD bukanlah tanpa masalah. Sejarah membuktikan,
pemilukada dengan model ini mempunyai kekurangan yang cukup besar pula. Hal
ini harus diletakkan dalam konteks besarnya kekuasaan partai politik dalam
penentuan kebijakan daerah. Pemilukada melalui DPRD juga akan semakin
mengukuhkan fenomena legislative heavy
yang sekarang sedang melanda. Masyarakat akan semakin sulit mengontrol
kinerja DPRD karena kekuasaan mereka semakin besar.
Perubahan
dari pemilukada langsung ke tak langsung hanya akan melahirkan pergeseran
kekuasaan dalam pengelolaan daerah. Parpol akan semakin kuat posisinya dalam
penentuan kebijakan di daerah. Ruang politik bagi calon independen pun bakal
tertutup rapat. Kita tak akan melihat lagi adanya calon independen yang
bertarung dalam pemilukada jika DPRD yang memilih kepala daerah.
Revitalisasi
pemilukada langsung
Mencari
jalan ketiga di tengah dilema politik seperti ini merupakan keharusan. Jalan
ketiga ini bukan hanya mengambil sisi ekletik dari masing-masing kutub
pertentangan. Perlu terobosoan dengan segala risikonya guna merevitalisasi
desentralisasi, khususnya pemilukada langsung. Partai politik sebagai salah
satu tiang utama demokrasi harus dapat perhatian serius. Keberadaan mereka
mempunyai peran sangat signifikan dalam membangun ruang publik dan
membangkitkan partisipasi politik masyarakat.
Hal
pertama yang bisa dilakukan terkait partai politik, yakni mengubah model
koalisi dalam setiap pemilukada. Model koalisi cair di daerah perlu diubah
dengan mengikuti aras politik nasional. Koalisi yang dibangun di pusat harus
jadi panutan daerah. Hal ini bertujuan untuk mengurangi deviasi implementasi
kebijakan dan dualisme "loyalitas" kepala daerah. Juga bisa
berfungsi untuk meminimalkan munculnya dinasti dan patronase politik di
daerah serta sinkronisasi program kerja.
Partai
politik di daerah harus juga diberi otonomi dalam menentukan calon kepala
daerah. Bukan lagi bergantung pada keputusan final dari pimpinan nasional
partai yang mengusung calon kepala daerah.
Partisipasi
politik masyarakat merupakan kunci perubahan di daerah. Pembukaan ruang-ruang
politik masyarakat akan menciptakan kontrol yang kuat dan pembangunan sesuai
kebutuhan daerah. Rapat umum maupun tanya jawab secara nirkabel bisa menjadi
solusi. Ada hal lain juga sangat penting, yaitu penguatan sistem
desentralisasi secara komprehensif. Penguatan ini bisa menjadi problem solver terhadap parasit dalam
demokrasi lokal yang sedang mendera saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar