Kamis, 25 September 2014

Menanti Era Baru Diplomasi

Menanti Era Baru Diplomasi

Dinna Wisnu  ;   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 24 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla kompak menegaskan bahwa arah diplomasi ke depan akan lebih diwarnai kegiatan diplomasi ekonomi.

Joko Widodo bahkan berseloroh bahwa dirinya dan Jusuf Kalla adalah pengusaha sehingga mereka paham akan pentingnya pertanggungjawaban penggunaan dana dalam tiap kegiatan. Istilahnya every cent counts, satu sen pun pasti tidak disia-siakan. Di dalam tubuh Kementerian Luar Negeri, sinyal tersebut memunculkan sejumlah reaksi. Reaksi yang paling sering ditemui adalah konfirmasi bahwa sudah selayaknya Indonesia mengedepankan diplomasi ekonomi yang lebih efektif dan optimal hasilnya.

Reaksi berikutnya adalah reaksi penuh tanda tanya: akankah ada perubahan pengelolaan diplomasi, termasuk di dalam Kementerian Luar Negeri? Implikasi poin kedua ini adalah ada kesadaran bahwa kalau struktur pengelolaan diplomasi tidak diubah, optimalisasi dan efektivitas diplomasi sulit dicapai. Kedua hal ini menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Presiden terpilih Joko Widodo menjanjikan penguatan diplomasi perdagangan, diplomasi energi, diplomasi pangan, bahkan diplomasi maritim.

Konsentrasinya pada peningkatan volume perdagangan dan surplus perdagangan, menjaga kedaulatan energi dan pangan, serta mengembalikan kewibawaan Indonesia sebagai negara maritim yang punya kekuatan geopolitik yang andal. Semua ini sebenarnya bukan hal yang baru di Kementerian Luar Negeri. Misalnya saja mengenai peningkatan volume perdagangan dan surplus perdagangan. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, makin tegas keinginan untuk membalik nasib Indonesia yang hubungan perdagangannya timpang dengan negara-negara lain.

Masyarakat awam memiliki persepsi bahwa Indonesia lebih sering dijadikan pasar bagi produk-produk buatan negara lain. Ketimpangan ini mungkin dapat dimaklumi saat kita masih dalam proses membangun di tahun 1970-an. Kita banyak mengimpor produk-produk teknologi tinggi seperti automotif, elektronik, komputer, dan produk padat modal lain karena kekuatan produksi kita belum setara dengan negara-negara maju pengekspor produk-produk tersebut.

Namun kita tidak bisa maklum apabila ternyata produk-produk yang padat karya seperti tekstil, garmen, mainan anak-anak, dan produk-produk yang tidak membutuhkan keterampilan tinggi merajai pasar dalam negeri kita pada saat ini. Oleh sebab itu, kerja sama bilateral (antardua negara) dipandang kurang efektif dalam mendorong pembukaan pasar. Penyebabnya adalah faktor ketidakseimbangan power dan kemampuan negosiasi. Untuk itu belakangan digiatkan sejumlah kerja sama regional dan multilateral.

Logikanya, dengan penambahan mitra kerja sama, suasana bisa lebih cair, daya tawar bisa ditingkatkan dengan teknik mengajak sejumlah negara yang biasanya berseberangan (atau bahkan bersitegang) agar Indonesia bisa menjadi penengah atau mengayun negosiasi dengan keduanya. Misalnya penggiatan perdagangan intra-ASEAN (yakni di antara 10 negara anggota ASEAN) diperluas menjadi ASEAN Plus; tidak hanya ASEAN Plus Three (yakni plus Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok), tetapi juga ada ASEAN Plus Six (yakni 3 plus tadi ditambah Australia, India, Selandia Baru).

Antara Indonesia dan negara anggota ASEAN Plus Three maupun ASEAN Plus Six dibangun kawasan perdagangan bebas. Pada 2011, ASEAN Plus Six bahkan meluncurkan RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership - Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional) demi memuluskan pembentukan kawasan perdagangan bebas di Asia-Pasifik. RCEP ini semakin sejalan dengan kerangka penguatan kerja sama ekonomi Asia-Pasifik melalui APEC yang di sana sudah ”menunggu” Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa, Hong Kong, Taiwan, Meksiko, Peru, Papua Nugini, Rusia, Cile, dan Kanada.

Maklum, Kementerian Luar Negeri ingin mengambil momen menguatnya perekonomian Asia-Pasifik untuk mengatrol perekonomian Indonesia. Diidentifikasi pula bahwa penggiatan kerja sama perdagangan di Asia-Pasifik saja tidak cukup. Selain mengangkat keaktifan Indonesia di forum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), bahkan dua tahun lalu Ibu Marie Pangestu (waktu itu Menteri Perdagangan) didorong untuk maju menjadi direktur jenderal WTO, Indonesia memunculkan keaktifan di G-20 (forum pemerintah dan gubernur bank sentral bagi 20 entitas perekonomian terdepan di dunia), di G-77 (kelompok kerja sama pemerintah Selatan-Selatan di Perserikatan Bangsa-Bangsa), dan yang jarang terdengar tetapi sebenarnya diurus juga oleh Kementerian Luar Negeri adalah kerja sama D-8 (kelompok kerja sama pembangunan antar-8 negara berpenduduk muslim besar, yakni Bangladesh, Pakistan, Indonesia, Malaysia, Iran, Turki, Mesir, dan Nigeria).

Lalu apa yang bisa membedakan era baru diplomasi Indonesia jika saat ini saja sudah dikembangkan skema kerja sama yang demikian beragam? Penjelasannya antara lain terletak pada pengelolaan isu dan kerja sama yang ada. Contohnya kerja sama D-8. Kerja sama ini dikelola oleh Direktorat Jenderal Multilateral di Kementerian Luar Negeri dengan harapan bahwa segenap pihak terkait di Kementerian Luar Negeri dan kementerian/lembaga terkait dapat melakukan tindak lanjut dari inisiatif yang dikembangkan di direktorat jenderal tersebut dan kemudian Kementerian Luar Negeri merespons perkembangan yang ada melalui negosiasi lebih lanjut di pertemuan D-8.

Kenyataannya, kerja sama D-8 masih saja dalam status inkubasi. Belum konkret disebarluaskan peluangnya meskipun sudah dibentuk sejak tahun 1997, belum ada tindak lanjut dengan dampak signifikan. Ketika muncul wacana bahwa para menteri di kabinet baru wajib bisa marketing (yakni ”memasarkan” Indonesia), sebenarnya ada sejumlah instrumen pelaksanaan diplomasi ekonomi yang ampuh dimanfaatkan tanpa perlu para menteri terkesan murni ”berjualan” produk Indonesia.

Misalnya: Kementerian Luar Negeri ditugasi memberi analisis dan menyusun strategi mengenai isu-isu terkini di bidang kerja sama ekonomi dan hambatannya dalam rapat kabinet. Kementerian teknis menjadi mitra tukar pikiran supaya negosiasinya lebih mengena kebutuhan. Hal ini sudah punya dasar hukum di UU No 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri, tetapi kenyataannya Kementerian Luar Negeri justru makin sering tidak dilibatkan dalam sejumlah inisiatif yang punya implikasi diplomasi dalam bidang kerja sama ekonomi.

Apabila ide yang telah dituangkan dalam peraturan itu dilaksanakan dengan konsisten, pamor Indonesia sebagai negara yang punya strategi dan dikelola dengan terpadu oleh semua kementerian akan mengemuka. Selain itu, pemerintah hendaknya lebih konsekuen mengalokasikan dana dan sumber daya manusia untuk memperkuat diplomasi. Hal ini terutama terkait dengan rencana Joko Widodo dan Jusuf Kalla untuk memotong anggaran operasional kementerian.

Hendaknya efisiensi yang dilakukanmempertimbangkan aspekaspek politik, khususnya di Kementerian Luar Negeri. Dana operasional untuk tahapan diplomasi harus diperbaiki jumlahnya; tidak bisa lagi diplomasi dilakukan hanya dengan pertemuan dua jam di tingkat direktur jenderal lalu tak lama kemudian dua menteri harus menandatangani nota kesepakatan.

Kinerja diplomasi Indonesia akan inferior bila tahapan pendekatan, pembangunan rasa percaya, serta strategi persuasi tidak dilakukan secara bertahap dengan kontinu. Ada anekdot bahwa di sejumlah negara adidaya justru kita harus waspada bila didekati oleh staf yunior dari kedutaan mereka, karena bisa jadi mereka adalah intelijen yang baik yang bisa mendeteksi kebutuhan diplomasi lanjutan oleh pejabat yang lebih senior.

Artinya, Indonesia memang tak bisa lagi memakai cara-cara lama dalam berdiplomasi. Kita harus lebih strategis dan taktis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar