Korupsi
Kekuasaan
R William Liddle ; Profesor Emeritus Ohio State
University, Columbus, Ohio, AS
|
KOMPAS,
23 Januari 2014
MASYARAKAT Amerika sedang
dihebohkan oleh ulah Chris Christie, Gubernur Negara Bagian New Jersey serta
pentolan Partai Republik untuk pemilihan presiden AS 2016.
Menjelang pemilihan kembali
gubernur tahun lalu, deputi kepala stafnya menyuruh penyempitan akses kepada
George Washington Bridge, jembatan yang menghubungkan New Jersey dengan New
York City. Saya tentu teringat pada kasus Indonesia yang mirip: pemblokiran
Bandara Turelelo Soa, Bajawa, Nusa Tenggara Timur, oleh Bupati Ngada Marianus
Sae.
Di New Jersey alasan penutupan
yang ditengarai adalah penghukuman Wali Kota Fort Lee, New Jersey, tokoh
lokal Partai Demokrat yang tidak bersedia mendukung pemilihan kembali
Christie, yang memang dari partai berlawanan. Selama empat hari di
pertengahan bulan Agustus, jalan-jalan raya kota Fort Lee yang berdekatan dengan
jembatan itu macet total. Kehidupan sehari-hari ratusan ribu orang terganggu,
termasuk siswa yang terlambat masuk sekolah serta orang sakit yang tak
terbawa ke rumah sakit.
Mengamati perkembangan berita ini,
saya terkesan oleh tiga hal. Pertama, kerelaan para petugas Port Authority of New York and New Jersey,
otoritas yang mengatur jembatan itu, untuk melaksanakan perintah atasannya.
Diwawancarai CNN, pejabat yang langsung bertanggung jawab mengaku, seraya
menundukkan kepalanya, bahwa ia takut dipecat kalau menanyakan alasan
penutupannya. Ketika menonton, saya teringat pada stereotip kelakuan orang
Jawa dalam situasi seperti itu.
Kedua, dana penelitian seorang
dosen di Rutgers, universitas Negara Bagian New Jersey, dicabut setelah sang
dosen, yang kebetulan bertugas sebagai anggota sebuah komisi pemerintah,
tidak menuruti kehendak Gubernur Christie di komisi itu. Meski tak
berhubungan langsung dengan penutupan jembatan, kejadian ini betul-betul
mengagetkan. Seharusnya para dosen, termasuk di universitas negara bagian,
terlindungi oleh prinsip kebebasan akademik dari perbuatan sewenang-wenang.
Tampaknya sebagian dari masyarakat saya belum mampu menegakkan prinsip sangat
mendasar itu.
Ketiga, peran utama yang dimainkan
pers lokal. Wartawan lokal dari awal mencurigai pernyataan resmi dari pejabat
otoritas dan kantor gubernur, tetapi pertanyaan mereka ditampik terus.
Termasuk oleh Christie sendiri, yang terkenal angkuh dan sering menggertak
lawan-lawannya. Akhirnya kegigihan pers diganjar oleh keputusan DPRD, yang
dikuasai Partai Demokrat, untuk membuka investigasi mereka sendiri.
Untungnya, DPRD New Jersey memiliki kekuatan subpoena, hak untuk
memanggil paksa para pejabat.
Terjadi di mana-mana
Pelajaran apa yang bisa kita ambil
dari cerita ini? Sejak awal masa desentralisasi kekuasaan ke kabupaten dan
kota, sepuluh tahun lalu, banyak pengamat dan pejabat mengeluh bahwa
masyarakat Indonesia belum siap berdemokrasi di tingkat itu. Peradaban
Indonesia yang masih rendah hanya mampu menciptakan raja-raja kecil, bukan
pemimpin demokratis. Menurut pandangan ini, Bupati Ngada hanyalah kasus
mutakhir. Lagi pula, demokrasi sebagai sistem pemerintahan normatif menuntut
standar kelakuan tinggi, terlalu tinggi buat Indonesia masa kini.
Pendapat saya sendiri bertolak
belakang dengan pandangan kritis itu. Dua peristiwa ini, dan banyak lagi di
Amerika dan Indonesia, mengisyaratkan bahwa korupsi kekuasaan adalah hal yang
terjadi di mana-mana, bukan hanya di negara demokratis yang konon kurang
maju. Arogansi seorang raja kecil di Indonesia ternyata tidak melebihi
keangkuhan seorang gubernur di Amerika.
Pengobatan korupsi kekuasaan juga
sama. Dalam kerangka demokratis, setidaknya tiga unsur mutlak diperlukan
untuk menguranginya sejauh mungkin. Unsur-unsur itu adalah pers
bebas, separation of powers,
pemisahan kekuasaan antara cabang-cabang eksekutif dan legislatif,
serta rule of law, sistem
hukum yang kuat dan mandiri. Lagi pula, sistem pemerintahan demokrasi
perlu dipahami bukan selaku daftar nilai-nilai luhur, melainkan seperangkat
lembaga yang memaksakan pertanggungjawaban para pejabat.
Baik di Ngada maupun New Jersey,
semua unsur demokratis itu kelihatan sekali. Setelah kejadiannya terungkap
oleh pers bebas, masyarakat yang dirugikan menuntut tanpa ketakutan, dan
cabang-cabang pemerintahan yang bertanggung jawab, termasuk perangkat hukum,
turun tangan. Hal itu tentu tidak berarti bahwa dua masalah ini sudah
teratasi, atau bahwa korupsi kekuasaan bisa dihapuskan di dua negeri kita.
Thomas Jefferson benar ketika beliau berkata, ”Eternal vigilance is the price of liberty (ongkos kemerdekaan
adalah pengawasan sepanjang masa).” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar