|
SINAR
HARAPAN, 06 Juli 2013
Setahun
setelah terpilih menjadi presiden, Muhammad Mursi resmi digulingkan dari
kursinya oleh militer Mesir, Rabu (3/7) malam waktu setempat. Tidak berhenti
sampai di situ, konstitusi Mesir yang ditulis berdasarkan aturan main Mursi dan
Ikhwanul Muslimin (IM) pun dibekukan oleh militer dan parlemen dibubarkan.
Ketua
Mahkamah Konstitusi Mesir, Adly Mansour, kemudian ditunjuk sebagai presiden
sementara sampai pemilihan presiden berikutnya berlangsung. Lengsernya Mursi
diumumkan Panglima Militer Jenderal Abdul Fatah Al-Asisi.
Ketika
mengumumkan keputusan militer ini, Al-Asisi didampingi ulama Al-Azhar, pemimpin
Gereja Kristen Koptik, pemimpin oposisi Muhammad el-Baradei, pemimpin Partai
Islam Nour dan tokoh gerakan Tamarod yang mengorganisasi unjuk rasa di Lapangan
Tahrir.
Setelah
lengser, Mursi pun langsung dikenakan tahanan rumah oleh pihak militer—ibarat
pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Rakyat Mesir kemudian menyambutnya
dengan suka cita. Jutaan pengunjuk rasa anti-Mursi di seluruh negeri bergembira
dalam perayaan.
Kembang
api meledak di atas kerumunan di Lapangan Tahrir, Kairo, di mana pria dan
wanita Mesir menari-nari dan berteriak, "Allahu Akbar" dan
"Hidup Mesir." (Associated Press, 3/7/2013). Menariknya, situasi
serupa pernah terjadi dua setengah tahun lalu, di mana gelombang unjuk rasa di
tempat yang sama menumbangkan diktator militer Husni Mubarak.
Yang
menjadi pertanyaan besar adalah apa penyebab Mursi dilengserkan; dan akan
menjadi seperti apakah Mesir pasca-Mursi--apakah militer akan kembali berkuasa
setelah Mursi berhasil dikudeta, ataukah militer tetap akan menghormati
mekanisme demokrasi yang menghendaki sipil untuk berkuasa melalui pemilu
langsung seperti ketika Mursi terpilih.
Penyebab
Tak
diragukan lagi, ketegangan politik antara IM (yang dipimpin mantan Presiden
Mursi) di satu sisi dan oposisi serta militer Mesir di sisi yang lain, dimulai
setelah Mursi terpilih sebagai presiden dan setelah IM memenangi mayoritas
kursi di parlemen. Selama satu tahun Mesir dikuasai, Mursi dan IM cenderung
berjalan sendiri dan enggan membagi kekuasaannya kepada oposisi dan militer
dalam membangun Mesir.
Oleh
sebab itu, meski Mursi berhasil meraih 51,7 persen dukungan suara (mayoritas)
dalam pemilihan presiden setahun lalu, ia terlihat kesulitan dalam menciptakan
stabilitas politik dan ekonomi di Mesir. Akibatnya warga Mesir mulai menunjukkan
ketidaksukaan pada Mursi melalui unjuk rasa besar-besaran sejak 30 Juni lalu
yang menuntut dirinya mundur dari jabatannya.
Terkait
dengan hal itu, terdapat empat faktor penting yang memicu warga Mesir melakukan
unjuk rasa (Tempo.co, 4 Juli 2013). Pertama karena terlalu dominannya wajah IM
dalam struktur kekuasaan pemerintah, seperti penunjukan tujuh gubernur baru
yang semuanya berlatar belakang IM.
Kedua,
selama kepemimpinan Mursi, kondisi ekonomi Mesir terus memburuk. Investasi
asing tidak kunjung datang, sementara sektor pariwisata yang merupakan salah
satu tulang punggung ekonomi Mesir tak kunjung pulih. Harga bahan makanan,
bahan bakar, dan komoditas lain terus meroket. Listrik sering kali mati karena
ketiadaan bahan bakar.
Ketiga,
terkait dengan keputusan Mursi menerbitkan dekret presiden pada 22 November
2012 lalu. Dekret tersebut dinilai banyak pihak sebagai sebuah blunder politik
Mursi. Dalam dekret itu, Mursi memecat jaksa agung, membuat semua keputusan
presiden kebal dari gugatan hukum (judicial review) dan menegaskan keabsahan
parlemen Mesir.
Keabsahan
parlemen sebelumnya sempat digugat oleh beberapa pihak. Sebulan setelah dekret
itu diterbitkan, pemerintahan Mursi menggelar referendum untuk mengesahkan
konstitusi baru Mesir. Tindakan ini pun dikritik karena dinilai sepihak dan
terburu-buru. Konstitusi itu dinilai hanya mencerminkan kepentingan kelompok
Mursi dan tidak dibuat dengan mempertimbangkan elemen politik lain di Mesir.
Terakhir,
kepemimpinan Mursi sering diwarnai dengan banyak aksi pelanggaran hak asasi
manusia (HAM), demokrasi dan toleransi beragama. Mursi dinilai gagal melakukan
reformasi sektor keamanan terutama di kepolisian, paramiliter dan dinas
intelijen Mesir.
Ketika
polisi Mesir terlibat pembantaian di Port Said, pada Januari 2013 dan 30 orang
meninggal, Mursi terlihat tidak tegas untuk menindak para pelakunya. Serangan
terhadap gereja Kristen Koptik dan kaum minoritas pun meningkat.
Selain
itu, parlemen Mesir yang didominasi IM dinilai berusaha terus menerbitkan
undang-undang baru yang membatasi masyarakat sipil. Sebuah Rancangan UU tentang
keberadaan NGO sedang dibahas dan disebut-sebut bakal mengontrol organisasi
masyarakat sipil.
Pada
intinya keempat faktor di atas yang memancing gerakan oposisi menggalang petisi
rakyat untuk menggulingkan Presiden Mursi. Petisi itu yang disebut dengan nama
Tamarod (pemberontakan). Melalui petisi inilah, juru bicara Tamarod, Mahmud
Badr, menyerukan unjuk rasa besar-besaran di luar Istana Presiden pada 30 Juni
lalu, yang menuntut Mursi mundur dari jabatannya.
Skenario
Politik
Hasil
unjuk rasa di Mesir sangat jelas, Mursi berhasil dilengserkan. Selain dibantu
pihak militer Mesir tentunya. Namun, lengsernya Mursi ini juga berimbas pada
tersingkirnya Partai Kebebasan dan Keadilan (PKK), partai bentukan IM yang
menguasai parlemen, dari panggung politik Mesir.
Terkait
dengan lengsernya Mursi dan tersingkirnya PKK, terdapat dua skenario politik
yang mungkin akan terjadi di Mesir. Pertama, keputusan untuk menyingkirkan PKK
bisa jadi memicu resistensi dan reaksi politik dari IM, yang kemudian berdampak
pada instabilitas ekonomi dan politik Mesir di masa yang akan datang.
Kedua,
lengsernya Mursi yang terpilih secara demokratis juga bisa memicu instabilitas
di Mesir karena hal itu bisa dijadikan referensi bagi kekuatan politik tertentu
di Mesir untuk menggulingkan presiden terpilih secara demokratis lainnya ketika
popularitasnya menurun.
Oleh
karena itu, agar skenario politik buram tadi tidak terjadi, rakyat Mesir
membutuhkan pemerintahan yang sah, stabil, dan kredibel, serta memiliki
manajemen kebijakan dan reformasi ekonomi politik yang efektif.
Namun,
itu semua sangat bergantung pada konsensus antara militer, ulama Al-Azhar,
pemimpin Gereja Kristen Koptik, pemimpin oposisi Muhammad elBaradei, pemimpin
Partai Islam Nour dan tokoh gerakan Tamarod dalam membentuk pemerintahan Mesir
berikutnya. Semoga hasilnya sesuai dengan keinginan rakyat Mesir. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar