|
JAWA
POS, 01 Juli 2013
MURID SMA atau madrasah aliyah yang lulus
ujian nasional (unas) dengan nilai setiap pelajaran 100 tidak terjamin secara
akademis bisa masuk ke perguruan tinggi negeri (PTN). Sebab, tidak ada kaitan
langsung unas dengan sistem rekrutmen masuk PTN. Inilah salah satu keblingeran
dalam sistem pendidikan kita.
Sedikitnya,
ada empat jalur masuk PTN. Pertama, jalur undangan. Yang dijadikan referensi
agar diterima melalui jalur ini adalah nilai rapor mulai semester pertama kelas
IX. Dengan demikian, jika baru mencapai puncak performa pada saat unas sehingga
memperoleh nilai sempurna, tetapi karena nilai rapor dianggap tidak memenuhi
syarat, mereka tidak bisa mengetuk pintu jalur undangan.
Jalur undangan juga mempertimbangkan sekolah. Betapapun murid hebat, baik
nilai rapor maupun nilai unasnya, tetapi jika sekolahnya berstatus di-blacklist PTN, hampir mustahil bisa menerobos
jalur undangan. Blacklist itu bisa disebabkan kesalahan masa
lalu. Sekalipun sudah berbenah, tetapi seperti sekali lancung ke ujian, seumur
hidup orang tak percaya.
Kondisi ini semakin rumit jika ternyata jalur undangan pun menggunakan
pendekatan "wani
pira". Lulus unas dengan
nilai sempurna plus rapor bagus akhirnya juga tidak menjadi jaminan lolos jalur
undangan karena harus kalah dalam adu "wani
pira".
Kedua, jalur seleksi bersama masuk perguruan tinggi (SBM PTN). Kriteria
yang dipergunakan adalah bagaimana hasil tes SBM PTN ditambah tes khusus untuk
program studi tertentu seperti olahraga, seni budaya, desain program. Jalur ini
menafikan hasil unas maupun rapor. Jalur ini dinilai relatif terbaik di antara
jalur lain karena lebih objektif. Namun, di jalur ini masih ada potensi
manipulasi melalui percaloan, bocornya soal, sampai jawaban melalui SMS atau
BBM. Herannya, sudah tahu bahwa percaloan itu banyak melalui SMS dan BBM,
mengapa peserta tes dibiarkan membawa HP.
Di jalur ini, anak pintar, bahkan peserta program akselerasi sekalipun,
belum tentu lolos karena kuotanya hanya sekitar 30 persen. Dengan demikian,
mereka bukan tidak lulus karena nilai tesnya kurang, tetapi terjegal oleh kuota.
Ketiga, jalur mandiri. Jangan dipersepsi mandiri ini untuk mendapatkan
calon mahasiswa yang hebat, bisa belajar secara mandiri. Tetapi, ini lebih
dalam konteks uang. Artinya, jatah bagi yang mampu membayar dengan ditetapkan
batas bawah. Adapun batas atas tak terbatas. Ini benar-benar jalur untuk
mendapatkan duit. Tidak peduli pintar atau bodoh, yang penting bisa membayar
setinggi-tingginya.
Mekanisme pemilihannya jelas, dibuat ranking berdasar jumlah bayaran, kemudian
diambil dari nomor satu sampai nomor kuota jalur. Jika kuotanya 60 calon
mahasiswa, berarti diambil nomor 1-60. Dengan demikian, meskipun nilai unas dan
rapor sempurna, jika tidak kuat membayar sesuai level kuota, harap lupakan
jalur yang mengambil sekitar 30-40 persen mahasiswa ini.
Keempat, jalur kemitraan. Jalur ini merupakan kesepakatan PTN dengan
memberikan kuota suatu institusi. Jalur ini berawal dari kepercayaan institusi
tertentu kepada suatu PTN untuk mendidik calon tenaga kerja yang dibutuhkan
institusi tersebut. Institusi tersebut menyeleksi siswa potensial. Namun, pada
perkembangannya, jalur ini bisa disalahgunakan untuk memfasilitasi keluarga
pejabat institusi tersebut agar bisa masuk PTN tanpa bersusah payah ikut SBM
PTN. Di sini pun ada nuansa "wani
pira".
Implikasi dari sistem banyak jalur ini PTN bisa mendapatkan dana segar
langsung. Ransum dari pemerintah selama ini dinilai kurang. Karena itu, secara
retorika dana ini bisa untuk "meningkatkan kualitas dan pelayanan
PTN".
Implikasi lain yang tidak bisa dimungkiri adalah tidak terjaminnya
kualitas enrolment (masukan calon mahasiswa). Menjadi
mahasiswa karena "wani
mbayar". Karena sejak awal "jer
basuki wani pira", pada akhirnya dalam mengikuti proses perkualiahan
pun lebih mengandalkan "wani
pira". Lulus dengan
uang.
Praktik demikian dulu lebih dikenal terjadi di perguruan tinggi swasta
(PTS). Di "PTS komersial", mahasiswa boleh jarang kuliah, tetapi bisa
meraih gelar akademik mulai sarjana sampai doktor. Akhirnya masyarakat sendiri
yang mengevaluasi. PTS demikian sepi peminat, lulusannya tidak laku di pasar
tenaga kerja. Jembret.
Hal demikian bisa saja terjadi pada PTN. Memang sekarang PTN masih
menjadi pilihan utama masyarakat. PTN masih menjadi simbol status. Namun, jika
kualitas lulusannya rendah karena dimulai dari kualitas enrolment yang rendah, lambat laun kualitasnya
akan terdegradasi. Mereka akan kehilangan kredibilitas sebagai lembaga moral
dan profesional.
Ke depan perlu mempertimbangkan penggunaan satu sistem masuk PTN, yaitu
kombinasi SBM PTN dengan rapor. Artinya, menggunakan nilai hasil SBM PTN dan
hasil rapor dua semester terakhir. Komposisinya bisa 50-50, 60-40, 70-30. Untuk
pelaksanaan SBM PTN menggunakan 30 soal berbeda untuk mempersempit peluang
percaloan. Cuma masalahnya, berani atau tidak pelaku sistem yang ada sekarang
kehilangan ceperan. Gusti Allah ora dhahar ora sare. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar