|
KOMPAS,
06 Juli 2013
Gegap gempitanya dunia maya hari
ini, diikuti dengan mudahnya akses internet bagi siapa pun, sepertinya tidak
melulu membawa kemaslahatan.
Secara simultan, sama seperti saat
hadirnya televisi pertama kali, budaya baru ini juga membawa dampak negatif.
Kita harus mulai mencermati penyakit sosial atas munculnya interaksi baru di
dunia maya.
Setidaknya ada enam penyakit sosial
tersebut. Pertama, berkurangnya kualitas dan kuantitas membaca (apalagi
menulis). Kita hampir tiap hari menyaksikan orang—termasuk kita sendiri—sibuk
mematut layar komputer atau laptop, menatap layar telepon genggam, dan asyik bercengkerama
dengan peranti canggih miliknya. Di jalan, di kendaraan, di tempat kerja, atau
di sekolah pemandangan ini sudah lazim.
Semua orang bisa dikatakan memiliki
akun e-mail berikut jejaring sosial favoritnya. Apa sebenarnya yang
sedang mereka lakukan? Membaca? Menulis? Berbeda dengan televisi, dunia maya
memang memberikan kesempatan membaca dan menulis. Namun, apakah itu sungguh-
sungguh membaca dan menulis?
Berdebat
tanpa manfaat
Kita kadang merasa sudah banyak
membaca, juga menulis, tapi sejatinya itu sekadar dunia percakapan yang
mengambil bentuk tulisan. Membaca ”celoteh”, membaca ”ucapan”. Menulis
”celoteh”, menulis ”ucapan”. Memang banyak yang membaca laman berita media
massa, loncat ke sana-kemari memeriksa judul yang menarik. Namun, dengan gaya
penulisan dunia maya yang serba ringkas, kebiasaan pengguna yang membaca tidak
tuntas. Umumnya kualitas dan kuantitas membaca berkurang drastis, apalagi
menulis.
Penyakit sosial kedua, suburnya
kebiasaan berdebat tiada manfaat. Dunia maya tiba-tiba memberikan derajat yang
sama kepada penggunanya. Egaliter menemukan definisi terbaiknya. Tidak peduli
presiden ataupun orang biasa, tak peduli profesor ataupun tidak sekolah, semua
tiba-tiba jadi setara. Kolom komentar di jejaring sosial, laman berita media massa,
dan forum memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk berkomentar. Situasi ini
kian rumit mengingat pemilik laman, pengelola sebuah akun, menyadari makin
”menarik” sebuah topik akan mengundang banyak pengunjung.
Kita harus menonton perdebatan
tiada manfaat hampir di semua sudut dunia maya. Komentar saling menjelekkan,
memaki, dan menghina ringan sekali ditulis pengguna dunia maya. Tidak ada topik
yang kebal atas situasi ini. Kita tiba-tiba merasa penting untuk berpendapat,
terlepas dari kualitas pendapat itu.
Hal-hal yang sudah tahu sama tahu
tetap diperdebatkan. Sesuatu yang sudah jelas, baik, tetap diperdebatkan.
Apalagi yang memang kontroversial dan berpotensi beda pendapat. Kita tidak lagi
merayakan beda pendapat dengan menghormati satu sama lain, melainkan merayakan
perbedaan dengan meneriakkan nyaring pendapatnya.
Semakin maraknya mental gratisan
adalah penyakit sosial ketiga. Di dunia maya semua seolah gratis. Pengguna
internet mengunduh film-film laris, yang bahkan belum beredar di bioskop lokal.
Orang berbagi file lagu yang tentu
saja full gratis, e-book ilegal ada di mana-mana, hingga
mencomot sana-sini hasil jerih payah pemikiran dan proses kreatif orang lain.
Jika kita terbiasa dengan gaya bahasa forum berbagi file, maka
istilah leechers atau ”lintah” lazim digunakan untuk merujuk ke
pengguna yang menyedot puluhan, ratusan, bahkan ribuan file ”gratis”.
Mental gratisan ini merusak banyak sistem, menerabas hukum. Pada tingkat lebih
rendah merusak masyarakat itu sendiri. Jika kita hanya memikirkan mendapat
sesuatu secara gratis, proses memberi, proses berkarya, perlahan akan padam
dengan sendirinya.
Penyakit sosial keempat adalah
rendahnya sopan santun. Penggunaan akun dunia maya seperti jadi tameng, benteng
pelindung, yang membuat orang nyaman melakukan apa pun. Jangankan saat
menggunakan identitas palsu, dalam situasi menggunakan identitas asli pun
banyak pengguna internet bisa melakukan apa pun (karena) tanpa perlu khawatir
bertatap muka langsung seperti di dunia nyata.
Pepatah lempar batu sembunyi tangan
menemukan definisi terbaiknya dalam dunia maya. Berkurangnya sopan santun ini
tecermin mulai dari komunikasi lewat e-mail, perpesanan, hingga
interaksi bebas di jejaring sosial, forum, dan laman lainnya. Kita tidak lagi
perlu merasa memiliki sopan santun saat bertamu ke beranda milik orang lain,
merasa semua tempat adalah wilayah publik, bebas mau melakukan apa pun.
Penyakit sosial kelima adalah mulai
kaburnya interaksi dunia nyata. Bukankah sudah lazim terlihat saat beberapa
teman dekat berkumpul di restoran, mereka memang dekat secara fisik, tapi satu
sama lain justru sibuk memeriksa peranti canggih masing- masing. Saat satu
keluarga berkumpul di ruang keluarga, secara fisik dekat satu sama lain, tetapi
masing-masing asyik berselancar di dunia maya, lebih dekat dengan orang-orang
yang tidak dikenal dan jauh. Interaksi dunia nyata perlahan menjadi kabur,
digantikan oleh interaksi berdasarkan internet.
Penyakit sosial keenam adalah
berkurangnya waktu produktif. Jika kita asumsikan jumlah pengguna aktif
internet di Indonesia 40 juta orang, rata-rata mereka mengunjungi jejaring
sosial dan sejenisnya 1 jam setiap hari, maka kita punya 40 juta jam dalam
sehari untuk melakukan hal lain secara produktif. Jika membangun Candi
Borobudur, katakanlah, butuh 20 tahun, 2.000 pekerja yang bekerja 8 jam setiap
hari, maka total jam kerja untuk menyelesaikan satu Candi Borobudur adalah 119
juta jam kerja. Bangsa ini bisa menyelesaikan satu candi setiap tiga hari.
Ini hanya ilustrasi, boleh jadi
berlebihan. Toh, ketika televisi hadir di tengah masyarakat, situasinya juga
sama—bahkan lebih masif—tapi setidaknya dapat menjelaskan permasalahannya.
Berbeda dengan televisi, pengguna internet kebanyakan adalah orang-orang
berpendidikan, pekerja, dan di usia yang sangat produktif.
Kampanye internet sehat
Kita tidak bisa mencegah gelombang
internet, kita sudah berada di dalamnya 10 tahun terakhir. Dengan
harga gagdet yang semakin murah, tersedianya pilihan akses murah
meriah, penetrasi budaya ini akan semakin dalam ke seluruh masyarakat.
Keenam penyakit sosial ini menjadi
realitas yang harus disadari. Dan, ketika proses mendidik pengguna internet
berjalan lambat, kesadaran berinternet sehat masih rendah, tanggung jawab besar
jatuh kepada pemilik laman raksasa dengan pengunjung ribuan, bahkan jutaan.
Laman berita milik media massa,
laman forum-forum, hingga akun jejaring sosial yang diikuti banyak orang adalah
ujung tombak mengurangi dampak buruk dari internet, terlebih pengaruhnya kepada
pengguna remaja. Dalam contoh yang paling bersahaja sudah seharusnya kampanye
internet sehat diletakkan di halaman muka laman tersebut, entah
berupa link, banner, atau gambar dan sejenisnya. Seharusnya langkah
itu mudah sekali dilakukan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar