|
SUARA
KARYA, 08 Juli 2013
Kenaikan harga bahan bakar minyak
(BBM) baru-baru ini mendapat protes dari mahasiswa dan berbagai kelompok
masyarakat. Namun, tarik ulur yang sudah lama dan "menyesakkan dada"
mengenai kebijakan kenaikan BBM membawa pemerintah pada keputusan harga BBM
naik per 22 Juni 2013. Tidak lama kemudian segala protes berakhir. Semua orang
membeli harga premium Rp 6.500 per liter dan solar Rp 5.500 per liter.
Pemerintah pun
"membujuk" rakyat miskin melalui pemberian bantuan lansung sementara
masyarakat (BLSM) sebagai kompensasi. Meskipun hanya untuk empat bulan, rakyat
sudah terninabobokan dan harga BBM naik atas alasan untuk menambal subsidi BBM
karena APBN dikatakan jebol terus menerus akibat subsidi BBM. Padahal orang
berbisik, harga BBM dinaikkan karena belum mencapai harga pasar, yang tidak
lain adalah harga internasional. Harga BBM harus dinaikkan hingga akhirnya
mencapai harga internasional dan orang asing bisa berdagang BBM di negeri ini
seperti sudah dimulai oleh sejumlah perusahaan minyak transnasional.
Akhirnya protes hilang dan
kehidupan berjalan seperti sediakala. Meskipun berbagai dampak ikutannya lebih
dahsyat yakni semua harga kebutuhan dan tarif melambung, tetapi karena
"sudah kebal" disebabkan harga kebutuhan pokok sudah naik
berkali-kali naik dan melonjak-lonjak, sehingga seperti tidak dirasakan lagi.
Hanya daya beli saja yang merosot. Ingat harga cabe, bawang merah, bawang
putih, bahkan garam dan jengkol naik tanpa bisa ditahan hanya karena pasar
adalah "raja" penentu dan orang menjerit atas kenaikan harga itu.
Pemerintah pun tidak bisa berbuat apa-apa mengendalikannya apalagi mengontrol harga
karena memang begitulah dalam ekonomi pasar, harga dan segala bentuk tarif
ditentukan oleh hukum supplay and demand.
Itu situasi dan keadaan
perekonomian bangsa saat ini. Jangan berharap lagi harga sembakoakan bisa
stabil seperti dulu-dulu lagi. Sekali lagi, tidak akan pernah ada stabilitas
harga dan rakyat terutama, dari kalangan miskin akan mudah tertekan daya
belinya dan jatuh menjadi lebih miskin lagi karena tidak mampu lagi memenuhi
kebutuhannya meskipun dibantu BLSM. Mereka seperti buih di laut diombangambingkan
arus dan gelombang.
Dalam situasi dan kondisi seperti
itu, hanya segelintir orang, yang menguasi sumber-sumber ekonomi penting, akan
menguasai sumber-sumber ekonomi. Sebut saja segala macam bentuk tambang,
perkebunan, tambak-tambak besar, waralaba termasuk mini market seperti
Indomart, Alfamart dan sejenisnya adalah unit usaha para konglomerat yang
menguasai perputan uang dari pusat hingga ke daerah di mana swalayan mini itu
berada. Akibatnya uang tidak lagi beredar di masyarakat atau secara berputar
horizontal melainkan ditarik ke atas masuk ke bank para konglomerat.
Lalu, siapa yang mengendalikan
peredaran uang, dan harga barang atau berbagai kebutuhan pokok yang dulu
disebut sebagai sembilan bahan pokok (sembako) dan dikendalikan oleh Badan
Urusan Logistik (Bulog)? Meski barang dan jasa dikendalikan pasar tetapi yang
punya uang adalah para konglomerat sehingga barang di pasar dikendalikannya.
Peran Bulog tidak lagi sebagai
pengendali atau stabilitas harga sembako, karena perannya sudah "dicabut"
oleh "pasar." Kekuatan pasar itulah yang ada pada supplay and demand
tadi. Siapa yang bisa menahan permintaan kalau banyak orang suka? Sehingga,
suatu saat kebutuhan meningkat dengan sendirinya harga akan menggila tanpa
tertahan hingga orang tidak sanggup membeli. Sebaliknya harga akan turun bila
tidak ada permintaan atau permintaan sedikit.
Dalam situasi itu ikut bermain
para spekulan yang memainkan harga karena punya modal besar dan bisa
mengendalikan harga berbagai produk dan tarif. Mereka itu, ikut memperburuk
situasi karena harga bisa menggila tanpa kendali seperti daging harganya naik
dari Rp 30 ribu per kilogram (kg) menjadi Rp 100 ribu per kg. Begitu pula harga
bawang putih, merah yang naik tanpa kendali, tidak lepas dari adanya spekulasi,
pihak-pihak yang mempunyai kesempatan menyimpan komoditas tersebut.
Ekonomi pasar menurut alur
liberalisme dan neoliberalisme seperti dicetuskan oleh Adam Smith semula
berkembang Amerika Serikat dan negara-negara barat umumnya. Namun, mereka baru
saja dilanda krisis ekonomi sebab spekulasi yang begitu tinggi seperti kasus
jual beli perumahan di AS menyebabkan kredit macet merebak di perbankan negeri
itu berdampak pada perekonomian mereka. Singkatnya, di negeri asalnya
liberalisme atau neoliberlisme terjadi krisis ekonomi.
Menarik sekali menjelang
peringatan hari Koperasi ke-66 ini, Indonesia begitu "gagah berani"
menyerahkan ekonomi bangsa pada ekonomi pasar. Tidak hanya dibidang ekonomi,
namun berbagai sektor kehidupan lainnya tunduk pada ekonomi pasar, liberalisme
atau neoliberlisme (neolib). Ujungnya adalah pemerintah bersama Dewan
Perwakilan Rakyat melakukan perubahan (amandemen) konstitusi hingga empat kali
dan hasilnya peraturan atau perundang-undangan menjadi lebih liberal, atau pro
pasar.
Lalu, apa yang bisa dibanggakan
dalam kehidupan bangsa karena perekonomian sudah dikuasai perusahaan
transnasional yang berkolaborasi dengan perusahaan nasional yang menghisap
segala kekayaan di bumi, tanah dan air di bumi pertiwi ini, dan menyisakan
dampak lingkungan, kemiskinan serta kesenjangan sosial ekonomi dan sebagainya?
Padahal, di sisi lain sebagaimana
diamanatkan konstitusi (UUD 1945), Pasal 33, ekonomi disusun sebagai usaha
bersama berdasarkan kekeluargaan. Bangun ekonomi yang dimaksud adalah koperasi,
yaitu ekonomi yang dibangun secara bersama secara kekeluargaan menurut adat
atau budaya bangsa yang penuh kebersamaan dengan jiwa gotong royong dan
semangat musyawarah untuk mufakat.
Dalam ekonomi kekeluarga, tidak
ada orang yang bisa jatuh miskin melarat karena semua orang bahu membahu dalam
berusaha dan memperoleh pendapatan untuk dinikmati bersama. Hasil usaha adalah
untuk memperkuat rasa kebersamaan, tepo saliro, bukan untuk kekuatan individu
yang kemudian menguasai negara melalui kepemimpinan yang diperoleh melalui
pemilihan umum demokratis secara kuantitatif yang pemilihnya diimbali
uang.Bukan demokratis musyawarah untuk kebersamaan.
Demokrasi yang bersumber dari
kekuatan ekonomi inilah yang sekarang memberi wajah Indonesia, beringas, keras,
sadis, dan segala macam bentuk penguasaan termasuk tentu menguasai wanita
melalui uang yang dimiliki. Di sini berbiak nepotisme, kolusi dan korupsi. Rasa
malu menjadi hilang karena yang bicara adalah uang untuk kekuasaan.
Saatnya, pada hari koperasi ini,
para pemimpin bangsa merenung, bagaimana nasib bangsa dalam tatanan ekonomi
liberal karena ekonomi koperasi makin tersingkirkan! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar