Jumat, 03 Mei 2013

Psikologi Harga BBM


Psikologi Harga BBM
Jony Haryanto ;  Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga
SUARA MERDEKA, 02 Mei 2013


Pemerintah mempertimbangkan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi pada kisaran di bawah Rp. 6.500/ liter. Kebijakan itu diambil setelah kuota BBM bersubsidi terancam jebol mengingat konsumsi BBM bersubsidi di Jateng/ DIY saja pada Januari-Maret 2013 mencapai 877.265 kiloliter, melebihi kuota 104,4%, sementara kuota pada triwulan pertama hanya 840.659 kiloliter (SM, 26/4/13).

Meskipun kebijakan itu kemungkinan besar diterapkan, waktu pelaksanaannya masih simpang-siur. Akibatnya, masyarakat resah dan muncul spekulasi di pasaran. Sebagai contoh, hingga Sabtu (27/4) Polda Sulawesi Selatan dan Barat menyita 5.000 liter solar ilegal (Kompas, 28/4/13).

Keberanian pemerintah menaikkan harga BBM perlu diapresiasi. Sudah saatnya subsidi untuk BBM dikurangi sehingga penggunaannya dapat dialihkan untuk pendidikan, kesehatan dan pembangunan infrastruktur. Pelaku bisnis juga setuju harga BBM dinaikkan sepanjang dana yang ada digunakan untuk pembangunan infrastruktur, termasuk akademisi juga setuju supaya APBN tidak jebol hanya untuk subsidi BBM.

Demikian juga anggota masyarakat yang mengeluh harus berjam-jam antre solar dan volume pembelian  dibatasi sehingga roda perekonomian memlambat. Sudah saatnya harga BBM naik supaya kita menjadi bangsa yang lebih maju dan energi kita tak habis hanya untuk mengurusi masalah BBM. Seharusnya, sudah dari tahun lalu harga BBM dinaikkan. Dari tahun ke tahun defisit perdagangan migas terus terjadi, bahkan tahun lalu mencapai 5,6 miliar dolar AS (SM, 30/4/13).

Kebijakan kenaikan harga BBM ini tentu akan menimbulkan pro dan kontra. Bahwa ada dampak inflasi merupakan sesuatu yang wajar dan hanya jangka pendek. Bukankah dulu kita pernah menerapkan kebijakan BBM seharga Rp 6.000 dan sifatnya juga hanya jangka pendek.

Sebagai catatan penting adalah bila memang ingin menaikkan harga, sebaiknya segera lakukan. Jangan biarkan publik menjadi bimbang dan panik. Apabila terus digantung seperti ini maka di pasaran harga barang-barang akan naik karena pedagang sudah bersiap-siap mengantisipasi kenaikan harga BBM. Karena itu, inflasi sudah meningkat meskipun harga BBM belum dinaikkan. Sebagai perbandingan adalah inflasi Maret 2013 mencapai 5,9% sementara inflasi Maret 2012 ”hanya” 3,97% (www.bi.go.id).

Tahun 1986, Kahneman, Knestch, dan Thaler (KKT) sudah meramalkan temuan yang terus berulang tiap kali pemerintah menaikkan harga BBM atau tiap kali nilai tukar rupiah anjlok terhadap dolar Amerika. Mereka meramalkan fluktuasi harga akan lebih sering dipicu oleh kenaikan biaya ketimbang penurunan biaya.

Dalam dual entitlement yang mereka sampaikan; pembeli berhak atas transaksi patokan dan penjual berhak atas laba patokan. Penjual tidak boleh meningkatkan labanya dengan mengorbankan transaksi patokan pembeli. Namun, untuk mempertahankan laba patokan, penjual boleh mengorbankan transaksi patokan dengan menaikkan harga.

Transaksi Patokan

Dalam sebuah transaksi, pembeli menyerahkan uang kepada penjual, dan penjual menyerahkan barang kepada pembeli. Dari sisi pembeli, transaksi patokan dapat berupa harga dari transaksi terakhir. Sebagai ilustrasi, bila minggu lalu pembeli membayar Rp 5.300 untuk seliter minyak goreng, harga ini akan dijadikan transaksi patokan ketika esoknya ia datang ke penjual untuk membeli lagi. Jika ia dikenai harga Rp 5.500 berarti transaksi patokannya telah dikorbankan penjual.

Dari sisi penjual, sebuah transaksi umumnya terjadi bila ia memperoleh laba. Seperti halnya transaksi patokan pembeli, laba patokan penjual dapat berupa laba dari transaksi terakhir. Bila ongkos naik, penjual boleh menaikkan harga sepanjang untuk melindungi laba patokan. Umpamanya ketika menjual telur minggu lalu seharga Rp 10.300, dan penjual membelinya dari penyalur seharga Rp 10.000 sehingga memperoleh laba Rp 300.

Maka ketika penyalur yang mendengar berita rencana kenaikan BBM kemudian menaikkan harga telur jadi Rp 10.200; untuk mempertahankan laba penjual boleh menjual ke pembeli seharga Rp 10.500. Tetapi jika ongkos produksi turun, penjual yang tidak segera menurunkan harga jual tidak terlalu dipermasalahkan pembeli. Hal ini disebabkan karena transaksi patokan pembeli tidak dilanggar penjual.

Hal ini tidak sama dengan hukum pena­waran-permintaan yang menyatakan bahwa kelebihan permintaan merupakan kesempatan penjual untuk menaikkan harga, semisal bilaaliran  listrik dipadamkan oleh PLN, orang berbondong-bondong membeli lilin, sehingga si penjual pasti menaikkan harga lilin. Hal ini, menurut temuan dari KKT, konsumen akan menganggapnya tidak adil karena penjual telah meningkatkan labanya dengan mengorbankan transaksi patokan dari pembeli.

Penjelasan itu kalau diikuti penjual akan menghasilkan ramalan Kahneman dan ka­wan-kawan, begitu ada berita rencana kenaik­an harga BBM, penjual akan segera menaikkan harga.

Celakanya, kalau harga-harga sudah naik, walaupun kelak harga BBM turun, biasanya harga tidak cepat turun dan hal ini dianggap adil oleh pembeli karena tidak mengganggu tran­saksi patokan mereka.
Karena itu, seyogianya harga BBM dinaik­kan dengan satu harga dan secepatnya diberlakukan supaya tidak muncul fenomena seperti yang telah diramalkan oleh Kahneman dan kawan-kawan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar