|
SUARA
MERDEKA, 02 Mei 2013
Pemerintah mempertimbangkan untuk menaikkan harga BBM
bersubsidi pada kisaran di bawah Rp. 6.500/ liter. Kebijakan itu diambil
setelah kuota BBM bersubsidi terancam jebol mengingat konsumsi BBM bersubsidi
di Jateng/ DIY saja pada Januari-Maret 2013 mencapai 877.265 kiloliter,
melebihi kuota 104,4%, sementara kuota pada triwulan pertama hanya 840.659
kiloliter (SM, 26/4/13).
Meskipun kebijakan itu kemungkinan besar diterapkan, waktu
pelaksanaannya masih simpang-siur. Akibatnya, masyarakat resah dan muncul
spekulasi di pasaran. Sebagai contoh, hingga Sabtu (27/4) Polda Sulawesi
Selatan dan Barat menyita 5.000 liter solar ilegal (Kompas, 28/4/13).
Keberanian pemerintah menaikkan harga BBM perlu
diapresiasi. Sudah saatnya subsidi untuk BBM dikurangi sehingga penggunaannya
dapat dialihkan untuk pendidikan, kesehatan dan pembangunan infrastruktur.
Pelaku bisnis juga setuju harga BBM dinaikkan sepanjang dana yang ada digunakan
untuk pembangunan infrastruktur, termasuk akademisi juga setuju supaya APBN
tidak jebol hanya untuk subsidi BBM.
Demikian juga anggota masyarakat yang mengeluh harus
berjam-jam antre solar dan volume pembelian dibatasi sehingga roda
perekonomian memlambat. Sudah saatnya harga BBM naik supaya kita menjadi bangsa
yang lebih maju dan energi kita tak habis hanya untuk mengurusi masalah BBM.
Seharusnya, sudah dari tahun lalu harga BBM dinaikkan. Dari tahun ke tahun
defisit perdagangan migas terus terjadi, bahkan tahun lalu mencapai 5,6 miliar
dolar AS (SM, 30/4/13).
Kebijakan kenaikan harga BBM ini tentu akan menimbulkan pro
dan kontra. Bahwa ada dampak inflasi merupakan sesuatu yang wajar dan hanya
jangka pendek. Bukankah dulu kita pernah menerapkan kebijakan BBM seharga Rp
6.000 dan sifatnya juga hanya jangka pendek.
Sebagai catatan penting adalah bila memang ingin menaikkan
harga, sebaiknya segera lakukan. Jangan biarkan publik menjadi bimbang dan
panik. Apabila terus digantung seperti ini maka di pasaran harga barang-barang
akan naik karena pedagang sudah bersiap-siap mengantisipasi kenaikan harga BBM.
Karena itu, inflasi sudah meningkat meskipun harga BBM belum dinaikkan. Sebagai
perbandingan adalah inflasi Maret 2013 mencapai 5,9% sementara inflasi Maret
2012 ”hanya” 3,97% (www.bi.go.id).
Tahun 1986, Kahneman, Knestch, dan Thaler (KKT) sudah
meramalkan temuan yang terus berulang tiap kali pemerintah menaikkan harga BBM
atau tiap kali nilai tukar rupiah anjlok terhadap dolar Amerika. Mereka
meramalkan fluktuasi harga akan lebih sering dipicu oleh kenaikan biaya
ketimbang penurunan biaya.
Dalam dual entitlement yang mereka sampaikan; pembeli
berhak atas transaksi patokan dan penjual berhak atas laba patokan. Penjual
tidak boleh meningkatkan labanya dengan mengorbankan transaksi patokan pembeli.
Namun, untuk mempertahankan laba patokan, penjual boleh mengorbankan transaksi
patokan dengan menaikkan harga.
Transaksi Patokan
Dalam sebuah transaksi, pembeli menyerahkan uang kepada
penjual, dan penjual menyerahkan barang kepada pembeli. Dari sisi pembeli,
transaksi patokan dapat berupa harga dari transaksi terakhir. Sebagai
ilustrasi, bila minggu lalu pembeli membayar Rp 5.300 untuk seliter minyak
goreng, harga ini akan dijadikan transaksi patokan ketika esoknya ia datang ke
penjual untuk membeli lagi. Jika ia dikenai harga Rp 5.500 berarti transaksi
patokannya telah dikorbankan penjual.
Dari sisi penjual, sebuah transaksi umumnya terjadi bila ia
memperoleh laba. Seperti halnya transaksi patokan pembeli, laba patokan penjual
dapat berupa laba dari transaksi terakhir. Bila ongkos naik, penjual boleh
menaikkan harga sepanjang untuk melindungi laba patokan. Umpamanya ketika
menjual telur minggu lalu seharga Rp 10.300, dan penjual membelinya dari
penyalur seharga Rp 10.000 sehingga memperoleh laba Rp 300.
Maka ketika penyalur yang mendengar berita rencana kenaikan
BBM kemudian menaikkan harga telur jadi Rp 10.200; untuk mempertahankan laba
penjual boleh menjual ke pembeli seharga Rp 10.500. Tetapi jika ongkos produksi
turun, penjual yang tidak segera menurunkan harga jual tidak terlalu
dipermasalahkan pembeli. Hal ini disebabkan karena transaksi patokan pembeli
tidak dilanggar penjual.
Hal ini tidak sama dengan hukum penawaran-permintaan yang
menyatakan bahwa kelebihan permintaan merupakan kesempatan penjual untuk
menaikkan harga, semisal bilaaliran listrik dipadamkan oleh PLN, orang
berbondong-bondong membeli lilin, sehingga si penjual pasti menaikkan harga
lilin. Hal ini, menurut temuan dari KKT, konsumen akan menganggapnya tidak adil
karena penjual telah meningkatkan labanya dengan mengorbankan transaksi patokan
dari pembeli.
Penjelasan itu kalau diikuti penjual akan menghasilkan
ramalan Kahneman dan kawan-kawan, begitu ada berita rencana kenaikan harga
BBM, penjual akan segera menaikkan harga.
Celakanya, kalau harga-harga sudah naik, walaupun kelak
harga BBM turun, biasanya harga tidak cepat turun dan hal ini dianggap adil
oleh pembeli karena tidak mengganggu transaksi patokan mereka.
Karena itu, seyogianya harga BBM dinaikkan dengan satu
harga dan secepatnya diberlakukan supaya tidak muncul fenomena seperti yang
telah diramalkan oleh Kahneman dan kawan-kawan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar