Reaksi cepat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam
memimpin penataan, penertiban, dan pembersihan Partai Demokrat mulai
diimplementasikan.
Selang dua hari
setelah pengumuman delapan poin solusi penyelamatan Demokrat, SBY tancap
gas dengan mengumpulkan 33 DPD se-Indonesia di Puri Cikeas, Bogor (10/2). Sulit
menghindari tafsir politis menyangkut momentum serta relasi kuasa antara
SBY dan Anas dalam sejumlah tindakan, ucapan, dan kebijakan SBY terkait
penandatanganan pakta integritas tersebut.
Konteks Politis
Pakta
integritas menjadi prioritas SBY di awal misi penyelamatan karena memiliki
makna strategis ke dalam dan ke luar partai. Untuk internal partai, menjadi
sebuah prosedur penting bagi SBY dalam melihat, menilai, memetakan
loyalitas elite Demokrat seluruh Indonesia di tengah situasi krisis. Lebih
spesifik lagi, tentu SBY selaku ketua majelis tinggi partai punya
kepentingan memastikan bahwa dirinya benar-benar berada di puncak hierarki
otoritas partai baik secara de jure
maupun de facto.
SBY pasti tidak
ingin dipersepsikan hanya pandai berwacana dengan delapan poin solusi
penyelamatan sehingga dia merealisasikan pertemuan sesegera mungkin.
Menariknya, kenapa penandatanganan justru dimulai dari pengurus 33 DPD dulu
daripada DPP? Sekali lagi, konteks tak bias kita nafikan, bahwa selama ini
Anas merupakan sosok ketua umum yang sangat rajin turun ke bawah.
Berbagai
inisiasi program dan penguatan jaringan Anas di struktur kepengurusan
daerah berdenyut,bahkan kian memperlihatkan eksistensinya yang kian
menguat. Jejaring politik Anas di daerah tak bisa dianggap sebelah mata.
Wajar jika SBY mulai menyisir peta kekuatan dan memulainya dari daerah.
Dengan demikian, pakta integritas bukan semata soal substansi yang memang
seluruh poinnya bagus, melainkan juga soal prosedur penguasaan. SBY sadar
benar mengenai dampak psikopolitis dari pengondisian melalui pembubuhan
tanda tangan yang merepresentasikan konsensus langsung tersebut.
SBY juga
mengelola kepastian guna memudahkan evaluasi serta pengendalian para elite
Demokrat di daerah. Wajar, jika kita melihat kondisi ini menciptakan
batasan afiliatif. Menurut Dennis Gouran dalam The Signs of Cognitive (1998) batasan afiliatif berarti bahwa
anggota kelompok lebih memilih untuk menahan diri daripada mengambil risiko
ditolak atau disisihkan.
Jika melihat
dari sudut genealogi politik Partai Demokrat, tampak jelas posisi SBY
hingga kini masih menjadi figur utama dan struktur kepartaian berada dalam
afiliasi terhadap pengaruh itu. Efek ke luar partai, penandatanganan pakta
integritas yang diliput media massa tentu menjadi pesan bahwa Demokrat
sedang serius berbenah.
Sejumlah poin
misalnya soal menjaga kinerja dan integritas untuk menyejahterakan bangsa,
melayani masyarakat dengan adil dan tidak diskriminatif, memperkuat
persatuan dan mengembangkan toleransi, patuh pada konstitusi dan hukum,
mencegah dan menghindari korupsi, bersedia mundur dari jabatan di partai
jika tersangka, menyerahkan data kekayaan dan lain-lain menjadi ekspresi
simbolik bahwa ada kemauan untuk memperbaiki diri.
Tentu
substansinya patut kita apresiasi, tetapi sebenarnya ini modus yang biasa
digunakan dalam manajemen isu di saat krisis. Saat seseorang atau institusi
dihajar isu atau persepsi negatif, maka biasanya mereka memalingkan
perhatian pada ekspresi simbolik lain yang menunjukkan sisi positif. Hal
ini juga dilakukan Partai Keadilan Sejahtera(PKS), saat mencuat kasus
Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), maka Presiden Baru PKS, Anis Matta, mengatakan
bahwa mereka akan melakukan pertobatan nasional.
Hanya soal
pilihan pendekatan saja yang membedakan strategi Demokrat dengan PKS. Jika
PKS menggunakan pendekatan simbolik keagamaan, Demokrat lebih teknis
operasional, yakni pakta integritas. Tujuan akhirnya kurang lebih sama,
yaitu membangun persepsi positif publik atas institusi mereka. Terlebih
momentumnya berada di tengah rivalitas antarkekuatan jelang Pemilu 2014.
Posisi Anas
Dalam
konstelasi politik internal Demokrat saat ini, posisi Anas memang sangat
riskan. Akankah Anas selamat dari jerat kasus hukum? Kini hanya itu yang
menjadi celah telak bagi faksi non-Anas untuk menjatuhkan dia dari
posisinya sebagai nakhoda partai. Faktanya, hingga sekarang belum ada satu
kasus pun yang disangkakan kepada Anas.
Dengan begitu,
SBY juga tak bisa serta-merta menggunakan strategi “perang terbuka” dengan
melengserkan Anas karena belum cukup alasan adanya pelanggaran konstitusi
partai. SBY tentu berhitung cermat jika cara frontal yang ditempuh yakni melengserkan Anas sebelum ada
kejelasan status hukumnya, maka justru kondisinya bisa berbalik menghantam
SBY.Bisa dipahami jika mekanisme “perang terbuka” tak dipilih untuk
menghindari zero sum game atau
kalah jadi arang, menang jadi abu.
SBY mengambil
cara aman, dengan mengerangkeng Anas dalam poin-poin solusi penyelamatan
partai. Yang paling menohok tentu poin yang menyatakan segala keputusan,
kebijakan, dan tindakan partai ditentukan dan dijalankan oleh Majelis
Tinggi Partai Demokrat. SBY sebagai ketua majelis tinggi akan mengambil
keputusan dan arahan yang penting serta strategis. SBY juga mempersilakan
Anas untuk fokus pada kasus hukum yang dikaitkan kepadanya.
Senyatanya, ini
merupakan bentuk korporatisme politik ala SBY yang memosisikan Anas sebagai
komandan tanpa tongkat komando! Jika melihat gaya komunikasi politik Anas
yang selalu tampil terjaga, cool,
dan jarang menunjukkan agresivitas verbal, kemungkinan besar Anas tak akan
membuka ruang konflik terbuka di ruang publik. Yang jelas, saat ini posisi
Anas belum habis di Demokrat, meskipun delegitimasi terhadapnya sangat
intensif dilakukan oleh para elite Demokrat lain.
Bahkan sangat
mungkin Anas melawan dalam sunyi. Artinya, Anas tak membuka polemik entah
itu terhadap poin-poin solusi yang dikemukakan SBY pada Jumat (8/2) maupun
terhadap pakta integritas yang dorong untuk ditandatangani 22 ketua DPD se-Indonesia.
Sangat mungkin Anas “melawan” atau lebih tepatnya mengembangkan kontestasi
dengan cara soft. Di satu sisi dia meminta melalui berbagai media massa
untuk tak dihadap-hadapkan dengan SBY, di sisi lain juga Anas tetap turun
ke bawah mempertahankan dan menyolidkan jejaring yang sudah dia miliki
selama ini.
Secara
kebetulan atau tidak, Sabtu (9/2) Anas tetap melakukan aktivitas kepartaian
di DPC Partai Demokrat Lebak, Banten, Sabtu (9/2). Bisa jadi, ini juga
bukan terakhir kalinya Anas turun ke struktur partai di daerah. Meski
posisi Anas kian terancam, tidak tertutup kemungkinan dia melawan meski
dengan caranya sendiri yakni, operasi sunyi! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar