Rawayan 2013 :
Sebuah Tujuan Bermakna
Asep Salahudin ; Esais dan dekan di IAILM
Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Januari 2013
RAWAYAN itu ialah arah yang akan memberikan
petunjuk ke mana kita harus melangkah agar sampai tujuan, tidak tersesat.
Semacam jalan dalam perspektif kearifan Sunda untuk mencapai hakikat hidup
semakna dengan tarekat, tao, din, atau konsep sang kan paraning dhumadi dalam
kearif an Jawa.
Jalan yang menginjeksikan ihwal kesadaran
terhadap akar dan asal usul hakikat hidup. Purwadaksi, dalam istilah lain. HR
Hidayat Suryalaga, filsuf Sunda, menyebutnya dengan Rawayan Jati. Rawayan
jatinya itu digali dari naskah-naskah Sunda kuno yang kebanyakan berisi k
haluan moral dan jangkar h etika. Sebut saja, misalnya, Sanghyang Siksa
Kandang Karesian (SSKK-1518 M), Sewaka Darma (abad ke-17 M), Naskah Ciburuy
(abad ke-17 M), dan Prasasti Kawali 7 dan 8 (abad ke-13 dan ke-14 M).
Tentu kita memiliki harapan bahwa pada 2013,
jalan yang kita pijak sebanding lurus dengan nilai-nilai kebenaran dan etika
sosial. Tahun ini jauh lebih cemerlang. Bukan jalan gelap menyimpang yang
kian menjauhkan kehidupan dari cita-cita semula. Jalan yang diretas 2013 bisa
mengorbitkan kembali semangat kita sebagai bangsa sekaligus sebagai individu yang
boleh jadi sepanjang 2012 dipaksa memudar, mengalami defisit.
Harus kita akui bahwa 2012 yang baru saja kita
lewati banyak menyisakan masalah, tidak sedikit persoalan yang alih-alih
terselesaikan malah menjadi kian kusut masai. Sebut saja korupsi yang kian
menggurita, TKW yang nasibnya terkatung-katung bahkan ada yang sampai
meregang di tiang gantungan, politisi yang tidak pernah berhenti mencerminkan
diri dengan pencitraan palsu, atau kepala daerah yang berperilaku korup tak
ubahnya raja-raja kecil karena salah kaprah dalam menafsirkan otonomi daerah.
Ketika ketahuan korupsi, mereka diproses di pengadilan dan selanjutnya malah
dikeluarkan hakim tipikor. Dahsyatnya, tidak sedikit di antara mereka yang
masih percaya diri untuk men calon kan menjadi bupati dan atau gubernur
kendati label koruptor tersemat di kening.
Moralitas kian mengalami erosi, kesederhanaan
hanya ada dalam catatan silam. Menjadi jauh panggang dari api membandingkan
kemewah an pesta pernikahan para pejabat di negara kita dengan kesederhanaan
pernikahan anak Ahmadinejad yang hanya menghabiskan tidak lebih dari Rp40
juta. Kalau di luar negeri ‘selingkuh’ itu sudah cukup bagi pejabat publik
untuk meletakkan jabatannya, di kita lain lagi alur ceritanya. Cerita
Hambalang dan Century seakan melengkapi bagaimana hukum di negeri ini tak
ubahnya sebuah sinetron kacangan yang membuat para penonton ingin muntah.
Rasa frustrasi melihat perjalanan bangsa ini
dengan sangat tragis terpantulkan dalam aksi nekat seorang Sondang Hutagalung
(7 Desember 2011) yang melakukan aksi bakar diri persis di depan simbol
sentrum kekuasaan: istana. Dengan ‘keberanian tuntas’ tanpa banyak kata,
tanpa didahului pidato dan retorika bertele-tele, tanpa melibatkan khalayak
demo yang acap kali justru dibayar, dia membakar diri seorang diri.
Tentu itu bukan setting politik dramaturgi,
melainkan sebuah fakta hilangnya nyawa anak bangsa. Kekuasaan dengan
telanjang telah mempertontonkan jati dirinya yang primitif yang kemudian
merembes bagi tergelarnya perayaan ‘onani massal’ dalam setiap lapisan
kehidupan, semua serbamentah!
Kearifan Perenial
Hanya orang tidak waras yang menginginkan
hidup dalam atmosfer kelam. Tahun 2013 harus lebih baik. Harapan tidak hanya
harus terus disiram. Setiap kita juga wajib memiliki tanggung jawab
menjadikannya sebagai bagian dari sejarah kehidupan keseharian. Apa yang
menjadi cita-cita diretas jalannya seoptimal mungkin biar menjadi bagian dari
realitas. Antara ucap, tekad, dan langkah diselaraskan agar kehidupan
menemukan harkatnya yang luhur.
Tantangan di 2013 dan ke depan bukan semakin
mengecil, melainkan akan kian rumit. Kalau tidak sedari awal menata sistemnya
agar kukuh, kita bukan hanya tidak akan mampu berkiprah, tapi boleh jadi
hanya menjadi bagian dari halaman belakang negara-negara tetangga. Tidak ada
jaminan bahwa kapal kebangsaan ini akan terus berlayar justru ketika banyak
yang bolong.
Dalam kearifan Sunda, modal sosial untuk
merengkuh kehidupan yang positif itu tidak lain ialah cageur (sehat), bageur
(dermawan), bener (benar), dan pinter (pintar). Itu tampak normatif memang,
tetapi secara aksiologis itulah yang diperlukan. Tak ubahnya Mahfud MD yang
bosan berwacana tentang pemberantasan korupsi karena yang dibutuhkan ialah
aksi dan keluarlah usulan membangun kebun untuk para koruptor.
Situasi kebangsaan yang nyaris gagal ini,
meminjam penjelasan HR Hidayat Suryalaga, mengandaikan terpenuhinya
prasyarat: 1) Kesadaran monoteistis akan kehadiran Nu Ngersakeun/Sanghyang Tunggal; 2) Ngertakeun Bumi Lamba, memahami secara utuh ihwal peran profetis
dan kultural untuk mendistribusikan kesejahteraan bagi semesta; 3) Dunia akan
sejahtera apabila Tri Tangtu di Bumi
berperan dengan baik, yang meliputi rama (memiliki makna keluarga yang
berfungsi optimal sebagai fondasi keluarga/nucleus family yang harmonis), resi (bermakna sebagai alim ulama/
cendekiawan yang berperan sebagai penjaga moral bangsa dan senantiasa kritis
dalam melihat hal ihwal), dan prabu (dapat diartikan sebagai tatanan
birokrasi yang berkhidmat kepada rakyat); 4) Luhung Elmuna, yakni memiliki
ilmu yang bermanfaat; 5) Pengkuh Agamana, yakni teguh dalam melaksanakan
kehidupan beragama yang dianutnya; 6) Jembar Budayana; 7) Silih Asih (proses
silaturahim), silih asah (proses saling mencerdaskan), dan silih asuh, dapat
menempatkan diri (positioning), proporsional, dan profesional.
Kearifan Sunda atau kearifan perenial yang
datang dari etnik mana pun menjadi menarik untuk kita refleksikan di
penghujung 2012. Hanya dengan modal seperti itu, kita dan bangsa akan tetap terjaga
dalam kewarasan.
Jika tidak, boleh jadi zaman edan yang
diprediksi (atau sudah?) oleh Ronggowarsito akan lekas datang. Bennedict
Anderson, sebagaimana dikutip A Budi Purnomo, melihat zaman menjadi cacat
karena raja, pemegang kekuasaan, kehilangan kasekten (kesaktian, kejayaan). Saat
raja masih kasinungan kasekten (dalam kejayaan), semua tatanan kosmis
berjalan harmonis. Namun, saat kasekten pudar, kehidupan menjadi mungkar.
Penguasa gampang bertengkar. Saat kesaktian penguasa luntur, rakyat babak belur.
Alam murka. Berbagai bencana menimpa.
Pudarnya kasekten penguasa membuahkan
kehancuran dan penderitaan rakyat. Gejolak sosial, kekerasan, tawuran, serta
ekonomi dan politik kian memanas. Kesaktian penguasa yang membuahkan kejayaan
dan kesejahteraan rakyat tergantung garis etikakekuasaan Kearifan lama
senantiasa meneguhkan bahwa tegaknya negara dan tatanan masyarakat mengacu
kepada ajeknya moralitas. Ketika moral sudah runtuh, bangsa itu akan roboh. Selamat Tahun Baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar