Senin, 19 November 2012

Menuju Komunitas ASEAN 2015


Menuju Komunitas ASEAN 2015
Chusnan Maghribi ;   Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
SUARA MERDEKA, 19 November 2012


"ASEAN masih memiliki sisi lemah terkait kekompakan, terutama dalam menghadapi isu konflik Laut China Selatan"

KONFERENSI Tingkat Tinggi (KTT) Ke-21 ASEAN di Phnom Penh Kamboja mulai hari ini hingga besok tampaknya bisa menjadi tonggak penting yang akan menentukan perjalanan ASEAN ke depan. Selain kegiatan itu dihadiri sejumlah pemimpin negara mitra wicara penting, konferensi mengusung tema ''Satu Komunitas, Satu Tujuan dalam Persiapan Menuju Masyarakat ASEAN 2015''.
Sejumlah tokoh penting yang akan hadir antara lain Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama, Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak, Perdana Menteri (PM) China Wen Jiabao, PM Jepang Yoshihiko Noda, PM Australia Julia Gillard, dan PM India Manmohan Singh.
Pengusuangan tema tersebut sepertinya ingin menguatkan pesan bahwa konferensi itu memang diplot untuk lebih mematangkan persiapan negara anggota menuju Komunitas ASEAN 2015. Hal itu bisa dilihat sekurang-kurannya dari dua agenda yang menjelaskan tujuan tersebut.
Pertama; peluncuran Institute ASEAN untuk Perdamaian dan Rekonsiliasi (ASEAN Institute for Peace and Reconciliation-AIPR) dan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Kawasan (Regional Comprehensive Economic Partnership-RCEP). Kerangka RCEP menetapkan proses yang dipimpin ASEAN untuk melibatkan semua mitra dialog ASEAN dan mitra ekonomi eksternal. Peluncuran itu diagendakan diresmikan oleh PM Kamboja Hun Sen pada sesi awal pembukaan.   
Kedua; penandatanganan Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) ASEAN (ASEAN Human Rights Declaration-AHRD) oleh 10 kepala pemerintahan negara anggota. Dijadwalkan penandatanganan dilakukan pada hari pertama konferensi. Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN digambarkan sebagai artikulasi prinsip-prinsip HAM yang akan berfungsi sebagai pedoman bersama untuk kegiatan yang bertujuan mempromosikan dan meningkatkan kerja sama regional tentang HAM.
Penandatanganan AHRD tentu cukup melegakan, khususnya bagi negara anggota ASEAN, mengingat sudah sejak akhir dekade 1990-an atau akhir abad ke-20 ASEAN bermimpi memiliki sebuah dokumen pedoman bersama tentang HAM. Diharapkan, negara-negara Barat yang sejauh ini kerap menyoal pelaksanaan HAM di ASEAN, terutama di Myanmar, mau menyambut baik AHRD yang hampir selaras dengan prinsip-prinsip Deklarasi HAM Universal PBB itu.
Ke depan, 10 negara anggota ASEAN pun diharapkan konsisten mengimplementasikan prinsip-prinsip hak asasi manusia tersebut sebagaimana digariskan oleh dokumen tersebut. Harapannya adalah masa depan hubungan antara ASEAN dan Barat bisa berlangsung lebih harmonis dan produktif, tidak lagi diwarnai ketegangan menyangkut isu penegakan hak asasi manusia.
Sudahkah cukup pematangan persiapan menuju Komunitas ASEAN 2015 hanya dengan menambah dua hal itu? Tentu tidak. Apalagi di tengah pematangan persiapan itu kekompakan ASEAN dalam menghadapi isu tertentu terlihat belum solid. Isu sengketa Laut China Selatan yang melibatkan empat anggota ASEAN plus China dan Taiwan, menjadi contoh konkret paling aktual saat ini.
Jalan Buntu
Perkembangan terakhir isu sengketa Laut China Selatan menunjukkan semua negara yang berselisih sepakat menerima konsep zero draft (draf nol) inisiatif Indonesia sebagai pijakan awal pembahasan lanjutan Kode Tata Berperilaku (Code of Conduct-CoC) di Laut China Selatan.
Menurut Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, isi draf nol sangat rinci dan dapat dipakai untuk menghindari miskalkulasi di antara semua pihak saat bertemu di lapangan. Tapi persoalannya, apakah pembahasan kelanjutannya nanti dijamin 100 persen tidak akan menemui jalan buntu lagi?
Hingga saat ini tak seorang pun berani menjamin bahasan lanjutan CoC tidak akan menemui jalan buntu. Pasalnya, enam negara yang berselisih dipastikan tetap ngotot mempertahankan klaim masing-masing atas Laut China Selatan. Kengototan ini disebabkan mereka yakin Laut China Selatan menyimpan potensi kandungan minyak dan gas bumi (migas) sangat melimpah.
Pemerintah China misalnya, memperkirakan kawasan Laut China Selatan memiliki cadangan kandungan minyak 30 miliar metrik ton dan 16 triliun meter kubik gas. Jumlah itu sama dengan sepertiga cadangan migas China saat ini.
Jadi, walaupun pada satu sisi kita memang menaruh harapan bahasan lanjutan Code of Conduct di Laut China Selatan berlangsung lancar dan tidak menemui jalan buntu, di sisi lain kita harus objektif  mengakui probabilitas untuk itu kecil. Kebuntuan AMM Ke-45 Juli lalu membayangi bahasan lanjutan CoC ke depan.
Di tengah keseriusan 10 negara anggota mematangkan persiapan menuju Komunitas ASEAN 2015, keluarga besar pakta itu masih memiliki sisi lemah berupa kerentanan kekompakan, terutama dalam menghadapi isu konflik Laut China Selatan. Jika sisi lemah ini tak kunjung teratasi tiga tahun ke depan, dikhawatirkan hal itu bisa menimbulkan preseden buruk bagi keberadaan komunitas ASEAN yang berambisi menjadi pemain kunci baik di kancah regional maupun global. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar