Undang-undang Mengancam Pers
Leo Sabam Batubara,
MANTAN
WAKIL KETUA DEWAN PERS
Sumber : KORAN TEMPO, 21 November 2011
Amandemen pertama konstitusi pasal 20 ayat 4 menyebutkan,“Presiden
mengesahkan rancangan undangundang yang telah disetujui bersama menjadi undang-undang.
”Berdasarkan peraturan tersebut, Undang-Undang Intelijen yang disahkan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat pada 11 Oktober 2011 telah ditandatangani presiden, dan
karena itu sudah efektif berlaku.
Media massa, khususnya yang memiliki agenda melakukan fungsi
kontrol sosial dan menyelenggarakan jurnalistik investigasi, harus
ekstrahati-hati terhadap undang-undang itu karena beberapa pasalnya mengancam
kebebasan pers. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dinilai melindungi
kebebasan pers karena meniadakan campur tangan pemerintah dalam penyelenggaraan
pers, pers dibebaskan dari izin penerbitan pers, pers melaksanakan fungsi
kontrol sosial tanpa takut disensor dan dibredel, serta pers tidak
dikriminalkan dalam pekerjaan jurnalistik.
Meskipun berbagai pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana masih
dapat digunakan
untuk mengancam kebebasan pers, selama 13 tahun masa reformasi
ini, penegak hukum masih mendengarkan pertimbangan yang disuarakan oleh
kalangan pers dan Dewan Pers seperti dalam perkara berikut ini.
Majalah Panji Masyarakat (17 Februari 1999) memberitakan
rekaman percakapan telepon antara Presiden Habibie dan Jaksa Agung Andi M.
Ghalib. Isi percakapan itu
memberi kesan pemeriksaan mantan presiden Soeharto oleh Kejaksaan
Agung tak lebih dari sandiwara politik belaka.
Akibat pemberitaan itu,Wakil Pemimpin Redaksi Panji Uni
Lubis dan dua rekannya diperiksa di Markas Besar Kepolisian RI. Menurut Kepala
Polri Jenderal Roesmanhadi,
penyebaran isi kaset rekaman itu menyangkut pembocoran rahasia
negara, yang tak bisa dibenarkan. Sementara itu, kalangan aktivis kebebasan
pers menyuarakan bahwa yang salah adalah sekitar Presiden atau Jaksa Agung yang
membocorkan isi percakapan itu. Kaset rekaman itu telah beredar dan isinya
sudah menjadi pengetahuan publik. Panji tidak salah.
Enam bulan kemudian—bersamaan dengan pembahasan RUU Pers—Direktur Berita
SCTV Riza Primadi dan Azkarmin Zaini dari ANTV bersama kamerawan
mereka diperiksa oleh Mabes Polri karena kedua stasiun televisi itu menayangkan
hasil wawancaranya dengan pemimpin militer Gerakan Aceh Merdeka. Para aktivis kebebasan
pers memprotes pemeriksaan polisi itu karena bertentangan dengan konsep
kebebasan pers.
Kontroversi antara aparat pemerintah dan media berlanjut
menyangkut pemberitaan keamanan nasional. Trans TV menayangkan pengibaran
bendera Bintang Kejora di halaman kantor Kelurahan Yobansai, Jayapura.Kepala
Kepolisian Resor Kota Jayapura Ajun Komisaris Besar Roberth Djoenso, dalam
suratnya kepada Dewan Pers (31 Mei 2008), mengatakan pengibaran bendera itu
adalah kejahatan terhadap keamanan nasional. Wartawan peliput diduga mengetahui
tentang kejahatan tersebut, karena itu dapat diduga turut berbuat kejahatan
berdasarkan Pasal 164 KUHP.
Tahun berikutnya (20 Agustus 2009), Metro TV menayangkan
upacara pengibaran bendera Bintang Kejora oleh Tentara Nasional Papua
Organisasi Papua Merdeka di Paniai. Berdasarkan pengaduan Sekretaris Menteri
Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan serta Menteri Komunikasi dan
Informatika kepada Komisi Penyiaran Indonesia, penayangan program itu dapat menimbulkan
dampak negatif dalam kerangka persatuan dan kesatuan nasional serta dapat
mendorong Indonesia ke jurang
disintegrasi. Selain itu, sangat merugikan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Kepolisian batal mengkriminalkan majalah Panji, SCTV, dan ANTV
karena mendengarkan pertimbangan kalangan pers. Wartawan Trans TV dan
Metro TV juga tidak jadi dikriminalkan karena kepolisian; Menteri
Politik, Hukum, dan Keamanan; serta Menteri Komunikasi masih mendengarkan argumentasi
Dewan Pers bahwa, berdasarkan UU Pers, pertama, adalah hak pers nasional untuk
mencari, memperoleh,
dan menyebarluaskan informasi. Kedua, pers diberi peran untuk
memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Ketiga, pers nasional melaksanakan
peranan buat memenuhi
hak masyarakat untuk mengetahui.
Ancaman Potensial
Ke depan—dengan berlakunya UU Intelijen itu—jika pers melakukan
kegiatan jurnalistik seperti yang pernah dilakukan Panji, SCTV, ANTV, Trans
TV, dan Metro TV,wartawan media tersebut terancam dapat disadap,
dipenjarakan 7-10 tahun, dan langsung dijebloskan ke tahanan.
Berdasarkan UU Intelijen, pasal-pasal yang mengancam kebebasan
pers antara lain, pertama, definisi rahasia intelijen berpotensi pasal karet
sehingga pengertiannya
tergantung klaim lembaga intelijen. Berdasarkan pasal 25, praktis
semua informasi
menyangkut ketahanan dan keamanan negara, kekayaan alam, ketahanan
ekonomi,
serta hubungan luar negeri bisa dianggap sebagai rahasia negara.
Menurut Kepala
Badan Intelijen Negara Sutanto, informasi yang dilansir dari situs
pembocor, Wiki-
Leaks, adalah informasi rahasia intelijen dan rahasia negara.
Karena itu, pers dilarang
memberitakannya (Koran Tempo, 30 September 2011). Padahal
informasi eks WikiLeaks itu sudah menjadi informasi publik dunia.
Kedua, pasal 44 menyatakan kesengajaan mencuri, membuka, dan/atau
membocorkan
rahasia intelijen dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 500 juta. Pasal 45 menyatakan kelalaian yang
mengakibatkan bocornya rahasia intelijen dipidana penjara paling lama 7 tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 300 juta.
Ketiga, pasal 30 dan 31 menyebutkan, BIN memiliki wewenang
melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi
terhadap sasaran: a.
kegiatan yang mengancam kepentingan dan keamanan negara, b.
kegiatan terorisme,
separatisme.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, bagi media yang merasa
terpanggil untuk menginvestigasi apakah aspirasi separatisme di Papua meningkat
atau menurun, sekarang berisiko dipidana penjara. Risiko yang sama juga
berpotensi mengancam media yang menginvestigasi skandal pembelian 100 tank
Scorpion Inggris (1994), setara dengan Rp 2,8 triliun. Harga itu jauh lebih mahal
ketimbang pembelian Thailand dan Singapura. The Guardian (7 Desember 2004)
mengungkap pembelian itu sarat dengan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Menginvestigasi
kedua isu itu berpotensi mengancam pers karena, (1) isu itu berkategori rahasia
intelijen, (2) memberitakannya berarti membocorkan rahasia intelijen, (3)
aparat intelijen berwenang menyadap media terkait, (4) bagi pelanggar dapat
diancam pidana penjara 7-10 tahun, dan (5) wartawan peliput dapat segera
ditangkap.
Tantangan bagi pers, memilih UU Pers atau UU Intelijen?
Berdasarkan UU Pers, pers berperan mencari keadilan dan kebenaran yang terjadi
di Papua, dan temuan pers itu buat memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
perkembangan yang sebenarnya. Temuan seperti itu juga dimaksudkan agar the
national policy makers dapat merumuskan kebijakan solusi yang tepat.
Jika pers disadap, dipenjarakan, dan ditangkap, nasib Papua
dikhawatirkan berkembang mengikuti skenario Timor Timur. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar