Radikalisme
dan Quo Vadis Pendidikan Agama
Abdallah ; Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 28 Mei 2018
BARU-BARU ini kita masygul
dengan sejumlah fenomena kekerasan yang terjadi secara beruntun, serangan
terhadap Jemaat Ahmadiyah di Lombok Timur, NTB. Sebelumnya kita digegerkan
dengan serangan narapidana terorisme terhadap aparat kepolisian di Rutan Mako
Brimob, Depok.
Disusul peristiwa bom
bunuh diri di tiga gereja di Surabaya. Tragedi berdarah itu semakin
menguatkan ideologi radikalisme yang mengarah pada kekerasan semakin terpapar
di tengah masyarakat.
Peristiwa itu menuai
perdebatan. Sebagian kalangan keberatan tindakan kekerasan itu disematkan
pada agama karena tidak ada kaitannya dengan pesan keagamaan. Secara normatif
pandangan itu benar. Kendati demikian, pada praktiknya radikalisme merupakan
konsekuensi dari cara pikir keagamaan yang skripturalis dan fundamentalis.
Pemahaman keagamaan model
ini melihat agama tercerabut dari konteks, yang pada gilirannya kehilangan
epifani Ilahi yang menjunjung nilai-nilai luhur kemanusiaan yang damai,
inklusif, dan human.
Kita tidak bisa menutup
mata, sasaran dari aksi kekerasan yang terjadi ialah anak-anak muda bahkan
perempuan. Studi-studi menunjukkan fakta memilukan, kalangan anak muda
terpapar pandangan yang cenderung mengarah pada kekerasan. Survei yang
dilakukan Wahid Institute (2016), sebanyak 60% aktivis rohaniwan islam
(rohis) menyatakan bersedia jihad ke wilayah konflik seperti Suriah, 10%
mendukung serangan bom di Thamrin, dan 6% memberikan dukungan pada Islamic
State (IS).
Temuan teranyar dari Pusat
Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta (2017) mengonfirmasi bahwa
siswa dan mahasiswa terpapar radikalisme. Sekitar 58% memiliki opini radikal,
51,1% opini intoleransi di kalangan internal muslim, dan 34,4% beropini
intoleransi di kalangan eksternal muslim.
Pandangan-pandangan
radikal di kalangan muda itu seperti 'api dalam sekam' yang sewaktu-waktu
akan menjadi lahan subur dan pemantik kekerasan di masa yang akan datang.
Berebut
narasi
Dalam konteks Indonesia
yang multikultural, pendidikan agama merupakan instrumen penting dalam
menyuarakan keagamaan yang damai, inklusif, dan berkeadaban. Melalui
kurikulum nasional, semestinya keagamaan yang moderat dapat disuarakan di
kalangan anak muda melalui pendidikan di sekolah. Pemerintah seyogianya lebih
serius dalam melihat hal ini karena merupakan hulu persoalan.
Pemahaman keagamaan
generasi mendatang bertumpu pada pendidikan agama di sekolah yang
memungkinkan peserta didik mengenal agama secara mendalam melalui buku ajar
dan guru agama. Namun, kurikulum mata pelajaran agama yang disediakan di
sekolah seyogianya mengakomodasi semua pandangan, dalam hal ini pendidikan
agama Islam.
Kurikulum dan buku ajar
merupakan aspek penting dalam pendidikan. Buku ajar adalah arena pergumulan
perebutan pengaruh pelbagai kelompok, tak terkecuali kelompok-kelompok
Muslim. Semua kelompok saling berebut pengaruh untuk berupaya memengaruhi
orientasi pendidikan dengan ideologi mereka masing-masing (Apple: 2000).
Perebutan pengaruh itu
kerap memicu ketegangan di antara satu kelompok dengan kelompok lain dan
rentan terjadi konflik. Dalam konteks RI yang secara kodrati multikultural,
kurikulum pendidikan nasional semestinya dirumuskan dengan melibatkan semua
kelompok dan disusun secara inklusif, deliberatif, dan dialogis (Gutman:
1987).
Namun, praktiknya hal itu
tidak berbanding lurus dengan realitas pendidikan kita. PPIM UIN Jakarta
(2016) dalam studinya menemukan kejanggalan dalam kurikulum pendidikan agama:
buku ajar di sekolah masih kurang mengedepankan aspek dialogis dan perbedaan
(khilafiah).
Term kafir dan musyrik,
misalnya, masih dihadirkan secara literal, tidak diperkaya dengan konteks
term itu lahir pada saat apa dan bagaimana. Seyogianya, term-term yang
bernuansa teologis itu dikaitkan dengan konteks kekinian. Hal paling penting
ialah memaknai jihad, misalnya, apa dan bagaimana di masa kini, agar tidak
melulu ditafsirkan dengan perang secara generik. Jika pelajar di sekolah
disediakan pemahaman yang beragam, diharapkan mereka akan berpikir secara
terbuka dan bersikap bijak melihat perbedaan.
Hal yang tak kalah
penting, guru agama yang semestinya memiliki wawasan keagamaan yang inklusif
dan pandangan kebangsaan yang ajek. Guru agama diharapkan mampu menghadirkan
Islam Indonesia yang ramah dan toleran. Namun, kita juga dikejutkan dengan
fakta di lapangan. Studi PPIM UIN Jakarta (2016) lagi-lagi menjelaskan guru
agama memiliki pandangan keagamaan dan kebangsaan yang paradoks.
Pada satu sisi, guru agama
mengaku setuju dengan Indonesia yang Pancasila dan UUD 1945. Di sisi lain,
mereka juga mengharapkan syariat Islam diterapkan di RI. Fakta-fakta itu semakin
menggiring pada satu pertanyaan besar, "Mau ke mana pendidikan agama
kita?"
Kurikulum
agama
Arah pendidikan agama
semestinya dijangkarkan pada tiga nilai, pertama, kita tahu, RI merupakan
bangsa yang secara kodrati ialah majemuk. Pendidikan agama di sekolah
seyogianya mengakomodasi nilai-nilai keragaman. Konten buku ajar agama,
misalnya, mesti menghadirkan keragaman pandangan dari semua kelompok bukan
hanya menyajikan pandangan keagamaan tertentu yang mengarahkan peserta didik
menjadi homogen dan eksklusif.
Kedua, kurikulum
pendidikan agama diarahkan pada nilai kritis. Konsekuensi dari keragaman
ialah cara pikir yang terbuka dan mendorong peserta didik untuk berpikir
kritis. Artinya, peserta didik mampu berpikir secara dialogis yang pada
gilirannya bermuara pada nilai toleransi yang menghargai satu sama lain dan
mampu melihat perbedaan sebagai suatu kemestian tanpa merasa terganggu.
Ketiga, kurikulum
pendidikan agama idealnya dikemas dengan nilai-nilai bersama. Kejujuran,
keadilan, dan kebaikan. Nilai-nilai inilah yang menjadi titik temu terbukanya
sekat-sekat primordial, suku, ras, dan agama.
Pada kadar yang lain,
nilai-nilai bersama dapat dimaknai bahwa RI ialah bangsa yang multikultural
di bawah payung NKRI dan Pancasila. Maka akan tercipta pergaulan yang
mengarah pada satu titik, kemanusiaan dan keindonesiaan. Di titik ini,
pendidikan agama diharapkan dapat menghapus indoktrinasi dan hegemonisasi
dalam dunia pendidikan seperti yang dibayangkan Bung Karno, "Bertuhan
dengan tanpa egoisme agama dan berkeadaban." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar