Pendidikan
Tinggi Melawan Korupsi
Fathur Rokhman ; Rektor Universitas
Negeri Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 09 Januari 2018
Tahun 2017 dilalui dengan
kehebohan penanganan berbagai kasus korupsi. Operasi tangkap tangan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap sejumlah kepala daerah ditutup dengan
penangkapan ketua lembaga legislatif pada November lalu. Kehebohan semacam
itu diprediksi akan terus berlanjut karena korupsi masih menjadi penyakit
sosial yang belum tersembuhkan. Situasi itu harus dipandang sebagai persoalan
kebangsaan secara luas, bukan persoalan hukum semata. Oleh karena itu, tiap
elemen masyarakat wajib merefleksikan diri agar ke depan dapat memberi
kontribusi yang lebih berarti, termasuk masyarakat pendidikan tinggi.
Bagi masyarakat pendidikan
tinggi, korupsi dapat disikapi dari dua perspektif. Pertama, korupsi
dipandang sebagai realitas sosial yang dibaca sebagai sumber pengetahuan.
Pola, perubahan, dan anatomi korupsi ditempatkan sebagai gejala yang netral
sebagaimana realitas sosial lain. Membaca korupsi adalah bagian dari usaha
memahami realitas dunia yang kompleks dan terus berubah. Kedua, korupsi
dipandang sebagai realitas yang harus diintervensi karena bertentangan dengan
nilai dasar pendidikan. Masyarakat pendidikan meyakini bahwa kejujuran adalah
nilai universial yang sangat mendasar. Korupsi adalah praktik culas yang
bukan saja bertentangan dengan nilai itu, tetapi merupakan ancaman terhadap
terwujudnya masyarakat ideal.
Indonesia Coruption Watch
(ICW) mencatat, kerugian negara akibat korupsi selama semester pertama 2017
mencapai Rp 1,83 triliun. Kerugian sebesar itu merupakan kendala nyata yang
menyebabkan masalah pembangunan terhambat dan cita-cita keadilan makin jauh
dari jangkauan. Padahal masyarakat pendidikan mendambakan terwujudnya
masyarakat adil dan sejahtera.
Lebih dari itu, Chapman
(2002) menunjukkan, korupsi juga menyebabkan kebangkrutan moral yang parah.
Anak-anak muda yang melihat korupsi dalam kesehariannya akan terdistorsi
persepsi ideologisnya, mengira bahwa kesuksesan tidak diraih dengan kerja
keras, tetapi dengan penyuapan dan kecurangan. Kondisi itu akan melemahkan
basis nilai dan sendi kehidupan masyarakat sipil, baik sekarang maupun masa
depan.
Di luar dua perspektif
itu, pendidikan tinggi adalah lembaga publik yang tata kelolanya di bawah
birokrasi pemerintahan. Pendidikan tinggi, sebagaimana lembaga publik lain,
adalah institusi yang rentan menjadi korban sekaligus pelaku tindak pidana
korupsi. Oleh karena itu, sangat penting perguruan tinggi mengembangkan
gagasan hukum agar korupsi bisa dihapus dari Bumi Pertiwi.
Tiga perspektif di atas
menempatkan perguruan tinggi pada dua posisi sekaligus, subjek dan objek.
Sebagai subjek perguruan tinggi merupakan entitas sosial yang memiliki
kehendak dan memiliki daya untuk mewujudkan kehendaknya. Sebagai objek,
perguruan tinggi berposisi sebagai bagian kecil dari sistem besar birokrasi
yang kompleks. Dalam posisi kedua ini, kehendak perguruan sangat dibatasi
sistem yang membawahinya.
Dalam Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, perguruan tinggi mendapatkan tugas
yang sangat spesifik untuk melaksanakan tri darma, yaitu pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Namun secara historis,
perguruan tinggi memiliki peran yang lebih mendasar, yaitu peletak nilai
dalam kehidupan berbangsa.
Tugas besar ini tampaknya
diwarisi sejak lembaga berbentuk perguruan tinggi mulai dikenal. Academi
Plato yang didirikan pada 387 SM di Athena melahirkan pemikir yang gagasannya
berkembang menjadi nilai bersama. Alumninya mendedikasikan pengetahuan bagi
terciptanya komunitas yang lebih baik. Karena itulah, Academy diapresiasi
luas oleh masyarakat sebagai penjaga moral masyarakat bersama kaum rohaniawan.
Bervariasi
Pada era seperti saat ini,
perguruan tinggi berkembang dengan variasi yang luar biasa banyak. Dalam
masyarakat yang kian kompleks, tentu saja perguruan tinggi juga mengalami
perkembangan dan perubahan. Tetapi ekspektasi publik agar perguruan tinggi
menjadi penjaga moral masyarakat dan bangsa tidak pernah berubah. Dalam
kaitannya dengan korupsi, lembaga pendidikan sering disebut sebagai harapan
terakhir bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pendapat ini berpangkal
pada asumsi bahwa penindakan secara hukum tak akan bisa mengatasi korupsi
hingga akar persoalannya. Karena lebih banyak korupsi adalah perkara
integritas, pembentukan budi pekerti luhur adalah solusinya.
Selama ini perguruan
tinggi telah banyak melahirkan pendekar antikorupsi, cendekia yang dengan
kesungguhan mendermakan energi dan pemikirannya untuk melawan korupsi. Ada
tokoh besar seperti Mahfud MD dan Artidjo Alkostar (UII), Denny Indrayana
(UGM), juga Saldi Isra (Unand). Tetapi kiprah mereka secara individual tidak cukup
strategis untuk melawan korupsi yang telanjur masif. Oleh karena itu, peran
perguruan tinggi dalam pemberantasan korupsi harus terlembaga, terencana, dan
berkelanjutan.
Catatan menunjukkan
sekitar 80 persen pelaku tindak pidana korupsi adalah lulusan perguruan
tinggi. Meskipun ini aib yang memalukan, perguruan tinggi tak perlu
membantah. Sebaliknya, catatan itu patut dijadikan sarana merefleksikan diri
agar ke depan dapat mengembangkan pendidikan yang baik agar setiap alumni
yang diluluskannya adalah pendekar antikorupsi.
Untuk memastikan lahirnya
alumni antikorupsi, perguruan tinggi harus memastikan bahwa dirinya sendiri
antikorupsi. Ikhtiar ini telah dan terus dilakukan dengan dua cara, yaitu
menyiapkan aturan yang ketat dan membangun budaya akademik yang
berintegritas. Dua pendekatan ini tak bisa saling dipisahkan karena bersifat
resiprokal, saling menguatkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar