Gejolak
Internal Iran
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan
Internasional
|
KORAN
SINDO, 10 Januari 2018
ALIH-alih tumbuh menjadi
gerakan politik yang besar, aksi unjuk rasa di Iran mendapat tantangan berat
sebelum berkembang. Minggu-minggu terakhir tahun 2017 di Iran telah muncul
serangkaian aksi protes massa antipemerintah dengan jumlah peserta yang besar
seperti yang terjadi pada 2009, namun ditutup dengan aksi massa tandingan propemerintah
dengan jumlah yang lebih besar pula. Beberapa tokoh politik termasuk mantan
Presiden Mahmoud Ahmadinejad bahkan ikut ditangkap dan dikenakan tahanan
rumah.
Aksi unjuk rasa tersebut
akhirnya dapat dikendalikan oleh pemerintah yang berkuasa. Kita lihat bahwa
di minggu-minggu ke depan akan menjadi pertaruhan bagi aksi massa
antipemerintah. Apakah mereka akan melanjutkan aksi politik itu walau dengan
risiko dibalas dengan aksi tekanan yang makin keras dari pemerintah, atau
akan meredup dengan sendirinya karena kurang kuatnya dorongan?
Berikut beberapa pertanda
yang muncul. Pertama adalah persaingan ideologis di dalam gerakan aksi unjuk
rasa. Protes aksi unjuk rasa meliputi banyak hal; mulai protes kenaikan harga
barang hingga perubahan rezim autokrasi.
Keberagaman tuntutan
tersebut awalnya adalah modal besar untuk menggalang partisipasi massa yang
lebih besar, tetapi pada akhirnya berpotensi memecah gerakan aksi massa
ketika harus berhadapan dengan pemerintah. Aksi tersebut telah menelan
kematian 22 orang termasuk 2 polisi sejak 28 Desember.
Human Rights News Agency
telah melaporkan bahwa di penjara Evin di Teheran saja, pihak berwenang
mendaftarkan setidaknya 423 tahanan antara 31 Desember 2017 dan 1 Januari
2018. Ratusan tahanan lainnya diyakini ditahan dalam kondisi padat di bagian
“karantina” penjara Evin, yang hanya memiliki kapasitas sekitar 180 orang.
Protes terhadap situasi
ekonomi awalnya adalah pemicu yang mendorong terjadi aksi massa dan umumnya
dilakukan kelompok anak muda dalam struktur demografi Iran yang tidak
mendapatkan pekerjaan dan para kelas pekerja yang mendapatkan upah yang
rendah. Kelompok pekerja itu sendiri sebetulnya adalah kelompok yang selama
ini melakukan protes terkait kebijakan ekonomi di Iran, terutama terkait upah
rendah pada saat kelas menengah belum merasakan dampak tersebut secara
langsung atau bila merasakan tidak berani bersuara lantang.
Di sisi lain, secara
politis, atmosfer politik di Iran adalah konservatif, yaitu dalam arti
mayoritas penduduk di Iran setuju dengan sistem politik teokratik yang
berlangsung. Kelompok reformis biasanya yang menjadi oposan dan baru
menggapai kekuasaan setelah Ahmadinejad kalah dalam pemilu.
Kelas menengah yang sering
melakukan demonstrasi biasanya juga adalah kelas menengah dari kalangan
reformis tersebut. Hal ini sudah menjadi tradisi pasca-Revolusi Islam Iran
yang terjadi pada 1979.
Basis ideologi reformis
biasanya yang menjadi dasar gerakan protes yang terjadi di Iran. Hal ini
terjadi misalnya pada 2009 lalu, di mana aksi protes menentang hasil pemilu
yang dituduh penuh kecurangan sehingga memenangkan Mahmoud Ahmadinejad
sebagai PM Iran yang didukung kelompok konservatif. Gerakan ini disebut
dengan Green Movement.
Masyarakat yang
berideologi reformis ini yang awalnya memulai aksi pada Desember 2017 di
Mashhad, kota terbesar kedua setelah Teheran. Namun demikian, ketika aksi
juga bermunculan di Kota Qom, Kota Isfahan, dan beberapa kota lain di mana
basis kelompok konservatif adalah yang terbesar, tuntutan sudah mulai diarahkan
terhadap protes dan tuntutan perubahan rezim terhadap pemerintahan yang
berkuasa saat ini yang dipimpin Hassan Rouhani.
Kompetisi untuk saling
mengklaim gerakan ini bisa jadi membingungkan kita. Apakah gerakan tersebut
didominasi kelompok reformis atau kelompok konservatif.
Basis ideologis kelompok
reformis adalah menuntut berkurangnya peran Velayat-e Faqih atau Wali Fakih
dalam politik di Iran yang saat ini berkuasa dalam sistem politik ekonomi dan
politik. Pimpinan puncak dari lembaga ini adalah Ayatollah Ali Khamenei yang
juga berperan sebagai pemimpin Revolusi Islam Iran menggantikan Ali Khomeini
yang wafat 28 tahun lalu.
Banyak bantuan finansial
yang dialokasikan kepada lembaga-lembaga keagamaan atau kelompok-kelompok
yang direstui oleh Wali Fakih ini. Hal ini yang memicu protes masyarakat.
Di sisi lain, kita juga
melihat bahwa kelompok konservatif, terutama yang diwakili oleh tampilnya
Mahmoud Ahmadinejad, adalah kelompok yang justru mendukung Velayat-e Faqih.
Secara praktis, ideologis mereka bertentangan dengan kelompok reformis.
Kelompok konservatif ini
bahkan sangat berkepentingan dengan lembaga Wali Faqih ini, karena Ayatollah
Ali Khamenei yang telah berusia 78 tahun akan berakhir masa kekuasaannya
seiring dengan usianya yang menua dan fisiknya yang tidak lagi prima.
Kekuasaannya tentu akan beralih kepada mereka yang dihormati dalam soal agama
Islam serta pengalaman dalam pemerintahan.
Salah satu figur yang
dianggap dapat mempersatukan dan menjadi pengganti adalah Mohammad Reza
Mahdavi Kani. Namun sayangnya, dia wafat pada 2014 yang akhirnya menimbulkan
ketidakpastian.
Beberapa nama lain yang
disebut adalah Saeed Jalili, Mahmoud Hashemi Shahroudi, Mohammad Taqi
Mesbah-Yazdi, dan Ayatollah Abbas Vaez Tabas. Dua cucu dari pemimpin Revolusi
Iran Ayatollah Ali Khamenei adalah Mojtaba Khamenei dan Hassan Khomeini juga
menjadi kandidat terkuat. Nama terakhir yang juga ramai diperbincangkan
adalah Ibrahim Raisi yang pernah menjadi kandidat presiden tahun 2013, namun
kalah oleh Hasan Rouhani.
Oleh sebab itu, titik
persinggungan antara kelompok reformis dan konservatif menyasar pada suksesi
atau penggantian pemimpin Wali Faqih ini. Oleh sebab itu, pernyataan politik
pemerintah berkuasa kepada demonstran juga berbeda-beda.
Pemerintah secara diplomatis
bersikap “lunak” dengan mempersilakan aksi unjuk rasa untuk dilakukan. Hal
ini karena pemerintah memahami bahwa mereka yang berunjuk rasa adalah bagian
dari masyarakat yang juga memenangkan pemerintahan reformis saat ini di Iran.
Di sisi lain, mereka bersikap keras terhadap kelompok oposisi yang berasal
dari kelompok konservatif.
Kita masih akan melihat
beberapa aksi unjuk rasa di beberapa hari mendatang. Pemerintah yang berkuasa
juga berhasil memobilisasi massa pendukung mereka untuk turun ke jalan dengan
jumlah yang tidak kalah banyak. Hal ini tentu semakin menguatkan legitimasi
pemerintah terutama di mata dunia internasional.
Selain itu pemerintah juga
memiliki strategi untuk melobi kaum reformis untuk menghentikan aksi unjuk
rasa mereka. Pemerintahan mencoba meyakinkan para demonstran kelompok
reformis bahwa apabila aksi itu terus berlanjut akan membuat kelompok garis
keras atau konservatif menjadi tambah kuat; dan bila itu terjadi,
perekonomian dan politik Iran akan jauh dari cita-cita kelompok reformis itu
sendiri.
Saya tidak tahu apakah
para kelompok reformis akan mengikuti imbauan itu atau tidak. Apabila ada
kekuatan-kekuatan luar yang ikut bermain dalam politik dalam negeri di Iran,
bisa jadi protes itu terus berlanjut dan itu dapat semakin memperkeruh
instabilitas yang sudah terjadi di Timur Tengah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar