Pasangan
Calon Pilkada 2018
Aditya Perdana ; Direktur Pusat Kajian
Politik FISIP UI
|
KOMPAS,
20 Januari
2018
Pada 10 Januari 2018,
semua provinsi dan kabupaten/kota yang akan melaksanakan pemilihan kepala
daerah langsung telah menyelesaikan tahap pendaftaran calon secara serentak. Berdasarkan
data yang tercantum dalam laman Komisi Pemilihan Umum (KPU) per 10 Januari
malam, tercatat sebanyak 573 pasangan calon (paslon) mendaftar untuk
bertarung di 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. Dari data yang sudah
dapat diakses oleh publik dengan baik, ada beberapa isu menarik yang
diperhatikan, di antaranya jumlah paslon di setiap daerah, status pekerjaan,
aspek jender, dan pola koalisi yang terbangun. Tulisan singkat ini ingin
memberikan alasan dan argumen politik dari isu-isu tersebut.
2-3
paslon
Berdasarkan data sementara
pencalonan, diperkirakan hanya ada 2-3 paslon yang berkompetisi di pilkada
setiap wilayah pada Juni mendatang. Sebanyak 18 persen wilayah memiliki dua
pasangan, 34 persen wilayah memiliki tiga paslon, dan 25 persen memiliki
empat paslon. Sebanyak 7,6 persen wilayah, untuk sementara, akan diikuti oleh
satu paslon alias calon tunggal. Apabila dibandingkan dengan periode pilkada
sebelumnya (2017 dan 2015), terjadi peningkatan jumlah paslon tunggal,
terjadi penurunan jumlah dua paslon, dan terjadi peningkatan jumlah tiga dan
empat paslon.
Calon tunggal meningkat
dikarenakan partai politik ingin mencalonkan kandidat yang populer dan
disukai pemilih, seperti petahana. Sebaliknya, 3-4 calon yang diajukan di
rata-rata wilayah belum tentu memiliki potensi kemenangan yang berbeda jika
dibandingkan dalam pencalonan tunggal. Meski demikian, bagi elite partai
politik, terutama di pusat, berkompetisi di setiap daerah tersebut merupakan
bagian tak terpisahkan dalam rangka persiapan Pemilu 2019 untuk melihat
kesiapan mesin partai.
Sementara dalam pilihan
jender, data tersebut menyatakan bahwa sebanyak 8,8 persen perempuan akan
terlibat dalam pilkada pada tahun 2018. Sebanyak 6,1 persen perempuan
terlibat di pemilihan gubernur, 7,4 persen perempuan mengikuti pemilihan
bupati, dan 12,1 persen mengikuti pemilihan wali kota. Apabila dibandingkan
dengan pilkada sebelumnya, Pilkada 2018 mengalami peningkatan jumlah
perempuan lebih sedikit (tahun 2017 sebanyak 7,4 persen dan 2015 sebanyak 7,3
persen).
Meskipun dalam pemilu
legislatif telah ditetapkan adanya langkah afirmatif terhadap kandidat
perempuan dalam pencalonan, hal yang sama sulit diterapkan dalam pilkada.
Artinya, kandidat perempuan di pilkada masih dianggap sebelah mata oleh elite
partai politik laki-laki karena kurang modal finansial dalam kampanye dan
juga potensi keterpilihannya rendah. Oleh karena itu, elite partai merasa
bahwa kandidat perempuan dianggap bukan prioritas utama dalam pilkada saat
ini.
Petahana, anggota Dewan,
atau jenderal?
Sejumlah 1.102 orang mencalonkan diri di 167
wilayah. Dari angka tersebut, sebanyak 19 persen adalah petahana yang
mencalonkan diri dalam posisi yang sama ataupun posisi yang berbeda dan lebih
tinggi daripada sebelumnya. Sementara para anggota DPR, DPRD provinsi, dan
kabupaten/kota sebanyak 20 persen juga ikut mencalonkan dengan posisi yang
beragam.
Sisanya adalah PNS dan
swasta yang ikut terlibat dalam pencalonan ini. Lalu bagaimana aparat
TNI/Polri? Di tahun ini, ada delapan perwira TNI dan tujuh aparat Polri yang
mengikuti pilkada. Hal ini menunjukkan peningkatan apabila dibandingkan pada
tahun lalu, hanya sebanyak dua orang dari TNI dan dua orang dari Polri.
Data berbasiskan latar belakang pekerjaan
ini menunjukkan beberapa hal penting. Pertama, para petahana adalah peserta
yang dinantikan dan ditunggu oleh pemilih. Dengan demikian, wajar apabila
para petahana ini memutuskan lanjut dalam kompetisi pilkada baik dalam
mempertahankan posisinya saat ini maupun bergeser ke posisi yang lebih tinggi
seperti gubernur.
Kedua, para politisi yang
duduk di lembaga legislatif pun juga calon-calon yang diyakini akan mengikuti
pertarungan pilkada. Selain memiliki ikatan batin dengan pemilih di
daerah-daerah pemilihannya, pengetahuan dan keterampilan dalam tata kelola
pemerintahan adalah modal penting yang sudah mereka kuasai.
Ketiga, para aparat
pemerintah, baik militer maupun sipil, juga memutuskan untuk berkompetisi di
pilkada ini. Sayangnya, para jenderal TNI/Polri yang masih aktif tersebut
diyakini sudah bergerilya dalam memperkenalkan namanya di daerah beberapa
bulan sebelum proses pencalonan di KPU berakhir.
Menguatnya
poros koalisi
Banyak orang berpendapat
bahwa pola koalisi dalam pilkada saat ini akan relatif sama dengan Pemilu
2014 dan juga bagian dari persiapan Pemilu 2019. Saya melihat terjadi
penguatan poros koalisi yang dipimpin oleh PDI-P dan Gerindra di 24 provinsi
yang sudah dan sedang melaksanakan pilkada. Sayangnya, poros koalisi di
provinsi tersebut tidaklah konsisten.
Misalnya, Gerindra tidak
selalu melakukan koalisi dengan PKS di semua provinsi yang ada; PDI-P pun
juga demikian, tidak selalu dengan Hanura, Nasdem, PPP, ataupun Golkar.
Delapan poros PDI-P dan lima poros Gerindra yang terbentuk dalam pilkada
provinsi di 2015 dan 2017 hanya berhasil menang di tiga dan empat provinsi.
Pembentukan koalisi
sebenarnya lebih mengedepankan hal yang pragmatis, yaitu soal kecukupan suara
atau jumlah kursi yang disyaratkan oleh KPUD. Meskipun elite parpol
mengedepankan aspek kedekatan program atau ideologis dalam interaksi awal
pembentukan koalisi, pada akhirnya pembentukan itu hanya ingin
memperhitungkan suara sebagai syarat tersebut.
Di luar isu-isu yang
sebenarnya dapat dilihat dalam data dan angka statistik di sistem informasi
pilkada dalam laman KPU RI tersebut, ada hal yang juga relevan dibicarakan,
yaitu masih menguatnya calon dari dinasti politik dan orang kuat lokal. Siapa
yang dimaksud dinasti politik? Paling tidak, saya mereferensikan mereka yang
memiliki ikatan emosional dan kekerabatan dengan pejabat saat ini ataupun
sebelumnya.
Sementara ”orang kuat
lokal” (local strongmen) adalah kandidat yang memiliki afiliasi ataupun
kedekatan politik dengan tokoh informal, klan, keluarga, ataupun komunitas
tertentu di tingkat lokal. Paling tidak, ada 12 calon yang diidentifikasi
dari dinasti dan 10 orang yang berafiliasi dengan orang kuat lokal. Fenomena
ini, tampaknya, terus berlanjut dan dipelihara oleh elite politik nasional
dan lokal karena memiliki potensi dalam kemenangan pilkada.
Inilah kiranya profil para
paslon yang akan bertarung dalam Pilkada 2018. Kita akan terus memantau
kiprah mereka dalam masa kampanye yang akan segera dimulai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar