Jumat, 19 Januari 2018

Katanya ”Wakil Tuhan”

Katanya ”Wakil Tuhan”
M Subhan SD  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                      KOMPAS, 18 Januari 2018



                                                           
Andai saja Nasruddin Hoja masih hidup, entah apa yang dikisahkannya tentang hakim di Indonesia? Nasruddin yang hidup sekitar abad ke-13 pada era Seljuk (Turki) adalah sufi terkenal dengan kisah-kisah aneh nan jenaka, humor sarat makna, anekdot yang menyengat, satir yang getir. Kisah-kisah tentang keadilan dan hakim yang lalim menjadi anekdot yang melekat dalam hidup Nasruddin Hoja. Kisah-kisah jenaka Nasruddin telah menyebar ke banyak negara.

Jadi, kira-kira apa yang akan dikisahkan Nasruddin Hoja kalau seorang Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dua kali terkena sanksi etik? Masak perlu sampai tiga kali? Harusnya, untuk seorang hakim—apalagi dengan posisi ketua MK—yang memiliki atribusi sebagai ”wakil Tuhan”, sekali pun kesalahan sesungguhnya adalah hal keterlaluan. Ketua MK Arief Hidayat sudah dua kali dinyatakan melanggar kode etik hakim konstitusi.

Kasus pertama pada 2016 karena memberi katebelece untuk jaksa muda Zainur Rochman kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Widyo Pramono. Kasus kedua, ini yang terbaru, melakukan pertemuan tanpa undangan resmi dengan sejumlah politikus Komisi III DPR terkait pencalonan sebagai hakim konstitusi untuk periode kedua. Arief bertemu dengan para politikus di hotel pada 23 Oktober 2017. Dalam pertemuan itu dibahas jadwal uji kelayakan dan kepatutan Arief sebagai calon hakim konstitusi untuk periode kedua yang diajukan DPR. Periode pertama Arief berakhir April 2018.

Dewan Etik MK yang terdiri dari Achmad Roestandi, Salahuddin Wahid, dan Bintan Regen Saragih pun memutuskan Arief dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran ringan karena melakukan pertemuan dengan politikus tanpa undangan resmi. Kalau ada hakim bertemu politikus terkait lobi politik, wah, gawat deh. Hakim sewajibnya steril dari politik apa pun juga. Memang, dua anggota DPR, yakni Trimedya Panjaitan (PDI-P) dan Arsul Sani (PPP) membantah, kata Salahudin Wahid, tetapi Desmond J Mahesa (Gerindra) membenarkan ada lobi politik dan transaksi perkara dalam pertemuan itu (Kompas, 17/1). Di politik itu tidak ada makan siang gratis. Rasanya sulit membaca pertemuan itu ”tidak ada motif apa-apa”.

Kalau benteng etik sudah jebol, lalu apa yang bisa memagari hakim untuk tidak tergoda. Bukankah hakim itu harus independen? Katanya ”wakil Tuhan”. Sebuah posisi yang mulia. Dalam usia 15 tahun, MK sudah beberapa kali diguncang prahara. Apakah Arief tidak belajar pada kasus Akil Mochtar dan Patrialis Akbar—keduanya tersangkut kasus korupsi—yang membuat MK tercoreng. Pasca-dua kasus itu, sebetulnya tugas Arief adalah membersihkan noktah hitam yang melekat di MK, bukan malah menambahi hitam noktah-noktah itu.
Jika hakim saja tak bisa menjaga marwah, lalu jangan salahkan publik kalau produk hukumnya tidak dipercaya. Pepatah ”sekali lancung ke ujian, seumur hidup tak dipercaya” yang diajarkan sejak masa kanak-kanak tak boleh dilupakan. Apalagi kini banyak aparat hukum terbelit masalah. Ada pengacara ditahan KPK karena dinilai menghalang-halangi penyidikan kasus korupsi, seperti Fredrich Yunadi saat membela Setya Novanto, tersangka kasus korupsi KTP elektronik.

Ada juga jaksa-jaksa yang nakal. Walaupun telah ditindak oleh Kejaksaan Agung, jumlah mereka juga tak berkurang. Sepanjang 2017, sebagaimana data Kejaksaan Agung 2017 yang dipaparkan di Jakarta, Selasa (8/1), ada 207 jaksa yang ditangani bidang pengawasan kejaksaan pada 2017. Memprihatinkan karena jumlah jaksa nakal justru meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu 129 jaksa. Kalau aparat hukum bermasalah, bagaimana nasib penegakan hukum di negeri ini? Dan, jika benteng terakhir, yaitu hakim, juga bermasalah, awan hitam menyelimuti langit hukum di negeri ini.

Catatan akhir, di zaman Nasruddin Hoja ada hakim yang suka menerima suap. Suatu hari ia terjatuh ke sungai. Seseorang memberikan pertolongan, ”Berikan tanganmu, akan kutarik.” Tetapi, si hakim diam saja. Ketika Nasruddin lewat, dia bilang, ”Kalian tak tahu cara menyelamatkannya.” Sebagai pejabat, hakim tidak biasa dengan ucapan ”berikan”, tetapi ”terimalah”. Nasruddin segera berkata, ”Terimalah tanganku, nanti kutarik”. Hakim pun mengulurkan tangannya. Itulah salah satu kisah di zaman Nasruddin sekitar sembilan abad silam. Entah kalau sekarang…. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar