Katanya
”Wakil Tuhan”
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
18 Januari
2018
Andai saja Nasruddin Hoja
masih hidup, entah apa yang dikisahkannya tentang hakim di Indonesia? Nasruddin
yang hidup sekitar abad ke-13 pada era Seljuk (Turki) adalah sufi terkenal
dengan kisah-kisah aneh nan jenaka, humor sarat makna, anekdot yang
menyengat, satir yang getir. Kisah-kisah tentang keadilan dan hakim yang
lalim menjadi anekdot yang melekat dalam hidup Nasruddin Hoja. Kisah-kisah
jenaka Nasruddin telah menyebar ke banyak negara.
Jadi, kira-kira apa yang
akan dikisahkan Nasruddin Hoja kalau seorang Ketua Mahkamah Konstitusi sampai
dua kali terkena sanksi etik? Masak perlu sampai tiga kali? Harusnya, untuk
seorang hakim—apalagi dengan posisi ketua MK—yang memiliki atribusi sebagai
”wakil Tuhan”, sekali pun kesalahan sesungguhnya adalah hal keterlaluan.
Ketua MK Arief Hidayat sudah dua kali dinyatakan melanggar kode etik hakim
konstitusi.
Kasus pertama pada 2016
karena memberi katebelece untuk jaksa muda Zainur Rochman kepada Jaksa Agung
Muda Tindak Pidana Khusus Widyo Pramono. Kasus kedua, ini yang terbaru,
melakukan pertemuan tanpa undangan resmi dengan sejumlah politikus Komisi III
DPR terkait pencalonan sebagai hakim konstitusi untuk periode kedua. Arief
bertemu dengan para politikus di hotel pada 23 Oktober 2017. Dalam pertemuan
itu dibahas jadwal uji kelayakan dan kepatutan Arief sebagai calon hakim
konstitusi untuk periode kedua yang diajukan DPR. Periode pertama Arief
berakhir April 2018.
Dewan Etik MK yang terdiri
dari Achmad Roestandi, Salahuddin Wahid, dan Bintan Regen Saragih pun
memutuskan Arief dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran ringan karena
melakukan pertemuan dengan politikus tanpa undangan resmi. Kalau ada hakim
bertemu politikus terkait lobi politik, wah, gawat deh. Hakim sewajibnya
steril dari politik apa pun juga. Memang, dua anggota DPR, yakni Trimedya
Panjaitan (PDI-P) dan Arsul Sani (PPP) membantah, kata Salahudin Wahid,
tetapi Desmond J Mahesa (Gerindra) membenarkan ada lobi politik dan transaksi
perkara dalam pertemuan itu (Kompas, 17/1). Di politik itu tidak ada makan
siang gratis. Rasanya sulit membaca pertemuan itu ”tidak ada motif apa-apa”.
Kalau benteng etik sudah
jebol, lalu apa yang bisa memagari hakim untuk tidak tergoda. Bukankah hakim
itu harus independen? Katanya ”wakil Tuhan”. Sebuah posisi yang mulia. Dalam
usia 15 tahun, MK sudah beberapa kali diguncang prahara. Apakah Arief tidak
belajar pada kasus Akil Mochtar dan Patrialis Akbar—keduanya tersangkut kasus
korupsi—yang membuat MK tercoreng. Pasca-dua kasus itu, sebetulnya tugas
Arief adalah membersihkan noktah hitam yang melekat di MK, bukan malah
menambahi hitam noktah-noktah itu.
Jika hakim saja tak bisa
menjaga marwah, lalu jangan salahkan publik kalau produk hukumnya tidak
dipercaya. Pepatah ”sekali lancung ke ujian, seumur hidup tak dipercaya” yang
diajarkan sejak masa kanak-kanak tak boleh dilupakan. Apalagi kini banyak
aparat hukum terbelit masalah. Ada pengacara ditahan KPK karena dinilai
menghalang-halangi penyidikan kasus korupsi, seperti Fredrich Yunadi saat
membela Setya Novanto, tersangka kasus korupsi KTP elektronik.
Ada juga jaksa-jaksa yang
nakal. Walaupun telah ditindak oleh Kejaksaan Agung, jumlah mereka juga tak
berkurang. Sepanjang 2017, sebagaimana data Kejaksaan Agung 2017 yang
dipaparkan di Jakarta, Selasa (8/1), ada 207 jaksa yang ditangani bidang
pengawasan kejaksaan pada 2017. Memprihatinkan karena jumlah jaksa nakal justru
meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu 129 jaksa. Kalau aparat
hukum bermasalah, bagaimana nasib penegakan hukum di negeri ini? Dan, jika
benteng terakhir, yaitu hakim, juga bermasalah, awan hitam menyelimuti langit
hukum di negeri ini.
Catatan akhir, di zaman
Nasruddin Hoja ada hakim yang suka menerima suap. Suatu hari ia terjatuh ke
sungai. Seseorang memberikan pertolongan, ”Berikan tanganmu, akan kutarik.”
Tetapi, si hakim diam saja. Ketika Nasruddin lewat, dia bilang, ”Kalian tak
tahu cara menyelamatkannya.” Sebagai pejabat, hakim tidak biasa dengan ucapan
”berikan”, tetapi ”terimalah”. Nasruddin segera berkata, ”Terimalah tanganku,
nanti kutarik”. Hakim pun mengulurkan tangannya. Itulah salah satu kisah di
zaman Nasruddin sekitar sembilan abad silam. Entah kalau sekarang…. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar