Inovasi
Disruptif
Muhammad Chatib Basri ; Pengajar Fakultas
Ekonomi dan Bisnis
Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
09 Januari
2018
Usianya belum lagi tiga
puluh tahun. Gadis berambut pirang tersebut masih muda, tetapi ide dan
kecerdasannya mengagumkan. Saya terkesima. Saat itu musim panas tahun 2015,
tetapi angin sejuk bertiup dari semenanjung. Saya jadi ingat Mark Twain yang
mengatakan, musim yang paling dingin di Amerika Serikat adalah musim panas di
San Francisco. Twain benar.
Gadis itu menemani saya
saat saya diundang mengunjungi beberapa perusahaan teknologi utama di Silicon
Valley. Ketika saya bertanya, berapa rata-rata umur yang bekerja di sana, ia
menjawab, ”Belakangan ini semakin tua, akhir 20 tahunan.” Ada nada kekecewaan
di akhir kalimatnya. Saya tersedak. Saat itu saya sadar—bagi anak-anak muda
di Silicon Valley—saya adalah dinosaurus!
Redefinisi
pekerjaan
Di sini, saya melihat
bagaimana anak-anak muda bicara tentang ide-ide yang cemerlang. Lalu
bagaimana regulator menempatkan dirinya dalam dunia yang berubah ini? Terus
terang saya tak pandai benar menjawabnya. Dunia juga masih mereka-reka.
Namun, ada beberapa hal yang mungkin perlu dibahas.
Pertama, revolusioner kah
perubahan ini? Kita pernah mengalami revolusi industri pertama, yang
mentransformasi metode produksi, tatanan sosial, meningkatkan produktivitas,
dan mengubah taraf hidup. Penemuan mesin uap telah mengubah metode produksi.
Industri tekstil berkembang pesat, tetapi kita mencatat sejarah yang kelam
terhadap kaum buruh. Dengan sedih kita membaca novel Oliver Twist karya
Charles Dickens atau Germinal karya Emile Zola. Namun, mimpi gelap bahwa
mesin akan menggantikan buruh tak sepenuhnya benar.
Manusia melampaui musim
dengan sebuah catatan penting dari Joseph Schumpeter: destruksi kreatif dalam
jangka panjang justru memberikan kesempatan kerja baru. Ia juga mendorong
kemakmuran. Barry Eichengreen dari University of California Berkeley menulis:
yang terjadi bukanlah hilangnya pekerjaan, melainkan redefinisi pekerjaan.
Tengok saja, profesi perawat, akuntan, atau pekerjaan lain mungkin tak
hilang. Akan tetapi, ke depan, mereka membutuhkan kemampuan analitik untuk
memanfaatkan big data dan teknologi.
Ini soalnya: transformasi
untuk keahlian baru membutuhkan pendidikan atau pelatihan. Sayangnya, sarana
pelatihan pemerintah terbatas. Anggaran pemerintah jelas terbatas. Lalu
bagaimana? Ajak sektor swasta untuk melakukan pelatihan, on the job training.
Caranya, dengan memberikan potongan pajak apabila mereka melakukan pelatihan
atau pendidikan vokasi untuk keahlian baru.
Kedua, stress test yang
dilakukan Bank Sentral Inggris, Bank of England, menunjukkan bagaimana
teknologi keuangan (tekfin) memiliki dampak kepada penurunan pendapatan
perbankan, walau perlu dicatat: di dalam jangka panjang akan meningkatkan
kesempatan bagi dunia perbankan. Di sejumlah negara di dunia, termasuk
Indonesia, kita melihat tarik-menarik terjadi antara bisnis konvensional dan
yang baru. Kita membaca soal Uber, Gojek, tekfin, Airbnb, dan konflik yang
semakin keras.
Mengikuti konsep ekonom
Mancur Olson dalam karya seminalnya, The Logic of Collective Action, kita
bisa menduga: mereka yang terpinggirkan akibat inovasi disruptif ini
terkonsentrasi dan terorganisasi. Sebaliknya mereka yang mendapatkan manfaat
dari perubahan ini tersebar luas. Akibatnya: tekanan politik dari kelompok
yang merasa dirugikan akan lebih kuat dibanding konsumen penikmat digital
teknologi.
Apabila ini terjadi, di
dalam sistem demokrasi, ada kecenderungan regulator akan menjaga status quo
ketimbang mendukung inovasi. Padahal, inovasi sangat dibutuhkan. Saya tak
bisa membayangkan bagaimana inklusi keuangan atau pertumbuhnan ekonomi bisa
meningkat apabila aturan mengenai teknologi keuangan begitu kaku. Dalam hal
ini, regulator harus menarik garis yang adil antara inovasi dan perlindungan.
Mengubah
cara pikir
Ketiga, regulator tidak
lagi bisa menggunakan cara pikir lama. Revolusi dalam teknologi informasi ini
menerobos hal-hal yang selama ini dianggap tak mungkin. Mereka yang belajar
ilmu ekonomi tahu, nyaris tak mungkin menerapkan harga yang berbeda
(diskriminasi harga) untuk tiap individu. Alasannya, informasi per individu
terbatas. Kalaupun bisa, harganya sangat mahal dan hanya diperuntukkan bagi
pelanggan yang amat kaya (high networth individual).
Ke depan, informasi dari
big data memungkinkan untuk mempersonalisasi produk (bespoke), dan itu bisa
dilakukan secara masif dengan biaya yang relatif murah. Artinya, produk atau
harga dapat disesuaikan dengan selera dan daya beli individu. Saya tak akan
terkejut jika asuransi, misalnya, bisa disesuaikan menurut kebutuhan
individu. Jangka waktunya dapat disesuaikan jadi hitungan jam atau hari.
Orang tak perlu membayar premi yang mahal karena waktunya pendek dan
tujuannya spesifik. Saya menduga, di masa depan tingkat bunga bank dapat
berbeda untuk individu berdasarkan profil risikonya, juga berbeda untuk jenis
investasinya. Akibatnya, biaya monitor (monitoring cost) dalam pinjaman menjadi
lebih murah. Berbagai ceruk pasar (niche market) akan tercipta dan setiap
waktu berubah. Regulasi sulit untuk mengejar inovasi ini.
Bulan November 2017, di
Tokyo, saya sempat mendiskusikan hal ini dengan Otoritas Jasa Keuangan
Jepang. Kita setuju, cara pikir harus diubah. Regulasi berubah dari statis
menjadi supervisi yang dinamis. Ia tak lagi mengatur hal-hal yang rinci.
Regulasi lebih fokus kepada prinsip-prinsip dasar, misalnya perlindungan
konsumen, level playing field, dan menjamin keterbukaan. Jika ia mulai
mengatur masalah yang teknis dan rinci, ada risiko regulasi akan menjadi
usang karena inovasi terjadi setiap waktu.
Di sinilah masalah akan
timbul: bisakah regulator menjadi dinamis dan luwes. Kritik utama terhadap
birokrasi adalah sifatnya yang tak luwes. Birokrasi juga bergerak atas dasar
prinsip keseragaman dalam aturan. Lalu bagaimana ia harus menghadapi dinamika
produk yang sifatnya semakin personal, luwes, dan membutuhkan diskresi?
Ketimpangan
pendapatan
Ketiga, inovasi disruptif
dalam jangka pendek dapat mendorong ketimpangan pendapatan. Ia akan
memberikan keuntungan berlipat pada sekelompok kecil masyarakat yang berhasil
mengembangkan idenya, sementara dalam jangka pendek pekerja tak terampil
terancam kehilangan pekerjaan. Dalam jangka panjang, pekerja mungkin akan
mendapatkan pekerjaan baru, tetapi ia membutuhkan keahlian baru juga. Mereka
yang tak punya keterampilan baru akan terpinggirkan.
Proses penyesuaian ini
bisa sangat pahit. Dan ini memiliki implikasi ekonomi politik yang serius.
Bulan Oktober 2017, ketika saya berbicara untuk sebuah konferensi di Harvard
University, saya sempat berdiskusi panjang dengan Jeffry Frieden, guru besar
ekonomi politik di Harvard. Kami membahas mengapa tren anti globalisasi dan
politik identitas meningkat dan berkembang di banyak negara, termasuk Amerika
Serikat (AS), Eropa, Australia, Indonesia, dan negara lain.
Menurut Frieden ini tidak
spesifik AS, Indonesia, atau Eropa. Ia terjadi di sejumlah negara pada saat
yang bersamaan. Karena itu, penjelasannya tidak bisa khusus satu negara.
Frieden mengajukan hipotesis: ketimpangan pendapatan dan kehilangan
pekerjaanlah yang mendorong menguatnya politik identitas. Konsisten dengan
ini, ekonom Dani Rodrik mengingatkan, ketimpangan ekonomi akan menimbulkan
polarisasi politik apakah lewat politik identitas atau polarisasi kaya dan
miskin.
Ini tema besar dalam
ekonomi politik. Tak ada jawaban tunggal untuk masalah ini. Faktor politik,
ideologi, dan sosiologis lain tentu berperan. Namun, lepas dari itu,
hipotesis Frieden bisa jadi relevan ke depan. Erik Brynjolfsson dari
Massachusetts Instituteof Technology mengingatkan, teknologi menjadi faktor
yang penting dalam menjelaskan ketimpangan pendapatan di AS saat ini.
Menariknya: alih-ahli
menuding teknologi sebagai penyebab, reaksi yang muncul adalah politik
identitas ala Donald Trump. Saya kira pemerintah di sejumlah negara di dunia,
termasuk Indonesia, akan dihadapkan dalam pilihan sulit. Mengekang teknologi
dan inovasi akan membuat kemandekan dalam ekonomi, dan memperburuk
kesejahteraan. Kelas konsumen —saya enggan menyebutnya kelas menengah—adalah
professional complainers. Sebagai konsumen, mereka menikmati perubahan ini.
Mereka akan menuntut inovasi dilanjutkan. Kita ingat, bagaimana pelarangan
Gojek dibatalkan pemerintah dalam waktu sangat singkat karena protes
masyarakat.
Di lain pihak, ketimpangan
yang meningkat akan mendesak pemerintah berpihak. Di era demokrasi,
tarik-menarik ini akan lebih rumit. Pemerintah perlu memberikan perlindungan
agar proses penyesuaian ini tak terlalu pahit, tetapi tak mengekang inovasi.
Sulitnya: tak ada formula untuk ini. Dialog antara pelaku ekonomi digital dan
regulator menjadi amat penting. Sayangnya, waktu tak bersama kita. Perubahan
terjadi begitu cepat. Saya masih ingat kata-kata gadis belia itu ketika saya
menanyakan rata-rata umur pekerja di Silicon Valley , ”It is getting older
Sir, it is late twenties now”. Ada nada penyesalan dan khawatir di ujung
kalimatnya. Saya juga khawatir. Namun, untuk sesuatu yang lain: apabila tak
berubah, kita tinggal sejarah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar