Paradigma Baru Pendidikan Tinggi
Asep Saefuddin ;
Rektor Universitas Trilogi; Guru Besar Statistika FMIPA IPB
|
MEDIA INDONESIA,
03 Mei 2016
UNIVERSITAS di seluruh
dunia ini ialah tempat berkumpulnya orang-orang pintar, para intelektual, bahkan
para filsuf. Tingkat keleluasaan berpikir kelompok itu lebih tinggi jika
dibandingkan dengan masyarakat biasa. Karena itu, dikenal istilah-istilah
seperti kebebasan akademik, kebebasan mimbar, dan otonomi universitas. Kebebasan
berpikir itu memang diperlukan sebagai syarat berkembangnya ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Pada saat teknologi
informasi belum secanggih saat ini, dosen bisa dikatakan sebagai sumber utama
pembelajaran. Dosen menjadi tempat bertanya dan jawaban seputar ilmu
pengetahuan. Sumber belajar kedua ialah perpustakaan dengan buku-buku teks (text books), karya ilmiah dosen atau
mahasiswa, dan jurnal-jurnal. Semuanya berbentuk hard copy.
Tidak ada bentuk virtual. Kalaupun ada, paling modern
dalam bentuk pita dan disket yang disimpan di tempat khusus, gudang data
secara fisik, bukan virtual seperti
cloud atau sejenisnya. Artinya,
perpustakaan secara fisik sangat penting. Kampus tanpa perpustakaan seakan
makhluk tanpa jantung. Tidak ada denyut kehidupan. Itulah kehebatan kampus
pada saat pola teacher-centered
learning.
Penulis merasakan
peranan dosen dan perpustakaan itu pada saat kuliah S-1 di IPB (1976-1980),
S-1 di Universitas Paris XI Orsay Prancis (1984-1986), dan S-2/S-3 di
Universitas Guelph Kanada (1990-1996). Mahasiswa umumnya ialah generasi baby boomers yang umumnya gagap
teknologi. Waktu di IPB dan Orsay, nuansa virtual masih belum terasa.
Berbeda dengan suasana
di Guelph, arah-arah ke pemanfaatan teknologi informasi sudah mulai muncul. Internet
saat itu sudah ada, tapi masih sebatas e-mail berupa tulisan (text) tanpa gambar. Sistem operasi
komputer masih lambat dan terbatas walaupun denyut-denyut orientasi ke arah
komputerisasi sudah mulai marak. Mahasiswa Indonesia di luar negeri sudah
mulai berkomunikasi melalui e-mail dengan grup-grup diskusi milist sampai ke
berbagai negara. Kartu nama juga sudah mencantumkan alamat e-mail.
Para dosen sudah
mewajibkan mahasiswa untuk menganalisis data yang sumbernya diambil dari
server kampus. Mahasiswa memperoleh alamat e-mail dan kata sandi untuk akses
ke sumber data. Sivitas akademika memanfaatkan komputer kampus (mainframe) secara terpusat melalui CMS
(central management system). Bila
dibandingkan dengan keadaan saat ini memang masih jauh. Akan tetapi, proses
pembelajaran saat itu sudah menggunakan pola student-centered learning. Artinya, paradigma pendidikan sudah
mulai berubah. Dosen tidak lagi bertindak sebagai sumber utama belajar. Mereka
condong menjadi motivator dan fasilitator.
Pengajaran memang
masih ada, tetapi, selain memegang buku teks, dosen wajib menyampaikan
contoh-contoh kasus dari hasil riset mereka bersama mahasiswa pascasarjana
atau peserta postdoctoral. Karena itu, pengajaran dan riset menjadi satu kesatuan.
Pada dekade 1990 itu sudah terjadi pergeseran paradigma dari universitas
pengajaran ke universitas riset.
Internet of things
Berbeda dengan
generasi X apalagi generasi baby boomers, saat ini IoT (internet of things) sudah masuk ke berbagai sektor kehidupan,
tidak saja masalah ekonomi. Pada dekade 1990 memiliki alamat e-mail sudah
menjadi tanda melek internet. Itu pun masih terbatas di kalangan orang
tertentu. Saat ini kita bisa saksikan hampir semua pelajar SMA, SMP, bahkan
SD sudah mampu mengakses berbagai informasi melalui telepon cerdas. Pemuda
saat ini sering disebut generasi TGIF (Twitter, Google, Instagram, dan
Facebook) atau FANG (FB, Alibaba, Netflix, Google).
Pada suatu pertemuan
dengan mahasiswa, saya menerjemahkan TGIF sebagai thank God it's Jum'at, mereka pada tertawa. Kelebihan generasi
TGIF/FANG itu ialah kemudahan mereka untuk learn, unlearn, dan relearn.
Itu berbeda dengan generasi X dan baby
boomers yang cenderung konservatif, sulit menerima perubahan.
CMS yang dulu
menandakan manajemen sistem berbasis mainframe,
tetapi era saat ini CMS ialah cloud,
mobile, dan social media. Melalui
CMS terjadi revolusi dalam berbagai fasilitas yang berkaitan dengan data dan
operasinya. Berbagai informasi dan layanan iklan sudah tersimpan secara murah
melalui CMS. Data pun sudah semakin besar, cepat, beragam, dan tak
terstruktur yang saat ini dikenal dengan istilah big data.
Para ahli yang
berkecimpung dengan big data itu
pun bukan orang statistik saja. Bidang keilmuannya, dikenal sebagai data science, isinya sudah semakin
kompleks. Diperlukan kekuatan matematika, statistika, informatika, dan
kemampuan daya analisis secara transdisiplin.
Bila dunia bisnis
sudah terbiasa dengan IoT, sudah barang tentu dunia kampus jangan hanya
menjadi penonton. Tidak bisa lagi melakukan proses pembelajaran dengan
cara-cara lama berbasis teacher-centered
learning. Namun, harus masuk pola student-centered
learning atau bahkan community and
student centered learning. Kampus tidak bisa lagi mengklaim sebagai pusat
ilmu pengetahuan. Saat ini, masyarakat pun sudah semakin cerdas dan banyak
kreasi yang dimilikinya. Misalnya fenomena Go-Jek, jual beli daring, KTP-E,
e-passport, dan banyak lagi penggunaan internet untuk barang dan jasa ini (internet of things).
Ubah paradigma
Dunia universitas di
luar sudah marak dengan pola e-learning.
Generasi FANG bisa
menggali ilmu pengetahuan melalui MOOCs (massive
on-line open courses) yang bisa diperoleh secara gratis.
Banyak kampus besar
WCU (world class university) yang
tergabung ke dalam coursera, yakni
suatu grup yang memanfaatkan MOOCs untuk memperoleh sertifikat atau bahkan
gelar kesarjanaan dari universitas yang ada pada coursera. Mengapa coursera perlu kampus? Karena pola MOOCs
digabung proses pembelajaran peer dan diskusi secara fisik dengan dosen
universitas pemberi gelar atau sertifikat.
Kampus di Indonesia
saat ini belum ada yang bergabung dengan coursera.
Banyak faktor penyebab hal itu yang bermuara pada paradigma pendidikan kita
masih condong ke mindset lama. Kita
masih tabu dengan virtual learning,
pendidikan jarak jauh, pendidikan kelas jauh. Kita takut bahwa pola itu tidak
bermutu yang hanya menghasilkan gelar abal-abal.
Kita ngeri soal itu
sehingga banyak sekali regulasi-regulasi yang memproteksi (baca: mengekang)
perguruan tinggi.
Kalaupun ada, pola
MOOCs harus dilakukan pemerintah (Kementerian Ristek dan Dikti). Selalu ada
anggapan bahwa pemerintah lebih bisa daripada universitas. Kebiasaan itulah
yang menyebabkan kampus-kampus Indonesia telat mengantisipasi perubahan
zaman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar