ASEAN 2+3 Tidak Komprehensif
Rene L Pattiradjawane ;
Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 11 Mei 2016
Ketegangan akibat
penyanderaan warga Indonesia oleh kelompok Abu Sayyaf memicu pertemuan dan
mekanisme baru di lingkungan ASEAN sebagai 2+3 (menlu dan panglima tentara
tiga negara, yakni Indonesia, Malaysia, dan Filipina) di Yogyakarta, pekan
lalu. Pertemuan ASEAN 2+3 ini tidak memiliki preseden dan terkesan merupakan
reaksi sesaat terhadap penyanderaan WNI dan warga asing lain.
Sejak lama, kawasan
Asia Tenggara terkenal memiliki beberapa choke
points strategis alur laut komunikasi yang rawan dengan perompak. Dari
jalur pelayaran strategis ini, semuanya berada di wilayah Indonesia, seperti
Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makassar.
Tingkat kerawanan
akibat gangguan para perompak di kawasan Asia Tenggara ini, berdasarkan
beberapa catatan statistik, termasuk Organisasi Maritim Internasional, sudah
lebih tinggi ketimbang gangguan perompak Somalia.
Tidak ada yang baru
dari ASEAN 2+3, karena peristiwa penculikan dan perompakan di Laut Sulu di
sekitar Kepulauan Sulu, Filipina bagian selatan, sudah lama terjadi
setidaknya selama satu dekade terakhir ini. Melakukan patroli bersama di
wilayah perairan tersebut serta meningkatkan koordinasi dalam keadaan darurat
pun bukan sesuatu yang baru.
Pertemuan ASEAN 2+3
bisa dikatakan belum berhasil melakukan identifikasi persoalan keamanan di
kawasan Laut Sulu. Kawasan yang selama ini digunakan sebagai jalur kapal
barang (trunk seaway) melalui Selat
Makassar ke utara menuju ke Jepang atau Korea Selatan. Pertama, apakah
aktivitas kelompok Abu Sayyaf dikategorikan terorisme sehingga perlu
ditangani dalam lingkup pertahanan atau teroris yang berubah menjadi bandit
brutal setelah memenggal warga asing seenaknya?
Kedua, persoalan
perompak di Asia Tenggara bukan peristiwa yang baru saja terjadi, tetapi
sudah ratusan tahun menjadi bagian dari kehidupan politik dan ekonomi di
kawasan ini. Karena itu, apakah insiden Laut Sulu cukup diatasi dalam
mekanisme ASEAN 2+3, sekaligus berusaha menggunakan protokol kerangka kerja
BIMP-EAGA (Brunei, Indonesia, Malaysia
and the Philippines-East ASEAN Growth Area) yang dibentuk untuk
memfasilitasi perdagangan, investasi, dan turisme?
Kolom ini berpendapat,
persoalan terorisme yang berubah menjadi bandit keji harus dicermati sebagai
persoalan luas dalam rangka kerja sama menyeluruh ASEAN guna menyediakan
kawasan aman, damai, dan stabil. Ada beberapa faktor, pertama, persoalan
terorisme kelompok Abu Sayyaf terletak pada keamanan Filipina yang tidak bisa
menyelesaikan persoalan domestik secara holistik dan komprehensif,
menyebabkan meluasnya aktivitas yang tidak termonitor sama sekali.
Faktor kedua, selama
beberapa tahun angkatan bersenjata Filipina menghadapi ancaman berbasis
daratan, apakah itu kelompok separatis maupun terorisme. Karena itu,
pendanaan angkatan daratnya jauh lebih besar ketimbang dana operasional
angkatan lautnya maupun kekuatan penjaga pantainya (PCG). Minimnya dana
menyebabkan jalur-jalur laut di sekitar kepulauan Filipina tidak memperoleh
perlindungan menyeluruh dari ancaman keamanan yang terjadi.
Kolom ini ingin
mengingatkan, mekanisme kerja sama dalam ASEAN 2+3 tidak efektif kalau tidak
belajar pada pengalaman Malacca Straits
Coordinated Patrol menjaga keamanan di Selat Malaka. Inisiatif The Eyes-in-the-Sky (EiS) di Selat
Malaka, misalnya, tidak bisa bergerak banyak karena persoalan dana terbatas
untuk mengawasi kawasan strategis tersebut.
ASEAN 2+3 adalah
pengulangan atas upaya yang sudah dilakukan di tempat lain (Selat Malaka) dan
tidak memberikan manfaat ketika terjadi insiden lagi. Dalam konteks keamanan
Asia Tenggara, perlu terobosan strategi lain dalam menghadapi gangguan
keamanan yang meningkat setiap tahun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar