Korupsi di Lingkungan Akademik
Triwibowo Yuwono ;
Guru Besar dan Mantan Dekan
Fakultas Pertanian UGM
|
KOMPAS, 10 Mei 2016
Kasus-kasus korupsi
terus saja terungkap ke publik. Begitu dahsyatnya kasus korupsi yang ada di
negara ini sehingga seolah-olah sudah menjadi berita sehari-hari.
Di antara sekian
banyak kasus korupsi yang terungkap, terselip kasus-kasus yang sungguh sangat
menyedihkan karena menyangkut orang-orang di suatu lembaga yang selama ini
menjadi benteng terakhir panutan bangsa, yaitu perguruan tinggi (PT) atau
kalangan akademik. Tulisan ini bukan pembelaan sesama akademisi, bukan
menghakimi mereka yang didakwa korupsi, bukan pula analisis hukum—karena jauh
di luar kompetensi penulis, tetapi lebih sebagai perenungan, kontemplasi
sekaligus mencoba merunut jalan kembali menuju hakikat keakademikan.
Jika ditengok definisi
tentang dosen dan guru besar (Pasal 1 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen), nyata sekali betapa mulia tugas seorang dosen (demikian pula guru).
Kenapa lalu muncul kasus-kasus korupsi yang melibatkan dosen atau guru besar?
Pemimpin komunitas
Dari beberapa kasus ”korupsi” yang melibatkan dosen atau
guru besar, yang notabene berasal dari PT ternama, pantas muncul pertanyaan
apakah mereka yang tersangkut kasus-kasus tersebut karena kebetulan berada di
tempat dan waktu yang salah, karena niat jahat, atau karena persoalan lain? Selama ini opini
masyarakat sudah telanjur menyudutkan para terduga, tersangka, atau bahkan
terdakwa korupsi bahwa mereka pasti menumpuk kekayaan dari hasil korupsinya.
Sejauh yang dapat
penulis cermati dari lingkungan akademik terdekat, tampaknya frasa memperkaya diri sendiri dalam definisi
tindak pidana korupsi sebagaimana tertuang dalam UU No 31/1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sesungguhnya tidak mudah untuk
disematkan kepada para akademisi yang sudah telanjur membawa status korupsi tersebut. Tentu ini bukan
pembenaran bahwa mereka pasti tidak melakukan korupsi. Namun, coba kita
bandingkan dengan kasus-kasus korupsi besar yang nyata-nyata membuktikan
bahwa pelakunya memperkaya diri sendiri, misalnya, kasus Gayus Tambunan.
Dari perbincangan
dengan sesama guru besar, baik yang ahli hukum pidana korupsi maupun yang
ahli administrasi negara, ada kasus-kasus
”korupsi” yang tidak menunjukkan bukti kuat memperkaya diri sendiri atau
orang lain, melainkan banyak kasus yang terjadi karena si terduga atau
tersangka berada dalam posisi (struktural) yang harus jadi penanggung jawab
utama lembaganya atau sebagai pejabat pembuat komitmen. Ada juga kasus yang
terjadi karena ”kesalahan administrasi atau prosedur”. Bahwa kemudian
kesalahan prosedur atau administrasi tersebut dianggap menyebabkan kerugian
negara adalah persoalan lain karena bergantung pada hasil audit dan pendapat
lembaga audit negara (BPKP atau BPK).
Amanah UU Guru dan
Dosen sudah sangat jelas. Ketika seorang dosen atau guru besar dipilih
menjadi dekan, rektor, kepala lembaga penelitian, atau kategori pimpinan apa
pun di lingkungan akademik, sejatinya mereka mengemban tugas sebagai
”pemimpin” para dosen, peneliti, dan mahasiswa, yang punya tugas pokok dan
fungsi (tupoksi), seperti tercantum dalam UU Guru dan Dosen. Bahwa, sejatinya
para pejabat PT bukan pejabat publik, seperti bupati, kepala daerah, atau
kepala dinas, karena dosen dan akademisi adalah ”pemimpin komunitas
akademik”.
Kalau kemudian mereka
tersangkut kasus korupsi ketika menjalankan tugas dalam posisi yang
sebenarnya bukan tupoksi mereka, apakah karena kesalahan prosedur atau karena
memang ada niat jahat, sebenarnya ada kekeliruan mendasar yang dilakukan
pemerintah ketika memberikan penugasan kepada para dosen di luar tupoksinya.
Dengan kata lain, ketika pemerintah
menugasi para ”pemimpin komunitas akademik” itu untuk menjalankan tugas
non-akademik, misalnya, sebagai pejabat pembuat komitmen untuk suatu kegiatan
administrasi keuangan di lingkungan PT, hal itu sejatinya bertentangan dengan
UU Guru dan Dosen.
Jika kita mengacu pada
UU tentang Guru dan Dosen, tugas mulia sebagai dosen atau guru besar harus
dikembalikan seperti yang menjadi amanat UU. Pertanyaannya kemudian,
bagaimana dengan pelaksanaan administrasi keuangan dan proyek yang pasti akan
dilaksanakan di setiap PT atau lembaga akademik lainnya? Apakah dekan atau
rektor ”harus” menjadi penanggung jawab kegiatan administrasi yang sebenarnya
adalah penugasan dari lembaga yang lebih tinggi, yaitu kementerian, sementara
sebenarnya mereka yang menjadi dekan atau rektor tidak mesti menguasai bidang
administrasi keuangan?
Seorang guru besar teknik nuklir, misalnya, belum tentu
menguasai sistem administrasi keuangan, tetapi yang bersangkutan akan menjadi
penanggung jawab semua kegiatan jika menjadi dekan atau rektor. Di sinilah
barangkali awal mula persoalan ”korupsi” yang kemudian menjerat beberapa
orang akademisi dari PT-PT terkemuka. Oleh karena itu, penulis mengusulkan
agar dilakukan perubahan pada sistem administrasi keuangan di PT atau lembaga
akademik.
Kalau biasanya semua
kegiatan administrasi keuangan dijalankan wakil dekan atau wakil rektor
bidang administrasi dan keuangan, dengan dekan atau rektor sebagai penanggung
jawab utama, ada baiknya kewenangan ini dikembalikan kepada pemberi tugas,
yaitu kementerian, baik Kementerian Ristek dan Dikti, Kemendikbud, atau
bahkan Kementerian Keuangan. Caranya mungkin dapat dengan menempatkan pejabat
dari kementerian yang menguasai administrasi keuangan di lingkungan PT. Lalu,
yang bersangkutan diberi kewenangan penuh menjalankan semua pelaksanaan
administrasi keuangan.
Selama ini, di tingkat
teknis, pejabat fakultas atau universitas pasti dibantu staf khusus yang
berpengalaman dalam bidang administrasi keuangan dan proyek. Meski demikian,
tanggung jawab utama tetap pada pimpinan lembaga (dekan atau rektor),
sehingga ketika terjadi kesalahan—baik karena kesalahan prosedur atau memang
ada niat jahat—pimpinan lembaga harus bertanggung jawab. Dengan sistem
semacam ini, dekan atau rektor sangat berpotensi terjatuh ke dalam persoalan
yang kemudian dapat dikategorikan tindak pidana korupsi, meskipun mungkin
tidak terjadi aksi memperkaya diri sendiri atau pihak lain.
Jika tanggung jawab
administrasi keuangan dilaksanakan oleh pejabat dari kementerian yang memang
menguasai administrasi keuangan dan proyek, kalau terjadi tindak pidana
korupsi tak akan sampai mengorbankan para dosen atau guru besar yang
kebetulan pada saat dan posisi saat itu sedang menjabat sebagai dekan atau
rektor.
Para dosen atau guru besar yang menjabat sebagai pimpinan
PT atau lembaga akademik sebaiknya tetap diposisikan sebagai ”pemimpin
komunitas akademik”, bukan pimpinan lembaga administrasi. Dengan demikian,
dekan atau rektor akan lebih fokus memikirkan pengembangan akademik dan
keilmuan tanpa harus dibebani tugas dan kewajiban yang bertentangan dengan UU
Guru dan Dosen, serta terlepas dari kekhawatiran melakukan ”kesalahan
prosedur”.
Pejabat publik
Apa pun sistem
administrasi yang kemudian digunakan untuk ”mengisolasi” akademisi dari
kemungkinan melakukan tindak pidana korupsi, mestinya tetap dapat menjaga
kelancaran dan keberlangsungan proses akademik. Jika kemudian diberlakukan
peraturan bahwa dekan atau rektor harus menguasai sistem administrasi
keuangan lembaga, sehingga tidak ada alasan untuk berkilah karena
ketidaktahuan tentang prosedur, mungkin tidak akan ada dosen yang bersedia
atau tidak ada yang memenuhi syarat untuk menjabat sebagai dekan atau rektor.
Di sisi lain perlu juga dipikirkan bagaimana status dosen atau guru
besar yang kemudian menjadi pejabat publik, misalnya, sebagai dirjen atau
menteri. Terhadap mereka, mestinya juga diperlakukan sama dengan pegawai
negeri sipil yang mendaftar sebagai calon kepala daerah, yaitu harus
mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai PNS.
Dengan demikian,
ketika seorang dosen atau guru besar menjadi pejabat publik, semua hak dan
statusnya sebagai dosen tidak boleh lagi digunakan, termasuk menggunakan
jabatan guru besar atau profesor. Sebab, guru besar atau profesor adalah
jabatan akademik tertinggi, bukan gelar, yang diemban seorang dosen yang
masih mengajar di tempat yang bersangkutan memperoleh jabatan guru besar atau
profesor tersebut.
Oleh karena itu, ketika si pejabat terkena kasus korupsi, hal itu
sepenuhnya sudah jadi tanggung jawab pribadi, tak perlu dan tidak dapat
disangkut-pautkan dengan PT asal si pejabat, sehingga marwah lembaga PT dapat
terjaga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar