Hukum Gagal Lindungi Korban
Sulistyowati Irianto ;
Ketua Program Pascasarjana
Multidisiplin, UI
|
KOMPAS, 11 Mei 2016
Kasus Yuyun
menunjukkan kompleksnya masalah pemerkosaan, ketika pelakunya ditengarai
berkelompok (gang rape), dilakukan dengan
brutal dan menghilangkan nyawa. Kasus ini hanyalah puncak gunung es (Kompas,
4/5) dari yang tak terhitung banyaknya, didiamkan, tak dilaporkan, dan hilang
begitu saja. Hal ini mencerminkan tak bekerjanya tatanan sosial dan hukum,
hilangnya solidaritas sosial, etika, dan keadaban publik. Sebenarnya
bagaimana hukum memosisikan pemerkosaan dan korban? Dalam praktik, apakah
penegak hukum memperhitungkan pengalaman dan realitas korban? Berdasarkan
substansinya, reaksi masyarakat terhadap kasus Yuyun dapat dikelompokkan
dalam tiga kategori.
Gerakan masyarakat
sipil dan perempuan, yang memiliki pengetahuan dan perspektif korban,
mendesak pemerintah segera menyediakan perangkat hukum dan penanganan yang
tepat, terutama pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
Terdapat warga masyarakat luas yang bersimpati dan khawatir dengan
keselamatan anak perempuan mereka. Namun, terdapat reaksi bernuansa
”politik”, mengatasnamakan moral, justru mengaburkan kejahatan pemerkosaan
dan mengalihkan perhatian ke persoalan miras, mitos ketubuhan perempuan, atau
mengusulkan hukuman kebiri; yang tak memberi solusi adil bagi korban dan
masyarakat.
Kegagalan hukum
Pengambil kebijakan
dan perumus hukum harus berhati-hati dan tak terkecoh dalam menghadapi reaksi
yang beragam. Jika kebijakan dan hukum yang dirumuskan tak memperhitungkan
pengetahuan akademik tentang kejahatan pemerkosaan, pengalaman, dan realitas
korban, justru akan menimbulkan masalah baru.
Acuan hukum utama
dalam kasus pemerkosaan adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Hukum
Belanda berumur lebih dari 150 tahun itu ”disakralkan” oleh penegak hukum.
Padahal, sejarah pembuatan dan keusangannya menyebabkan KUHP tak banyak
memberi perlindungan terhadap korban kejahatan seksual. Pemerkosaan diposisikan
sebagai kejahatan kesusilaan, bukan kejahatan yang mengancam nyawa; dan
memberikan ancaman hukuman sangat ringan bagi pelaku.
Ada tiga persoalan
utama mengapa KUHP dan KUHAP dipahami secara kaku oleh para penegak hukum.
Pertama, mereka sangat terpaku pada doktrin dan asas hukum pidana Belanda dan
membaca hukum secara black letter. Para hakim menempatkan diri semata sebagai
corong UU. Karena itu, terobosan hukum tak berani diambil, termasuk
menjadikan yurisprudensi sebagai sumber hukum alternatif demi keadilan
korban. Padahal, di Belanda masa kini hukum sudah berubah, yurisprudensi
dianggap sumber hukum penting; hakim bukan lagi corong UU.
Kedua, keengganan para
penegak hukum di lapangan untuk memberi tafsir lain, yang mengutamakan
korban; disebabkan kepentingan untuk mempertahankan status quo berupa
kepangkatan, atau takut dijatuhi sanksi oleh atasan karena dianggap tidak
menguasai hukum pidana.
Ketiga, kendala para
penegak hukum untuk memutakhirkan pengetahuan hukum baru adalah anggapan
bertambahnya beban kerja, kurangnya fasilitas dalam menjalankan pekerjaan di
persidangan, dan sistem manajemen perkara yang buruk. Hal ini ditandai dengan
jadwal persidangan yang tidak jelas, dapat sewaktu-waktu dibatalkan karena,
misalnya, jaksa lupa membawa terdakwa, atau hakim dipanggil mendadak rapat
oleh atasan, dan sebagainya (PKWJ UI, 2011). Memang ada perbaikan dalam
sistem manajemen peradilan berkat upaya yang dilancarkan melalui program
pembangunan hukum, tetapi persoalan masih terlalu banyak.
Saat ini terdapat
produk hukum baru, seperti UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak, dan UU No
11/2011 tentang Sistem Peradilan Anak, yang mengatur secara lebih baik:
memberi jaminan anak-anak untuk tak mengalami kekerasan seksual; ancaman
pidana terhadap pelaku lebih tinggi; dan terdapat ancaman minimal. Namun,
bagaimana UU ini dipraktikkan mengingat hukum acara pelaksanaannya tetap
KUHAP, yang menuntut adanya pembuktian dengan sejumlah persyaratan, yang
selalu sukar dipenuhi korban. Terus meningkat dan brutalnya kasus pemerkosaan
terhadap anak (perempuan) membuktikan bahwa hukum yang baru pun telah gagal
melindungi korban.
Paradigmatik
Kesulitan lain bagi
pencari keadilan terletak pada persoalan paradigmatik yang menjadi dasar bagi
para sarjana hukum memaknai hukum; yang terkait dengan kurikulum hukum. Di
banyak fakultas hukum di negara bekas jajahan, seperti di bagian selatan dan
timur Afrika, para sarjana hukum sulit meninggalkan sistem pengajaran hukum
dari negara kolonial. Hukum Barat, seperti Roman-Dutch Law, atau British
common law, sangat mendominasi pengajaran dan proses penelitian hukum (Hellum
& Stewart, 1998).
Meskipun sekolah hukum
didirikan untuk menentang kolonialisme, kurikulumnya disusun berdasarkan
paradigma kolonial. Pengajaran tentang hukum adat asli hanya tertuang sedikit
dan hanya menjadi kuliah pilihan. Hukum adat itu pun sering diajarkan dari
perspektif sentralisme hukum berdasarkan putusan pengadilan dan interpretasi
terhadap legislasi.
Keadaan ini juga
dijumpai di Indonesia. Umumnya, para sarjana hukum mewacanakan hukum dengan
hanya berfokus pada pengertian hukum sebagai aturan, norma, dan asas. Mereka
mengisolasi hukum dari realitas masyarakat dan pengalaman korban. Dianggap
tak ada perbedaan antara yang terumus dalam hukum dengan institusi dan
perilaku orang dalam menyikapi hukum. Padahal, selalu ada jurang antara hukum
yang tertulis dengan kenyataan dan praktik hukum dalam masyarakat. Keadilan
hukum dianggap identik dengan keadilan sosial; padahal keduanya justru sering
berbenturan (Shaplan, 2006).
Dalam ruang pemaknaan
hukum itu sering persoalan kemanusiaan dari korban pemerkosaan ditinggalkan
dan diabaikan. Mereka berdebat panjang lebar tentang prosedur hukum, tata
urutan logika hukum, tetapi mengabaikan kemanusiaan korban. Apakah
bukti-bukti pemerkosaan sudah terpenuhi menurut hukum acara: adanya sperma,
luka robek, keterangan saksi, dan sebagainya. Padahal, amat sukar memenuhi
pembuktian ini mengingat dampak pemerkosaan yang meniadakan masa depan korban
secara sosial dan kultural.
Dituntutnya keterangan
saksi sering tak dapat dipenuhi korban. Visum et repertum dokter juga sudah
nol karena tanda-tanda pemerkosaan sudah hilang akibat korban tidak segera
melapor atau korban segera membersihkan dirinya setelah kejadian. Ketika
bukti-bukti sudah sukar dikemukakan di persidangan, besar kemungkinan korban
akan kalah secara prosedural legal formal.
Hal yang sangat
dibutuhkan saat ini, pertama, tersedianya perangkat hukum yang tepat, yaitu
UU Penghapusan Kejahatan Seksual. Kedua, membangun sistem peradilan pidana
terpadu, yang memberikan layanan medis kepada korban di rumah sakit, diiringi
proses hukum yang langsung bekerja tanpa membebani korban dengan pembuktian.
Ketiga, ditumbuhkannya budaya yang mengutamakan etika publik dan saling
melindungi di masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar