Kotak Hitam Ekonomika
Daoed Joesoef ; Alumnus Universite Pluridisciplinaires
Pantheon-Sorbonne
|
KOMPAS,
05 November 2015
Ada kekecewaan publik terhadap kinerja tahun pertama
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla di bidang ekonomi. Ia dipicu oleh
ketidakpuasan terhadap Kabinet Kerja dalam menangani masalah-masalah yang,
per definisi, merupakan masalah ekonomi.
Publik ini meliputi pengusaha dan kaum buruh yang kehidupannya
langsung ditentukan oleh jalannya dunia usaha. Bila yang pertama disebut itu
mengungkapkan kekesalannya dengan mengomel, yang kedua menyatakan
kejengkelannya dengan berdemonstrasi.
Ketidakpuasan ini, sejujurnya, sudah berlangsung lama, praktis
sejak zaman Orde Lama. Para elite kita yang merasa terpanggil mengelola
kehidupan Indonesia bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tidak pernah
mendalami bersama-sama secara serius hakikat ekonomi, baik sebagai disiplin
berpikir maupun sebagai pegangan berusaha.
Hilir
kelahiran
Kita kini hidup di era kekuasaan fakta. Peradaban human kontemporer
memang berupa suatu kemenangan spirit positif, ilmiah, dan teknologis. Namun,
dengan membuat ekonomika bergaya fisika, rupanya kehadiran fakta tak
mencukupi lagi bagi manusia, juga tidak bagi nalarnya.
Para ekonometriman dan ekonom matematik rupanya, selaku ilmuwan,
berusaha mencari kebenaran di balik exactitude.
Kita dibuat percaya telah mendapatkan exactitude tersebut. Namun, apakah kita
melalui kepastian itu telah memperoleh kebenaran? Kalaupun iya, kebenaran
yang mana? Paling jauh adalah kebenaran yang terjelaskan. Di ruang ujian,
baik yang menguji maupun yang diuji sama-sama puas karena tanya-jawab bisa
dibuat obyektif oleh pembahasan di sekitar Pareto-efisien, matriks
input-output, kurva Lorenza, teorema bujet terbalanskan, dan lain-lain rumus
matematik.
Namun, apakah kebenaran yang terjelaskan ini sekaligus kebenaran
yang berguna bagi pegangan dalam usaha pemecahan yang humanistik dari
masalah-masalah ekonomi yang kian mengglobal? Bukankah kita kini sedang
menempuh kehidupan di samping era fakta juga dalam era passions dan utopia
yang menghanyutkan spirit? Memang suatu koeksistensi yang aneh, semacam
”perang dingin” dari nurani, kadang-kadang berkecamuk dalam diri
individu-individu yang sama.
Ada baiknya kita merunut balik penalaran simplistis ini sampai
ke hilir kelahirannya. Arus pokok ekonomika yang dikuliahkan di perguruan
tinggi dunia berasal dari pemikiran Adam Smith yang dituangnya dalam The Wealth of Nations. Buku yang
terbit tahun 1776 ini adalah yang pertama kali menjadikan ekonomika sebagai
ilmu sosial obyektif, bukan sebagai disiplin intelektual subyektif, yaitu
campuran antara ekonomika, etika, dan filosofi moral yang ada di masa
sebelumnya.
Pemikiran Adam Smith ini pada abad sesudahnya melahirkan
sekumpulan literatur terpandang yang dikenal sebagai sekolah klasik Inggris.
Menjelang akhir abad XIX, inti ajarannya melebur dengan ajaran dari yang
disebut sekolah marjinalis dan peleburan ini merupakan ekonomi neoklasik.
Teori neoklasik terutama sibuk dengan analisis tentang ekonomi
usaha bebas. Secara konseptual ia mengolah hakikat perusahaan-perusahaan
kapitalistis bergaya Barat. Setiap agen ekonomi individual—seorang kapitalis,
manajer, buruh atau konsumen—diasumsikan berupa Homo economicus, makhluk yang
terus-menerus memuaskan kepentingan sendiri.
Anehnya teori neoklasik tentang perusahaan kebanyakan
berkecimpung dalam struktur pasar—monopoli, duopoli, oligopoli, persaingan
monopolistik, persaingan sempurna, dan lain-lain—dan bagaimana semua ini
memengaruhi strategi memaksimalkan untung perusahaan. Ia nyaris tidak
membahas apa yang sebenarnya terjadi di dalam perusahaan. Jadi, perusahaan
digambarkannya sebagai suatu kotak hitam mekanistis dengan dua lubang
saluran, yang satu untuk input dan yang satu lagi untuk output.
Ada cabang khusus ekonomika, yaitu ekonomi bisnis atau
bedrijfseconomie, yang membahas ide input-output ini sampai nyaris mendetail
demi perolehan untung maksimum pengusaha. Namun, apa yang terjadi dengan
kotak hitam mekanistis tidak disentuh karena dianggap bukan tergolong
ekonomika. Apa yang terjadi di dalam kotak hitam dianggap tidak kasatmata,
makhluk-makhluk tak berwajah yang melakukan fungsi-fungsi spesifik
perusahaan. Para buruh datang dan pergi, (seolah-olah) tanpa emosi yang
jelas, sementara para manajer asyik menjaga tingkat buruh optimum.
Pergulatan
human
Namun, apakah buruh-buruh itu bukan manusia? Bukankah dalam
kotak hitam itu sedang berlangsung suatu pergulatan human demi kesintasan?
Jadi, yang menjadi taruhan bukan hanya satu kesintasan, tetapi dua:
perusahaan (modal) dan spesies manusia!
Maka, sudah waktunya kita berusaha menciptakan kapitalisme
human, menata bagian dalam kotak hitam mekanistis begitu rupa hingga bisa
terwujud suatu sistem perusahaan humanistis, yang merupakan proyek ekonomi Pancasila
sesungguhnya yang lama dinanti-nantikan itu.
Perusahaan humanistis bukan berarti puas dengan etika kerja apa
pun yang dibawa/dihayati oleh pekerja baru ke dalam sistem kerja perusahaan.
Ia sebaliknya berusaha sungguh-sungguh menjamin bahwa ketekunan menjadi suatu
ciri-ciri perilaku rasional dari semua insan yang terlibat dalam usaha yang
bersangkutan. Setiap pekerja individual dari yang tertinggi sampai terendah
di jenjang fungsional-hierarkis tidak dibantah punya kepentingan
sendiri-sendiri. Masing-masing boleh saja mengumpamakan dirinya sebagai Homo economicus.
Akan tetapi, common denominator mereka dalam bekerja sama di
perusahaan (kotak hitam) adalah perilaku yang layak, bukan yang rasional.
Sebab yang rasional belum tentu layak, tetapi yang layak adalah rasional bagi
semua pihak terlibat. Perilaku yang begini mendorong mereka secara obyektif
menemukan kekurangan dirinya dan ikhlas mengakui kelebihan orang lain serta
memikirkan cara/jalan bagaimana bisa ”menjadi lebih”.
Maka, kemampuan sintas dari sistem usaha humanistik didasarkan
pada proposisi: (i) perusahaan bukan suatu kotak hitam mekanistis tentang
suatu ruang sosial; (ii) yang bekerja di perusahaan adalah manusia (tidak
menangani manusia sebagai benda); (iii) orang tidak hanya ingin punya lebih,
tetapi menjadi lebih; (iv) orang berperilaku layak dalam mengejar kepentingan
sendiri; (v) ada manajemen partisipatori dalam perusahaan; dan (vi) sejauh
perusahaan yang bersangkutan adalah milik perseorangan tetap diakui bahwa hak
milik perseorangan punya fungsi sosial.
Turut ambil bagian dalam biaya dan manfaat dari perusahaan
humanistik ini, bersama-sama dengan pasaran kerja internal yang terintegrasi,
akan menjadi inovasi institusional yang bisa membalik kecenderungan penurunan
etika kerja yang sehat di dunia usaha kita.
Uraian di atas baru menyentuh pemberesan tataran mikroekonomis.
Secara simultan perlu ada upaya sinkron dan terpadu yang menyentuh penataan
tataran makro, yaitu pembangunan Indonesia. Upaya ini juga dinyatakan dalam
term ruang sosial, bertujuan membahagiakan rakyat, juga berupa sekaligus
punya lebih dan meniadi lebih.
Jika dilaksanakan secara konsisten dan malar, kontinu,
pemberesan tataran mikro dan makro tersebut akan sangat membantu pembentukan Indonesia Incorporated, yaitu modal
utama dan terutama bagi keberhasilan negara-bangsa kita berpartisipasi dalam
kesepakatan perdagangan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP).
Kesepakatan perdagangan bebas di antara 12 negara lingkar
Pasifik ini akan merupakan kancah pertarungan di mana setiap peserta adalah
serigala bagi yang lain, seperti yang pernah dinarasikan Aristoteles, homo
homini lupus.
Memang tidak baik jika Indonesia memencilkan diri, tetapi lebih
tidak baik lagi jika Indonesia membuka diri tanpa persiapan yang
diniscayakan, hanya demi pencitraan tokoh pemimpin belaka. Pengalaman pahit
dari partisipasi dalam suasana perdagangan bebas masa lalu pantas kita
jadikan peringatan yang serius.
Pemerintah yang memutuskan suatu kebijakan yang merugikan rakyat
bisa berubah, tapi pemerintah yang menggantikannya tak bisa begitu saja
membatalkan persepakatan yang telah membuat rakyat menderita. Pemerintah bisa
silih berganti, tetapi penderitaan rakyat tetap. Le gouvernement passe, lamisere du peuple reste. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar