Sabtu, 07 November 2015

Air Susu Dibalas dengan Air Tuba

Air Susu Dibalas dengan Air Tuba

Syamsul Rizal  ;  Guru Besar Universitas Syiah Kuala, Darussalam;
Research Fellow pada Institute of Oceanography, University of Hamburg, Jerman
                                                     KOMPAS, 06 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Cerita berikut ini terjadi di salah satu desa di Indonesia. Desa ini dalam keadaan tak aman. Ada saja yang hilang karena ulah pencuri. Kebanyakan yang dicuri adalah binatang piaraan penduduk: ayam, itik, atau kambing.

Konon sang pencuri—kita sebut saja namanya Badu—sudah diketahui identitasnya. Karena tak tertangkap tangan, sangat sulit membuktikannya.

Di samping itu, pencuri ini sangat mengerikan penampilannya. Ke manapun pergi, dia selalu membawa parang yang diasah sangat tajam dan menunjukkannya terang-terangan, demonstratif. Siapa pula yang berani menangkap tangan pemuda yang berpenampilan seperti ini?

Kalau pemuda itu tak ada di kampung untuk beberapa minggu, penduduk tidak mendapat gangguan sama sekali. Ternak-ternak piaraan penduduk aman- aman saja. Ini pula yang menjadi indikator bahwa pemuda inilah biang instabilitas di kampung itu.

Suatu saat, karena tak tahan lagi, seorang penduduk yang sering kehilangan binatang piaraannya memasang kabel yang dialiri listrik di kandang ternaknya. Tujuannya jelas: ingin menangkap dan membuktikan siapa pencuri itu.

Betul saja, keesokan harinya semua penduduk kampung gempar karena Badu yang selama ini dicurigai sebagai pencuri itu mati secara mengenaskan: tersungkur dan terpanggang arus listrik. Penduduk bersujud syukur.

Polisi bertanya kepada pemilik kandang: ”Untuk apa Anda memasang kawat listrik di kandang?” Dia menjawab bahwa selama ini banyak ayam dan itiknya dimangsa musang. Tujuannya tidak lain hanya untuk menangkap musang.

Aristoteles, sebab alamiah dan sebab manfaat

Hujan terjadi karena peristiwa alamiah: penguapan air dari bumi, kondensasi, sehingga terbentuk awan, membesarnya awan karena saling bertemu, massa air yang berat tertarik oleh gaya gravitasi ke bawah dalam bentuk hujan. Itu adalah hukum alam.

Aristoteles (384-322 SM), filsuf hebat yang lahir di Macedonia, berpendapat bahwa semua benda yang ada di dunia ini berperilaku rasional berdasarkan hukum alam atau sebab akibat. Namun, bukan sisi rasional seperti itu saja yang membuat perilaku benda seperti itu. Menurut Aristoteles, ada tambahan sebab lain: perilaku benda seperti itu terjadi agar benda itu bermanfaat bagi alam semesta, khususnya manusia.

Oleh sebab itu, hujan yang turun bukan saja terjadi karena hukum alam, tetapi agar tumbuh-tumbuhan berupa sayur- mayur dan buah-buahan dan lain-lain juga bisa tumbuh agar bermanfaat bagi alam semesta, khususnya manusia.

Demikian juga dengan laut: apa sebab air laut semakin menuju ke kedalaman semakin dingin? Secara natur, air laut akan mengikuti hukum alam: air yang lebih dingin mempunyai kerapatan yang lebih tinggi sehingga semakin dingin, air akan semakin berat. Semakin berat, air ini akan lebih tenggelam ke bawah karena gravitasi bumi. Fakta alamiah ini secara rasional membantu kita memahami apa sebab air dingin terdapat di bagian bawah, dan air hangat berada di atas dari laut. Lalu anomali air, yaitu kerapatan air bernilai sangat tinggi ketika air mempunyai suhu 4 derajat celsius membantu kita memahami dan menerangkan bahwa es dapat mengapung di atas laut.

Meminjam pendapat Aristoteles, bukan penyebab alamiah saja yang membuat air dingin harus berada di bagian bawah dari laut. Namun, air laut bersifat seperti itu agar dia bermanfaat buat alam semesta ini, khususnya manusia.

Demikian juga halnya terhadap fakta bahwa es dapat mengapung di atas laut. Fakta bahwa kerapatan es lebih rendah daripada air yang bersuhu 4 derajat celsius adalah keterangan dari sisi rasional saja. Fakta lainnya: agar air laut bermanfaat bagi alam semesta, khususnya manusia, es harus mengapung.

Bagaimana sekiranya es melawan kodratnya, dia tidak mengapung, tetapi terpaksa tenggelam karena suatu sebab? Fenomena yang melawan hukum alam ini disebut sebagai instabilitas atau keadaan tidak stabil. Kalau masalah instabilitas ini yang terjadi, alam segera mengoreksinya: es akan dipaksa segera naik ke atas, suka atau tidak suka. Agar situasi stabil segera terjadi. Agar—seperti yang dikemukakan Aristoteles—kemanfaatan air laut bagi alam semesta, khususnya manusia, tetap terjaga.

Lalu, bagaimana kita memaknai perilaku Badu? Badu jelas telah melawan hukum alam. Hukum alam yang berlaku untuk manusia adalah hukum negara dan hukum-hukum tak tertulis lainnya, seperti kita tak boleh menyakiti hati, menghina, dan merendahkan orang lain.

Perilaku Badu ini—seperti halnya es yang tidak mau mengapung—akan menciptakan instabilitas. Akibatnya perilaku Badu akan tidak bermanfaat bagi alam semesta, bahkan merusak alam semesta.

Manusia dan nonmanusia

Kalau pemikiran Aristoteles ini kita teruskan, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa semua makhluk yang ada di muka bumi ini (baik yang mati maupun hidup), kecuali manusia, semuanya berperilaku secara alamiah dan dapat diterangkan perilakunya secara rasional karena tunduk terhadap hukum alam. Akibatnya, kehadiran mereka di dunia ini memberi manfaat bagi alam semesta, khususnya manusia.

Kalau kita memandang di sekeliling kita, dengan memperhatikan langit, bulan, matahari, sungai, angin, hujan, halilintar, kayu, dedaunan, binatang-binatang kecil dan besar, tanah, pasir, dan seterusnya, perilaku benda-benda ini semuanya dapat diterangkan secara rasional karena tunduk pada hukum alam.

Adapun manusia yang tak mau tunduk pada hukum (alam), perilakunya sudah tidak mungkin lagi diterangkan secara rasional. Di depan orang ramai berperilaku secara sopan dan taat hukum, tetapi di saat orang lain khilaf perilakunya hanya membuat rusak alam semesta. Perilaku seperti ini berbeda dengan makhluk nonmanusia yang selalu tunduk pada hukum alam.

Sialnya, kalkulasi fisika, matematika, ekonomi, atau demokrasi tak berlaku di sini: 51 persen orang baik tidak akan menang melawan 49 persen orang jahat. Manusia yang tak terprediksi ini tak perlu banyak sekali: cukup satu atau dua orang sudah bisa menghadirkan situasi instabilitas terhadap orang sekampung, satu provinsi, satu negara, bahkan seluruh dunia.

Kebakaran hutan berhektar-hektar, teror bom di sana-sini, hanyalah ulah sekelompok kecil manusia. Mereka bukan mayoritas, tetapi kehadiran mereka bikin alam dan umat manusia merinding ketakutan, traumatik.

Akibatnya, alam semesta hanya tinggal tunggu nasib mengerikan karena tak ada jaminan bahwa lebih banyak manusia yang baik akan membuat alam semesta lebih terjaga. Dan, nasib alam semesta kita memang sungguh tragis: memberikan yang terbaik bagi manusia, tetapi terkadang manusia membalas budi baik alam ini dengan cara yang justru menyakitkan hati alam semesta. Air susu dibalas dengan air tuba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar