Sabtu, 07 November 2015

Membangun Budaya Politik Berkarakter dan Cerdas

Membangun Budaya Politik Berkarakter dan Cerdas

Ahmad Sahide  ;  Kandidat Doktor Kajian Timur Tengah Sekolah Pascasarjana UGM; Pegiat Komunitas Belajar Menulis (KBM) Yogyakarta
                                                     KOMPAS, 05 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

”Mengerikan melihat apa yang terjadi kalau ambisi dan kekuasaan tumbuh berkembang dalam benak orang idiot.”    - Doung Thu Huong

Tak ada yang mampu menahan laju perputaran waktu, dan tahun 2015 pun akan segera berlalu. Kita, bangsa dan negara Indonesia, akan menutup tahun 2015 ini dengan agenda besar: pemilihan kepala daerah secara serentak tahap I pada 9 Desember nanti.

Berbagai catatan kebangsaan yang tak cukup menggembirakan turut mengiringi perjalanan bangsa pasca Reformasi 1998. Berbagai kasus korupsi dan perselingkuhan politik antara pengusaha, penguasa, dan kehakiman terkuak. Salah satu contoh, tertangkap basahnya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar sedang menerima suap pada 2013. Lalu, pada 2015, kita semua menyaksikan konflik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) vs Polri jilid II yang berakhir dengan penonaktifan Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.

Politik pengabdian

Inilah yang akan membayangi kita menatap pemilihan (demokratisasi) kepala daerah secara serentak pada 2015; tahun di mana daur ulang demokrasi berlangsung pada tingkat daerah yang akan diselenggarakan secara serentak. Seluruh rakyat Indonesia kembali mendapatkan momentum untuk memilih pemimpinnya di daerah. Akankah daur ulang demokrasi 2015 mengurangi catatan buruk demokrasi Indonesia? Demokrasi yang melahirkan lebih dari 60 persen kepala daerah tersandung kasus korupsi. Demokrasi yang tidak jarang melahirkan pemimpin tanpa gagasan.

Slogan politik yang cukup populer dari Soekarno adalah jangan sekali-sekali melupakan sejarah (Jasmerah). Maka, marilah kita melirik sejarah dedikasi politik para bapak pendiri bangsa kita sekilas untuk membaca atau ”meramalkan” politik Indonesia ke depan. Membaca biografi Soekarno dan Mohammad Hatta di dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sampai pada akhirnya rakyat memberinya ganjaran sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI menyadarkan kita bahwa banyak di antara kita sebenarnya tidak melakukan apa-apa untuk bangsa dan negara Indonesia, tetapi meminta untuk diberi jabatan (kekuasaan).

Dalam berbagai kesempatan pun saya sering mengatakan, perbedaan aktivis dan politisi pada zaman dulu dan sekarang adalah bahwa aktivis dan politisi zaman dulu dipenjara dan diasingkan dulu baru kemudian memimpin (mendapatkan ganjaran kekuasaan). Sementara aktivis dan politisi sekarang (walaupun tidak semuanya) adalah berkuasa dulu baru kemudian dipenjara.

Nelson Mandela dari Afrika Selatan yang meninggal pada 2013 mengajarkan kita akan politik demikian. Mandela dipenjara selama 27 tahun karena memperjuangkan kemerdekaan dan hak-hak warga kulit hitam baru kemudian dinobatkan sebagai Presiden Afrika Selatan. Itu pun Mandela hanya bersedia menjadi presiden selama satu periode (1994-1999).

Soekarno, Hatta, dan Mandela mengajarkan kepada kita bahwa untuk dinobatkan sebagai pemimpin politik haruslah diawali dengan melakukan pengabdian terlebih dahulu. Artinya, kekuasaan yang diamanahkan padanya adalah perpanjangan tangan dari pengabdian dan perjuangannya selama ini. Maka, mereka tidak perlu menghabiskan banyak dana dan memberikan janji-janji politik kepada masyarakat untuk dipilih sebagai pemimpin karena mereka sudah melakukannya dan rakyat melihat itu. Dalam kampanye politiknya bukan dengan bahasa ”saya akan mengabdi, memperjuangkan hak-hak Anda wahai rakyat Indonesia!”, tetapi dalam orasinya mengatakan, ”Mari kita lanjutkan untuk memperjuangkan apa yang sudah kita lakukan selama ini!”

Memperhatikan kultur politik dan politisi zaman ini sepertinya akrab dengan bahasa politik yang pertama, ”Saya akan, akan, dan akan….” Ini yang sering kita dengar dari para politisi yang mengemis suara kepada rakyat. Bahasa politik ini sepertinya akan makin masif kita dengarkan kembali di penghujung tahun ini, tahun di mana banyak politisi karbitan muncul dan turun ke bawah memermak dirinya sebagai figur yang akan jadi pahlawan dan pejuang yang dermawan dan baik hati. Sekalipun mereka tidak punya karakter dan rekam jejak sebagai pahlawan dan pejuang. Itulah wajah dan kultur politik kita hari ini. Wajah dan kultur yang jauh dari semangat pengabdian dan perjuangan, melainkan kerakusan untuk merampas milik negara.

Maka, dalam menatap pemilihan kepala daerah secara serentak tahap pertama pada tahun 2015 ini, marilah kita—terutama para politisi yang siap bertarung memperebutkan jabatan publik di daerah—belajar dari Soekarno, Hatta, dan Mandela. Dalam orasi politiknya mereka tidak mengatakan saya akan, akan, dan akan. Namun, mereka mengatakan saya sudah melakukan perjuangan itu, maka marilah kita lanjutkan perjuangan itu untuk yang lebih besar dengan dukungan Anda, rakyat (Indonesia), tentunya.

Itulah kultur politik yang berkarakter. Politik untuk perjuangan, bukan perdagangan. Wahai para politisi Indonesia, jika Anda ingin mengenang selalu Soekarno, Hatta, dan Mandela, malulah meminta dukungan politik kepada rakyat kalau Anda belum melakukan apa-apa untuk rakyat, bangsa, dan negaramu.

Organisasi kemahasiswaan

Gerakan mahasiswa lainnya, dan organisasi masyarakat lainnya, punya tugas untuk melahirkan dan memunculkan pemimpin dengan karakter yang telah disebutkan di atas. Pemimpin yang memiliki rekam jejak pengabdian dan perjuangan untuk rakyat, serta mempunyai gagasan untuk melakukan perubahan atau perbaikan kehidupan masyarakat luas.

Pada sisi yang lain, organisasi mahasiswa sangat penting dan perlu mengagendakan untuk melakukan pendidikan politik kepada seluruh rakyat Indonesia agar menjadi pemilih yang cerdas. Bukan pemilih yang mudah terbuai janji-janji dari tokoh-tokoh yang mempunyai keinginan merebut jabatan publik.

Ada pepatah mengatakan bahwa pemimpin adalah cerminan dari masyarakatnya. Oleh karena itu, untuk dapat melahirkan pemimpin yang ideal, pertama-tama masyarakat ideal adalah tumpuannya.

Saya masih meyakini bahwa pemilih yang cerdas akan melahirkan pemimpin yang cerdas, pemimpin yang bervisi keumatan. Maka, marilah kita semua mendidik masyarakat untuk cerdas dalam berpartisipasi pada ajang daur ulang demokrasi kita, terutama menjelang 9 Desember 2015 ini. Tugas kita semua hari ini adalah kampanye untuk politik sehat Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar