Sabtu, 07 November 2015

Kotak Hitam Ekonomika

Kotak Hitam Ekonomika

Daoed Joesoef  ;  Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
                                                     KOMPAS, 05 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada kekecewaan publik terhadap kinerja tahun pertama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla di bidang ekonomi. Ia dipicu oleh ketidakpuasan terhadap Kabinet Kerja dalam menangani masalah-masalah yang, per definisi, merupakan masalah ekonomi.

Publik ini meliputi pengusaha dan kaum buruh yang kehidupannya langsung ditentukan oleh jalannya dunia usaha. Bila yang pertama disebut itu mengungkapkan kekesalannya dengan mengomel, yang kedua menyatakan kejengkelannya dengan berdemonstrasi.

Ketidakpuasan ini, sejujurnya, sudah berlangsung lama, praktis sejak zaman Orde Lama. Para elite kita yang merasa terpanggil mengelola kehidupan Indonesia bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tidak pernah mendalami bersama-sama secara serius hakikat ekonomi, baik sebagai disiplin berpikir maupun sebagai pegangan berusaha.

Hilir kelahiran

Kita kini hidup di era kekuasaan fakta. Peradaban human kontemporer memang berupa suatu kemenangan spirit positif, ilmiah, dan teknologis. Namun, dengan membuat ekonomika bergaya fisika, rupanya kehadiran fakta tak mencukupi lagi bagi manusia, juga tidak bagi nalarnya.

Para ekonometriman dan ekonom matematik rupanya, selaku ilmuwan, berusaha mencari kebenaran di balik exactitude. Kita dibuat percaya telah mendapatkan exactitude tersebut. Namun, apakah kita melalui kepastian itu telah memperoleh kebenaran? Kalaupun iya, kebenaran yang mana? Paling jauh adalah kebenaran yang terjelaskan. Di ruang ujian, baik yang menguji maupun yang diuji sama-sama puas karena tanya-jawab bisa dibuat obyektif oleh pembahasan di sekitar Pareto-efisien, matriks input-output, kurva Lorenza, teorema bujet terbalanskan, dan lain-lain rumus matematik.

Namun, apakah kebenaran yang terjelaskan ini sekaligus kebenaran yang berguna bagi pegangan dalam usaha pemecahan yang humanistik dari masalah-masalah ekonomi yang kian mengglobal? Bukankah kita kini sedang menempuh kehidupan di samping era fakta juga dalam era passions dan utopia yang menghanyutkan spirit? Memang suatu koeksistensi yang aneh, semacam ”perang dingin” dari nurani, kadang-kadang berkecamuk dalam diri individu-individu yang sama.

Ada baiknya kita merunut balik penalaran simplistis ini sampai ke hilir kelahirannya. Arus pokok ekonomika yang dikuliahkan di perguruan tinggi dunia berasal dari pemikiran Adam Smith yang dituangnya dalam The Wealth of Nations. Buku yang terbit tahun 1776 ini adalah yang pertama kali menjadikan ekonomika sebagai ilmu sosial obyektif, bukan sebagai disiplin intelektual subyektif, yaitu campuran antara ekonomika, etika, dan filosofi moral yang ada di masa sebelumnya.

Pemikiran Adam Smith ini pada abad sesudahnya melahirkan sekumpulan literatur terpandang yang dikenal sebagai sekolah klasik Inggris. Menjelang akhir abad XIX, inti ajarannya melebur dengan ajaran dari yang disebut sekolah marjinalis dan peleburan ini merupakan ekonomi neoklasik.

Teori neoklasik terutama sibuk dengan analisis tentang ekonomi usaha bebas. Secara konseptual ia mengolah hakikat perusahaan-perusahaan kapitalistis bergaya Barat. Setiap agen ekonomi individual—seorang kapitalis, manajer, buruh atau konsumen—diasumsikan berupa Homo economicus, makhluk yang terus-menerus memuaskan kepentingan sendiri.

Anehnya teori neoklasik tentang perusahaan kebanyakan berkecimpung dalam struktur pasar—monopoli, duopoli, oligopoli, persaingan monopolistik, persaingan sempurna, dan lain-lain—dan bagaimana semua ini memengaruhi strategi memaksimalkan untung perusahaan. Ia nyaris tidak membahas apa yang sebenarnya terjadi di dalam perusahaan. Jadi, perusahaan digambarkannya sebagai suatu kotak hitam mekanistis dengan dua lubang saluran, yang satu untuk input dan yang satu lagi untuk output.

Ada cabang khusus ekonomika, yaitu ekonomi bisnis atau bedrijfseconomie, yang membahas ide input-output ini sampai nyaris mendetail demi perolehan untung maksimum pengusaha. Namun, apa yang terjadi dengan kotak hitam mekanistis tidak disentuh karena dianggap bukan tergolong ekonomika. Apa yang terjadi di dalam kotak hitam dianggap tidak kasatmata, makhluk-makhluk tak berwajah yang melakukan fungsi-fungsi spesifik perusahaan. Para buruh datang dan pergi, (seolah-olah) tanpa emosi yang jelas, sementara para manajer asyik menjaga tingkat buruh optimum.

Pergulatan human

Namun, apakah buruh-buruh itu bukan manusia? Bukankah dalam kotak hitam itu sedang berlangsung suatu pergulatan human demi kesintasan? Jadi, yang menjadi taruhan bukan hanya satu kesintasan, tetapi dua: perusahaan (modal) dan spesies manusia!

Maka, sudah waktunya kita berusaha menciptakan kapitalisme human, menata bagian dalam kotak hitam mekanistis begitu rupa hingga bisa terwujud suatu sistem perusahaan humanistis, yang merupakan proyek ekonomi Pancasila sesungguhnya yang lama dinanti-nantikan itu.

Perusahaan humanistis bukan berarti puas dengan etika kerja apa pun yang dibawa/dihayati oleh pekerja baru ke dalam sistem kerja perusahaan. Ia sebaliknya berusaha sungguh-sungguh menjamin bahwa ketekunan menjadi suatu ciri-ciri perilaku rasional dari semua insan yang terlibat dalam usaha yang bersangkutan. Setiap pekerja individual dari yang tertinggi sampai terendah di jenjang fungsional-hierarkis tidak dibantah punya kepentingan sendiri-sendiri. Masing-masing boleh saja mengumpamakan dirinya sebagai Homo economicus.

Akan tetapi, common denominator mereka dalam bekerja sama di perusahaan (kotak hitam) adalah perilaku yang layak, bukan yang rasional. Sebab yang rasional belum tentu layak, tetapi yang layak adalah rasional bagi semua pihak terlibat. Perilaku yang begini mendorong mereka secara obyektif menemukan kekurangan dirinya dan ikhlas mengakui kelebihan orang lain serta memikirkan cara/jalan bagaimana bisa ”menjadi lebih”.

Maka, kemampuan sintas dari sistem usaha humanistik didasarkan pada proposisi: (i) perusahaan bukan suatu kotak hitam mekanistis tentang suatu ruang sosial; (ii) yang bekerja di perusahaan adalah manusia (tidak menangani manusia sebagai benda); (iii) orang tidak hanya ingin punya lebih, tetapi menjadi lebih; (iv) orang berperilaku layak dalam mengejar kepentingan sendiri; (v) ada manajemen partisipatori dalam perusahaan; dan (vi) sejauh perusahaan yang bersangkutan adalah milik perseorangan tetap diakui bahwa hak milik perseorangan punya fungsi sosial.

Turut ambil bagian dalam biaya dan manfaat dari perusahaan humanistik ini, bersama-sama dengan pasaran kerja internal yang terintegrasi, akan menjadi inovasi institusional yang bisa membalik kecenderungan penurunan etika kerja yang sehat di dunia usaha kita.

Uraian di atas baru menyentuh pemberesan tataran mikroekonomis. Secara simultan perlu ada upaya sinkron dan terpadu yang menyentuh penataan tataran makro, yaitu pembangunan Indonesia. Upaya ini juga dinyatakan dalam term ruang sosial, bertujuan membahagiakan rakyat, juga berupa sekaligus punya lebih dan meniadi lebih.

Jika dilaksanakan secara konsisten dan malar, kontinu, pemberesan tataran mikro dan makro tersebut akan sangat membantu pembentukan Indonesia Incorporated, yaitu modal utama dan terutama bagi keberhasilan negara-bangsa kita berpartisipasi dalam kesepakatan perdagangan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP).

Kesepakatan perdagangan bebas di antara 12 negara lingkar Pasifik ini akan merupakan kancah pertarungan di mana setiap peserta adalah serigala bagi yang lain, seperti yang pernah dinarasikan Aristoteles, homo homini lupus.

Memang tidak baik jika Indonesia memencilkan diri, tetapi lebih tidak baik lagi jika Indonesia membuka diri tanpa persiapan yang diniscayakan, hanya demi pencitraan tokoh pemimpin belaka. Pengalaman pahit dari partisipasi dalam suasana perdagangan bebas masa lalu pantas kita jadikan peringatan yang serius.

Pemerintah yang memutuskan suatu kebijakan yang merugikan rakyat bisa berubah, tapi pemerintah yang menggantikannya tak bisa begitu saja membatalkan persepakatan yang telah membuat rakyat menderita. Pemerintah bisa silih berganti, tetapi penderitaan rakyat tetap. Le gouvernement passe, lamisere du peuple reste.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar