Negosiasi
Rendah Karbon
Dinna Wisnu ; Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas
Paramadina
|
KORAN
SINDO, 01 Oktober 2014
Adu kuat kepentingan antara satu koalisi melawan koalisi lain bukanlah
monopoli kehidupan politik di negara kita. Adu kuat kepentingan satu negara
terhadap negara lain atau satu kelompok kelas tertentu dengan kelas lain adalah
bagian dari sejarah peradaban manusia.
Kita dapat melihat ketika para pihak yang saling bertarung kepentingan
mencapai kata kesepakatan untuk mencapai sebuah perdamaian, ada halhal
positif yang dihasilkan, termasuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Sebaliknya apabila para pihak yang bertikai tidak menemukan jalan untuk menghentikan
perselisihan melalui rumusan kesepakatan, sudah pasti kehancuran ada di depan
mata; bukan hanya bagi pihak yang dikalahkan, tetapi pihak yang menang juga
akan merasakan kerugiannya.
Fakta itu dapat kita lihat dalam krisis iklim yang terjadi saat ini.
Negara-negara industri besar seperti Amerika Serikat (AS) dan China tidak mau
menunjukkan komitmen mereka untuk menurunkan emisi karbon. Mereka khawatir
komitmen itu akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi. Sikap negara
industri tersebut menjadi alasan bagi negara-negara lain untuk mengikuti
jejak mereka dan tidak peduli dengan nasib bumi.
Menurut The Washington Times,
tingkat emisi karbon dari bahan bakar berbasis fosil justru meningkat 2,4%
dibandingkan tahun 2013. Program Lingkungan Hidup PBB mengungkap kalaupun
seluruh negara memenuhi target janji penurunan emisi gas rumah kaca, suhu
bumi telanjur akan naik lebih dari 2 derajat Celsius karena pola hidup modern
saat ini. Lomba untuk saling menaikkan angka pertumbuhan ekonomi di antara
negara-negara di dunia mempercepat emisi karbon.
Karena setiap negara mendorong pola hidup konsumtif agar produksi
barang-barang dapat diserap pasar. Oleh sebab itu, wajar bila kelebihan
pembuangan gas karbon dioksida akan mencapai 8-12 gigaton! Negara-negara
berkembang yang masih memiliki hutan basah juga tidak mau ketinggalan. Mereka
melakukan revolusi industri dengan jalan membuka industri-industri perkebunan
atau industri kayu yang mengakibatkan penggundulan hutan yang menjadi
terkendali.
Protes negara-negara maju tidak diindahkan karena mereka juga melakukan
hal yang sama 100 tahun yang lalu. Efeknya akan sangat buruk bagi anak cucu.
Misalnya mengenai keanekaragaman hayati, khususnya hewan liar. Setengah dari
binatang liar di dunia telah musnah dalam kurun waktu 40 tahun terakhir,
misalnya jumlah singa menurun 90%. Sementara itu populasi harimau menurun 97%
dalam kurun waktu 100 tahun dan gajah menghilang 60% sejak 2002.
Demikian kutipan dari The Living
Planet Report 2014 yang dirilis oleh World
Wildlife Fund dan Komunitas Zoologi
London. Artinya, tidak mustahil anak cucu kita sekadar membaca sejarah
tentang hewan-hewan liar bila para orang tuanya tak berbuat sesuatu pun. Dari
segi diplomasi, mekanisme dialog antarperwakilan negara sudah tersedia.
Kese-pakatan atas dasar pikiran dan akal sehat telah dirumuskan sejak UNFCCC
(Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim PBB) diterapkan pada 21 Maret 1994.
Saat ini keanggotaan negara yang meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim
telah mencapai 195 negara; jadi hampir semua negara. Skemanya cukup lengkap
meliputi Kyoto Protokol sebagai dasar yang mengikat anggotanya dalam
menentukan target penurunan emisi dan Kesepakatan Marrakesh 2001 yang memuat
aturan detail implementasi protokol. Kesepakatan juga menoleransi penerapan
mengingat kondisi politik, ekonomi, dan budaya yang berbeda dari setiap
negara.
Pada Desember 2012 di Doha, Kyoto Protokol diamendemen. Intinya
diizinkan adanya kelonggaran pelaksanaan komitmen bagi negara maju. Ada
mekanisme pelaporan rutin tentang kemajuan penerapan komitmen. Bagi negara
berkembang, disediakan skema dana bantuan (hibah maupun pinjaman) untuk
kegiatan menekan perubahan iklim. Sejumlah negara maju juga sepakat atas
berbagi teknologi untuk mendukung kegiatan tersebut. Mengenai penerapan
komitmen, disediakan pula tunjangan dan panduan teknis.
Komitmen negara anggota akan dibahas lagi dalam Konferensi Ke-20 UNFCCC
2014 di Lima, Peru, pada 1-12 Desember 2014. Dibandingkan 20 tahun lalu,
bukti-bukti terjadinya perubahan iklim dan bahayanya bagi umat manusia maupun
keanekaragaman hayati sudah makin nyata. Permasalahannya adalah menjadikan
bukti tersebut sebagai basis untuk bergerak bersama secara serentak dalam
skala besar dan konsisten untuk mengubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan
baru.
Sampai saat ini selain masih ada
pertentangan tentang siapa yang harus lebih dahulu mulai menerapkan komitmen,
ada masalah juga mengenai kemauan pemerintah maupun kalangan swasta untuk
mengubah kebiasaan. Ibaratnya begini: jika orang lain belum mengubah gaya
hidup dan kebiasaannya dan saya serta perusahaan atau negara saya harus
berubah terlebih dahulu, rugi dong. Itu sebabnya para diplomat mengalami
kebuntuan dalam negosiasi karena pada akhirnya kesepakatan yang mereka buat
harus diterapkan di dalam negeri.
Di tingkat bisnis, mengubah pola hidup memang bukan hal mudah. Yang
biasa menggunakan mesin berbahan bakar bensin harus berinvestasi dulu
menciptakan mesin baru tanpa bensin supaya lebih ramah lingkungan. Kalau
harus menunggu satu per satu perusahaan bergerak, efeknya tidak akan
signifikan dalam kurun waktu yang diinginkan. Jika diwajibkan pemerintah,
misalnya lewat pajak karbon, seluruh sistem pajak mengenai penggunaan energi
di segala sektor usaha dan skala usaha juga perlu diubah.
Katakanlah parlemennya kooperatif mendukung pihak eksekutif, maka
inventarisasi perubahan aturan pun harus lengkap. Efeknya pasti langsung terasa
sampai ke konsumen dan dianggap memberatkan. Itu sebabnya di Australia,
misalnya, pajak karbon yang diterapkan tahun 2012 akhirnya dicabut pada 2014.
Apakah Indonesia akan terbawa mengikuti arus penolakan tersebut?
Kalau semua negara berkeras hati, Indonesia juga akan merasakan
ruginya. Kalau kita sekadar ikut-ikutan mengadopsi bentuk disinsentif yang
diterapkan di negara lain demi memenuhi komitmen internasional, saya hampir
yakin, pasti penolakannya keras. Tapi kalau kita bangun gerakannya sebagai
upaya memurahkan biaya hidup dan membangun harmoni dengan alam, seharusnya
lebih bisa diterima khalayak.
Misalnya saja sejumlah gerakan hemat listrik, hemat kertas, hemat AC,
dan mengurangi konsumsi BBM dimasyarakatkan dengan lebih luas. Bisa dimulai
dari seluruh pegawai pemerintah dan keluarganya, sekolah- sekolah, pusat
rekreasi, dan kawasan industri. Ketentuan pembuatan taman di kompleks
perumahan ditegakkan dan tiap izin membangun wajib dicek kepatuhannya untuk
menyediakan lahan untuk taman rumah.
Gerakan-gerakan macam itu akan sangat membantu para diplomat yang
bernegosiasi dalam sidang perubahan iklim. Jangan lupa, negosiasi perubahan
iklim ini menggunakan kerangka kerja skala jangka panjang.
Jadi selain stamina Indonesia dalam negosiasi harus prima,
masyarakatnya perlu lebih ”tahan banting” menghadapi tuntutan perubahan pola
hidup demi alam yang lebih bersahabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar